Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Standar Ganda untuk Menilai Pemeluk Agama Lain
11 April 2023 17:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Imam Prihadiyoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya memulai menulis tulisan ini sembari mengingat karya Hugh Goddard, seorong Kristiani, pengajar teologi Islam di Nottingham Univesity, Inggris. Ia menulis buku dengan judul yang sangat menantang, Christians & Muslim: From Double Standard to Mutual Understanding, (London: Curzon, 1995).
ADVERTISEMENT
Goddard, juga menjadi Honorary Professorial Fellow in the Prince Alwaleed Bin Talal Centre for the Study of Islam in the Contemporary World di Universitas Edinburgh.
Profesor Goddard adalah seorang sarjana di Oxford, tempatnya belajar Sejarah Islam di bawah bimbingan Albert Hourani. Setelah itu, melanjutkan studi dan mengambil gelar doktor dari Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim di Birmingham, dengan bimbingan David Kerr.
Prof Goddar pernah bekerja dan belajar di Timur Tengah, di Lebanon, Yordania dan Mesir. Selain itu, ia juga telah melakukan sejumlah kunjungan penelitian ke sejumlah wilayah di Dunia Islam, termasuk Pakistan, India, Nigeria, Malaysia, Indonesia dan Asia Tengah.
Sebelum pindah ke Edinburgh, ia bekerja di Departemen Teologi dan Studi Agama di Universitas Nottingham, tempat ia menjabat sebagai Profesor Hubungan Kristen-Muslim dari tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Selain buku di atas, ia juga menulis buku yang berjudul; Muslim Perceptions of Christianity (London: Grey Seal, 1996), dan A History of Christian-Muslim Relations (Edinburgh University Press and Chicago: New Amsterdam, 2000). Selain menulis buku, ia juga banyak menulis artikel tentang tentang berbagai aspek Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim.
Kesimpulan Goddar dalam Christians & Muslim: From Double Standard to Mutual Understanding mengatakan dalam seluruh sejarah hubungan dua agama monoteisme ini, hal yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman diantara keduanya adalah suatu kondisi adanya standar ganda.
Maksudnya, baik Muslim maupun Kristiani, selalu menerapkan standar yang berbeda untuk menilai dirinya dan orang lain. Untuk menilai dirinya, standar yang digunakan bersifat ideal. Sedangkan saat melakukan penilaian terhadap agama lain, Muslim maupun Kristiani memakai standar yang berbeda, yang lebih bersifat realistis, sosiologi, dan teologi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan ini juga diungkapkan Budhy Munawar-Rachman dalam bagian pengantar bukunya yang berjudul Islam Pluralis. Budhy Munawar-Rachman merupakan seorang penulis produktif dan merupakan murid yang bersanad pada Nurcholis Madjid, tokoh Islam moderen yang pernah mematangkan diri dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI, sebagai organisasi yang banyak mewarnai perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Organisasi yang sangat berwarna dalam gerak politik praktis dan sosial, serta mempunyai spektrum yang juga amat beragam.
Kembali pada kesimpulan buku Christians & Muslim: From Double Standard to Mutual Understanding tersebut, disebutkan dalam soal teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa agama kita merupakan agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain merupakan konstruksi manusia. Atau kalaupun berasal dari Tuhan, tetapi telah dirusak oleh konstruksi manusia.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, kalaupun sampai pada pandangan seperti itu, dan berhenti sampai di sana tidak akan jadi persoalan. Terkait dengan ijtihad keagamaan masing-masing. Namun, seringkali pandangan inilah yang muncul jadi dominan dalam pergaulannya menilai pengikut agama lain.
Jika saja mereka bertemu orang dengan dada yang lebar dan mengerti tentang akar pemikiran ini, maka tidak akan jadi persoalan di masyarakat. Namun, sebaliknya, jika mereka bertemu dengan orang yang punya pandangan seperti itu akan pemahaman keagamaannya, namun tidak punya dasar kearifan keagamaannya yang hakiki, maka konflik pun terjadi.
Mereka yang kuping tipis atas kritik, dada sempit karena kata-kata, kemudian tidak ragu menggunakan "kekuasaan" apapun bentuk dan besarnya kekuasaan yang dikuasainya. Titik lanjutnya, maka konflik sosial pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Salah satu solusi arifnya, semua pihak harus menkaji lagi keagamaannya masing-masing dengan baik, dengan penuh keyakinan, namun tidak menyasarkan dan memaksakan paham keagamaannya itu pada pihak lain.
Bagi Muslim jelas batasnya, bagiku Agamaku, bagimu Agamamu . Bagaimana dari sisi Kristiani, saya tidak punya kompetensi soal ini.
Agama
Kita bisa menyaksikan banyak peristiwa dalam sejarah peradaban manusia, standar ganda sering dipakai dan bahkan juga dituduhkan dipakai para pengikut agama lain. Ini juga dipakai sebagai pegangan untuk menghakimi agama lain, tentu saja dalam bentuk tingkat dan derajat keabsahan teologi di bawah, bahkan mungkin dianggap jauh di bawah agama diri sendiri.
Standar ganda inilah yang menimbulkan konflik sosial, bahkan perang yang tidak berkesudahan. Kita menyaksikan banyak klaim kebenaran dan juru selamat serta janji keselamatan, dan mungkin saja bagi mereka yang bertakwa akan terlihat berlebihan, dari satu agama atas agama lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai Muslim, jika saja tetap berpegang pada ayat Al-Quran yang mengingatkan bahwa bagi mereka itu sama saja, diberi peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman. Tentu tidak akan perlu bersusah payak untuk memaksakan. Bahkan, berislam juga tidak boleh melakukan pemaksaan. Tapi yang jelas, kebathilan dan kemungkaran perlu dilawan. Apapun bentuk perlawanan itu.
Semoga bermanfaat, di pertengahan Ramadhan tahun ini.