Konten dari Pengguna

Anak Semua Bangsa: Potret Kerasnya Kehidupan Kolonial

Imam Samudra
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Agustus 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Samudra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
IIlustrasiIlustrasi kehidupannyaShutterstock yang
Pada hari Kamis, 8 Agustus 2024, saya menyelesaikan buku kedua dalam tetralogi "Buru" karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa. Buku ini merupakan kelanjutan dari novel pertama, Bumi Manusia, yang melanjutkan kisah hidup Minke, seorang pribumi terpelajar yang berjuang melawan ketidakadilan di masa kolonial Hindia Belanda. Cerita dimulai setelah kekalahan Nyai Ontosoroh dan Minke di pengadilan, yang memaksa Annelies, putri Nyai dan Tuan Mellema, untuk dibawa ke tanah leluhurnya di Belanda. Nyai dan Minke tidak diperbolehkan mengantar Annelies hingga ke pelabuhan. Dalam perjalanan panjang di kapal, Annelies ditemani oleh Panji Darman, teman Minkmoyangnyae semasa sekolah di Hoogere Burgerschool (H.B.S.). Kondisi Annelies sangat memprihatinkan; tubuhnya semakin kurus, dan ia kehilangan semangat hidup. Pandangan matanya kosong, seolah-olah tidak ada lagi keinginan untuk mengetahui dunia di sekitarnya. Setelah beberapa hari perjalanan, akhirnya kapal tiba di Nederland. Namun, bukannya dibawa ke rumah AmAmeliAmAmelieliaaAAnnelieselia Mellema, Annelies justru ditempatkan di sebuah desa kecil dan dirawat di sana. Tidak lama kemudian, Annelies meninggal dunia karena penyakit yang tak terjelaskan dan dikuburkan di Belanda, di tanah nenek moyangnya. Kabar duka ini disampaikan oleh Panji Darman melalui surat kepada Nyai Ontosoroh dan Minke. Berita ini datang seperti tsunami yang menghantam kehidupan keluarga Nyai Ontosoroh secara bertubi-tubi. Untuk melupakan kesedihan yang mendalam, Nyai Ontosoroh dan Minke memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Tulangan, tempat asal-usul Nyai. Di sana, mereka menginap di rumah abang Nyai yang bernama Kassier, seorang juru bayar di pabrik gula tebu setempat. Selama tinggal di Tulangan, Minke menulis cerita tentang seorang gadis muda bernama Surati, keponakan Nyai Ontosoroh, yang diincar oleh penguasa pabrik gula bernama Pilkeboh. Pilkeboh berniat menjadikan Surati sebagai gundiknya, tetapi Surati memiliki rencana lain. Ia merencanakan untuk membunuh Pilkeboh dengan cara menularkan wabah penyakit yang sedang melanda desa-desa terpencil. Untuk melaksanakan rencananya, Surati melakukan perjalanan panjang ke desa yang dilanda wabah, berjalan sepanjang malam dengan tekad bulat. Pada waktu yang telah ditentukan, Surati mendatangi kantor Pilkeboh dan menyerahkan dirinya dengan niat untuk membawa Pilkeboh ke dalam kematian bersama. Namun, takdir berkata lain. Hanya Pilkeboh yang mati akibat penyakit tersebut, sementara Surati selamat dan kembali ke rumah orang tuanya. Ini adalah kisah tentang seorang wanita yang berani melawan kekuasaan yang menindasnya, meskipun dengan cara yang ekstrem. Selain cerita tentang Surati, Minke juga menulis tentang seorang lelaki bernama Truno yang memiliki tanah dan sawah yang diwariskan dari orang tuanya. Truno dipaksa oleh penguasa setempat untuk menyewakan tanah tersebut, tetapi ia menolak dengan tegas. Tanah itu adalah warisan leluhurnya, dan Truno bersumpah tidak akan menyerahkannya kepada siapa pun. Minke mencatat semua kisah perjuangan Truno, yang akhirnya datang kepadanya dalam kondisi terluka parah akibat penyiksaan yang dilakukan oleh para penguasa. Truno menolak menyerah meski harus menderita, menunjukkan keteguhan hati seorang petani yang mempertahankan hak atas tanahnya. Cerita kemudian berlanjut dengan Minke yang melanjutkan pendidikannya di Betawi. Di sana, ia bertemu dengan Ter-Har, mantan pegawai koran lelang tempat Minke pernah menulis. Dalam percakapan mereka, Ter-Har menjelaskan bagaimana dunia ini bekerja, yaitu melalui modal. Modal adalah alat yang memungkinkan seseorang untuk menguasai dunia dan menundukkan orang lain. Ini adalah refleksi tentang kapitalisme, di mana modal digunakan untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan mengendalikan sumber daya. Dengan modal, seseorang bisa mendapatkan uang dengan mudah dan menguasai dunia. Tak lama setelah percakapan tersebut, Minke menerima surat yang memintanya untuk pulang ke Surabaya, ke Wonokromo tempat Nyai berada. Panggilan ini terkait dengan kelanjutan sidang yang pernah ia hadapi sebelumnya, termasuk kasus pembunuhan terhadap Tuan Mellema, pengakuan anak Robert, dan berbagai masalah lain yang berhubungan dengan keluarga Nyai Ontosoroh. Setelah persidangan selesai, muncul masalah baru dengan kedatangan Ir. Maurits Mellema. Awalnya, ada dugaan bahwa Maurits datang untuk mengusir Nyai dan orang-orang di dalam rumah tersebut. Namun, ternyata kedatangannya adalah untuk mengembalikan barang-barang yang dulu dibawa Annelies ke Nederland. Banyak pesan dan kesan yang dapat diambil dari Anak Semua Bangsa, terutama tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap adil dan bijaksana, perjuangan seorang petani mempertahankan miliknya, bagaimana seorang gadis melawan dengan caranya sendiri, serta bagaimana modal dapat mengatur dunia dan seisinya. Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer ini tidak hanya menyuguhkan cerita tentang perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh melawan ketidakadilan, tetapi juga mengangkat kisah-kisah masyarakat kecil yang terpinggirkan. Dengan latar belakang kolonial Hindia Belanda, novel ini menyoroti berbagai bentuk perlawanan terhadap penindasan dan eksploitasi, mendalambaik melalui tindakan heroik maupun perlawanan diam-diam. Pram secara brilian menggambarkan bagaimana berbagai lapisan masyarakat, mulai dari petani hingga kaum intelektual, berjuang untuk keadilan dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka. Novel ini memberikan pandangan yang mendalam tentang ketidakadilan, kapitalisme, dan perjuangan untuk keadilan dalam masyarakat yang dikuasai oleh kekuatan modalmodal
ADVERTISEMENT