Healing Liburan Kuliah dengan Kembali Menilik Memori Indah

Imamudin AL Fathir
Mahasiswa UIN Jakarta Prodi Manajemen yang tertarik pada bidang Ekonomi, Sosial, Politik, Budaya, Inklusifitas, Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Konten dari Pengguna
21 Februari 2023 17:40 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imamudin AL Fathir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aneka foto dan notebook. Foto: charan sai/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Aneka foto dan notebook. Foto: charan sai/Pexels
ADVERTISEMENT
Libur. Ujian semester telah usai sedari pertengahan Desember. Tidak ada lagi pembelajaran mata kuliah di kampus. Yang awalnya memiliki rutinitas seperti bangun pagi, berangkat ke kampus, belajar, berinteraksi, bercengkrama dengan para rekan, jadi berubah setelah libur.
ADVERTISEMENT
Selama liburan semester kuliah, perlahan semuanya itu memudar. Hingga akhirnya membuat pola hidup saya jadi hampir berjalan tanpa arah dan hancur berantakan.
Kegiatan sehari-hari saya hanya berputar pada tidur, makan, mandi, bermain mobile legends, marathon series di platform online, begadang hingga melupakan fajar tiba. Atau sesekali saya keluar sekadar menyapa sahabat lama.
Siklus itu terus-menerus terulang hingga hampir satu bulan. Terlalu banyak istirahat mencuat pada puncaknya yang membuat diri ini terasa begitu lelah mengikuti pola hidup yang sebetulnya tidak bisa dikatakan berada dalam zona nyaman.
Malam pergantian tahun saya turut meramaikan undangan bakar-bakar dari sahabat untuk datang ke rumahnya. Hitung-hitung bertemu, bercengkrama, dan setelah diingat selama liburan ini saya belum banyak mengisi jadwal healing akibat dari terlalu sering menghabiskan waktu di rumah, ditambah krisis moneter yang melilit mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Healing pada awal pergantian tahun itu seolah memberi secercah harapan. Mimpi kembali mengintip, dan secercah harapan sekilas terlintas di pikiran bahwasanya ingin memperbaiki hidup agar kembali tertata secara perlahan, sekali lagi secara perlahan.
Niat yang secara tiba-tiba muncul bagai bintang yang jatuh itu, saya langsung berdoa meminta harap agar dapat terlaksana. Tak berselang lama inisiasi itu mulai berlaku.
Saya memulainya dengan sedikit mengurangi porsi kebiasaan tidak baik yang biasanya dilakukan. Juga memberikan hadiah ataupun hukuman kala berhasil menggapai target ataupun melanggar aturan yang dibuat dengan diri sendiri.
Selanjutnya, memperkuat ibadah atau sekadar menjalankan kewajiban bagi seseorang yang beragama juga memiliki kepercayaan, workout (berolahraga) di rumah, dilanjutkan bangun pagi untuk berjalan melihat fajar menyingsing di pinggir danau.
ADVERTISEMENT
Beberapa hal itu menjadi kebiasaan baru yang dimulai secara perlahan dan dilakukan dengan rutin dalam sebulan ini membuat diri saya terlahir kembali untuk jadi manusia yang kembali memiliki gairah hidup.
Setelah rutinitas itu mulai berjalan, saya memutuskan untuk gabung tim volunteer (pekerjaan sukarela) yang niat awalnya mengisi kegiatan liburan di waktu yang kosong melompong. Tapi, telat saya sadar karena satu dan lain hal pekerjaan yang saya ikuti itu agaknya kurang cocok untuk saya masukkan ke dalam portofolio.
Mungkin banyak yang mengira saya capek-capek nganggur seperti ledekan khas orang tua saya—yang sering terucap guna menguji reaksi putranya saat mendengar ucapan itu—tapi saya sama sekali tidak merasakan hal itu.
Sebab, niat awal saya memang mengisi waktu kosong dan tidak hanya berdiam diri di rumah. Ya, walau ada satu waktu hati menggerutu karena tangki bensin terus terkuras sementara jarang terisi kembali, meski hal itu memang wajar terjadi sewaktu mengerjakan pekerjaan sukarela.
ADVERTISEMENT
Meski bukan pencapaian tinggi yang diraih, tapi hati ini tetap terasa bahagia mampu bertransformasi atau mengubah pola hidup secara perlahan dan bisa bertahan hingga menjadi rutinitas. Ya meski agak terdengar hiperbola tapi saya tetap bangga akan hal itu.
Suatu Minggu saya melihat rak buku agak berantakan dan mulai merapikannya dengan mengubah tata letaknya dari yang awalnya hampir tergeletak. Tak sengaja ada selembar foto cetak terjatuh ke lantai, yang ternyata foto itu keluar dari buku binder berukuran B5—yang biasa saya gunakan untuk kuliah—jadi tempat asalnya.
Foto itu merupakan hardcopy atau bukti fisik hasil dari foto studio bersama my bestie beberapa bulan lalu. Melihatnya membuat saya sedikit tersenyum.
Itu membuat saya kembali mengingat orang yang berada dalam foto itu yang dua bulan sudah saya tidak bertemu dengan rekan sejawat perkuliahan yang kabarnya memiliki kesibukan serta jadwal padat untuk mengisi waktu liburan mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Melihat lembaran foto tersebut, mendorong saya untuk melihat softcopy yang tersimpan di handphone. Itu semakin mendorong saya untuk membuka lebih banyak galeri saya dan kembali teringat peristiwa yang terjadi pada hari di mana foto itu diambil.
Secara tidak sadar membuatku masuk ke dalam ruang rindu yang kian mendalam. Ya, saya akan berusaha mendeskripsikan memori indah yang masih berenang di kepala hingga saat ini.
Rabu itu adalah hari terakhir ujian. Tapi karena ujian akhirnya sudah terlaksana sebelum waktunya, dosen bersepakat dengan mahasiswa untuk meliburkan kelas dari seminggu sebelumnya. Selasa menuju senja waktunya kami para mahasiswa telah selesai kelas dan sedang berbincang santai di depan teras kampus.
Lalu salah satu rekan saya melempar tanya, "Ke mana kita besok?" sebagai pertanda ajakan healing untuk melepas penat seusai ujian. Kami berdiskusi cukup lama, tapi tak kunjung dapat solusi.
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi karena cukup banyak ide yang tercetus, namun cukup banyak juga yang hanya mengikut dan setuju terhadap semua rencana sehingga membuat musyawarah jadi terasa lebih membingungkan.
Rencana hanyalah rencana. Keesokan harinya saya mengajak teman-teman saya itu untuk bertegur sapa di suatu kedai kopi seraya mengucapkan salam hangat bagi mereka yang akan kembali ke kampung halaman. Beberapa mengiyakan dan ingin datang tapi jelas sebagian besar berhalangan hadir.
Beberapa dari kami sudah bertemu di tempat yang telah disepakati. Ada satu teman yang meminta saya memberi lokasi tempat kami berada. Tapi setelah kami menunggu lama dan menanyakan kepastiannya tentang apakah ia akan datang atau tidak justru tak kunjung mendapatkan jawaban.
ADVERTISEMENT
Karena telanjur lama menunggu, kami memutuskan untuk bermain billiard yang tempatnya juga tak jauh dari kedai kopi awal. Hingga kemudian, ia baru mengabari kalau dirinya ketiduran.
"Maaf, ketiduran," katanya.
Betapa kesalnya kami saat mendapat kabar itu. Maksud hati mengubur kekesalan itu, kami mulai menyindirnya dengan penuh sentilan yang menggelitik tawa di grup WhatsApp. Itu berjalan dengan baik lalu semuanya tertawa tanpa meninggalkan kekesalan yang berarti lalu kembali menikmati hari.
Setelahnya ada teman dekat saya yang meminta ditemani untuk membeli pakaian ke salah satu pusat perbelanjaan. Tanpa berpikir panjang kami langsung menuju ke gedung WTC berharap mendapatkan pakaian yang dibanderol terjangkau dibarengi tertempelnya label diskon.
Seusai berbelanja dan teman saya mendapatkan apa yang ia cari, kami mencari kedai teh untuk dinikmati sembari menyaksikan indahnya lembayung senja. Tempat itu tertuju di Broadway. Niat awalnya memang mencari teh, kopi, atau apapun yang mampu menghindari dehidrasi.
ADVERTISEMENT
Tapi akhirnya mata kami tertuju dan menggerakkan hati menuju toko barang bekas yang turut memajang barang antik seperti radio lama, kaset, buku-buku, majalah, serta karya seni. Tanpa diduga oleh kami di dalamnya terdapat studio foto kecil yang menarik perhatian. Kami memutuskan berfoto bersama di dalamnya. Ya, di sinilah momen yang membuat saya mengingat hari yang indah itu.
Seakan tak peduli dengan hasilnya, seluruh foto itu diambil tanpa panduan gaya dan sama sekali tak memikirkan konsep. Beberapa asal tekan tanpa adanya aba-aba seperti satu, dua, cekrik dan tombol yang ditekan pun tidak memakai timer.
Saya yang tak biasa (tak suka) difoto pun agak kelimpungan untuk menentukan gaya yang cocok. Tapi tak ingin ambil pusing, saya banyak memasang mimik muka yang konyol juga banyak memanfaatkan properti yang ada sebagai gimik.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya memang tak suka mengambil potret diri. Tapi sewaktu kecil saya sangat suka dengan konsep foto studio ataupun foto booth. Hampir setiap hari saya menyambangi studio foto kecil di dekat sekolah dasar, dengan meminta superhero sebagai latar belakangnya.
Ya ibarat seseorang bertemu kembali dengan cinta monyetnya, saya memang terlihat agak kebingungan menentukan gaya. Tapi hati ini tetap terasa bahagia seakan balik ke sekolah dasar yang kala itu belum memiliki beban.
Keluar dari studio foto perut kami sedikit bernyanyi keroncong pertanda kekurangan asupan. Alhasil kami mencari tenda nasi goreng yang membentang di antara pujasera. Kusangka tenda itu berada di arah jalan kami. Sayangnya justru berada di arah sebaliknya dan berada tepat di sudut kenangan yang tidak terlalu menyenangkan bagi saya.
ADVERTISEMENT
Di saat para rekan gelisah dan bergegas menyicil pekerjaan yang tenggatnya tengah malam, justru saya hanya diam mematung sambil menghisap sebatang rokok kretek untuk melepaskan penat sewaktu berada di sudut liminal sambil menyaksikan temaramnya malam.
Meski tak terlalu berhasil menepuk manis sebelum kembali ke rumah, tapi hati ini tetap gembira melihat hasil foto beserta memori indah di dalamnya. Hampir semuanya berjalan tanpa rencana yang dirancang dari jauh-jauh hari.
Ibarat burung kutilang yang berpijak lalu beranjak dari dahan satu ke dahan yang lain untuk terus mencari keriangan. Semua terjadi secara SPONTAN!!? UHUUUY...
Memori yang tertanam indah itu seolah menampar saya yang biasanya kurang menghargai waktu memotret suatu kegembiraan karena dirasa kurang sakral dan sedikit menodai sebuah momentum. Tapi siapa sangka justru dengan suatu foto bisa kembali membangkitkan momen yang mungkin tak bisa diulang lagi dengan suasana yang sama.
ADVERTISEMENT
Hampir lupa, untuk sekadar catatan tempat yang saya kunjungi bukan berada di tempat aslinya (Amerika) tapi hanya namanya saja yang serupa.
"Mengambil gambar, membekukan sesaat, mengungkapkan betapa kaya realitas itu sebenarnya," dilanjutkan harap untuk bisa membangkitkan momen itu kembali walau hanya dalam imajinasi, and lets cheers!!!