Konten dari Pengguna

Digitalisasi Telah Gagal: Technosolutionism Bukan Jawaban

Iman Amirullah
Lulusan S1 Hubungan Internasional Universitas Amikom Yogyakarta. Former National Coordinator Students For Liberty Indonesia 2024/2025 dan Fellow of Indonesia School on Internet Governance (IDSIG)
20 April 2025 15:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iman Amirullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Kevin Ku dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kacamata-black-farmed-di-depan-komputer-laptop-577585/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Kevin Ku dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kacamata-black-farmed-di-depan-komputer-laptop-577585/
ADVERTISEMENT
Internet telah berkembang pesat setiap detiknya, pasca revolusi WWW yang dimulai oleh ilmuwan Inggris, Berners-Lee pada awal 1990, kini internet telah berkembang hingga ke fase yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh banyak manusia pada akhir abad ke-20. Internet dimulai dari proyek ARPA (Advanced Research Project Agency), sebuah proyek jaringan komputer bentukan Departemen Pertahanan Amerika Serikat tahun 1969. Melalui proyek ini lah riset mengenai cara menghubungkan banyak komputer agar terbentuk jaringan organik yang kemudian disebut ARPANet.
ADVERTISEMENT
Kini internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Mulai dari penggunaannya sebagai sarana komunikasi, alat penunjang kreativitas, hingga pemerintahan dan bisnis. Proses implementasi penggunaan internet secara masif dalam pemerintah dan bisnis jamak disebut sebagai ‘digitalisasi’. Selama sepuluh tahun terakhir, nyaris semua birokrat dan politisi di seluruh dunia begitu terobsesi dengan digitalisasi. Digitalisasi dianggap sebagai solusi untuk memangkas alur birokrasi yang selama ini dianggap boros dan lamban, mendorong inovasi, serta mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Kita tentu tidak bisa membantah dampak ekonomi digitalisasi bagi peradaban umat manusia. Nilai ekonominya sendiri tidak main-main, menyentuh nyaris 33 trilliun US Dollar pada 2023 lalu. Meski begitu, obsesi terhadap digitalisasi ini perlu ditinjau kembali. Beberapa alasannya adalah masih adanya ketimpangan antara negara ‘utara-selatan’, monopoli internet oleh korporasi, serta dampak sosial dari loncatan teknologi yang terjadi. Di negara-negara belahan selatan, termasuk Indonesia, digitalisasi menjadi jargon yang mencemari percakapan harian dalam proses pembuatan kebijakan. Apapun masalahnya, digitalisasi, aplikasi dan situs web, serta kecerdasan buatan akan dapat menyelesaikannya dalam waktu singkat dan murah.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, digitalisasi saat ini mengalami kesalahan navigasi. Kesalahan navigasi ini berakar pada dua paradigma yang salah dalam memandang teknologi. Pertama, teknologi dipandang sebagai sesuatu yang ajaib, yang akan dapat menyelesaikan berbagai masalah manusia secara otomatis, alih-alih mekanisme teknikal yang perlu menggunakan logika dan proses trial and error di dalamnya. Kedua, pembuat kebijakan memandang teknologi sebagai sebuah subjek yang terpisah dari manusia sebagai penggunanya.
Kombinasi dari dua kesalahan paradigma ini mengakibatkan proses digitalisasi mengabaikan pengalaman manusia sebagai pengguna, sehingga alih-alih menyelesaikan sebuah masalah, digitalisasi kemudian justru melahirkan berbagai dampak-dampak sosial yang menjadi masalah di masa depan. Kita harus mengakui kenyataan pahit: transformasi digital dalam bentuk yang selama ini kita kenal sedang sekarat, jika belum sepenuhnya mati. Pendekatan pembuatan kebijakan terhadap transformasi digital harus berubah, meninggalkan cara pandang lama yang terlalu menekankan teknologi sebagai pusat segalanya.
ADVERTISEMENT
Pembuat kebijakan hingga para ahli teknologi harus mulai mengakomodasi keberadaan manusia sebagai pengguna yang akan mempengaruhi serta dipengaruhi oleh teknologi. Kegagalan dalam menempatkan manusia sebagai pusat dari proses digitalisasi hanya akan melahirkan masalah-masalah baru. Digitalisasi harus mempertimbangkan realita yang ada sebagai titik mulai, bahwa peradaban manusia masih belum setara, ketimpangan masih nyata di berbagai aspek kehidupan manusia, dan teknologi bukan lah subjek yang bebas nilai, melainkan mereplikasi pula nilai-nilai dan bias dari manusia yang menciptakannya.
Artikel ini merupakan bagian dari Indonesian School on Internet Governance (IDSIG) Fellowship. IDSIG merupakan program fellowship yang menjadi bagian dari Asia-Pacific School on Internet Governance (APSIG) dan inisiasi oleh SAFEnet dan Indonesia Youth IGF. Program ini bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kapasitas para pegiat tata kelola internet di Indonesia melalui pembangunan jejaring dan pertukaran pikiran yang inklusif.
ADVERTISEMENT