Konten dari Pengguna

Relapse Relationship: Babak Baru dari Hubungan yang Harusnya Usai

Imaniar Dwi Retno Pangesti
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pancasakti Tegal.
29 Oktober 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Relapse Relationship: Babak Baru dari Hubungan yang Harusnya Usai
Kadang kita bilang sudah selesai, tapi hati belum. Relapse relationship bukan cinta yang kembali, melainkan luka yang belum sembuh. #userstory
Imaniar Dwi Retno Pangesti
Tulisan dari Imaniar Dwi Retno Pangesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang jarang kita akui setelah putus cinta; bukan tentang bagaimana kita berpisah, melainkan tentang bagaimana kita sering kali ingin kembali. Perasaan itu datang diam-diam, lewat tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi bersama, foto-foto di galeri atau arsip media sosial, lagu lama yang tak sengaja diputar, atau aroma parfum yang tiba-tiba mengingatkan kita pada seseorang yang sudah seharusnya jadi masa lalu.
ADVERTISEMENT
Tanpa sadar, kita masuk ke fase yang disebut relapse relationship— ketika hubungan yang sudah berakhir kembali dijalani, bukan karena sudah membaik, melainkan belum benar-benar melepaskan.

Mengapa Kita Sering Tergoda untuk Kembali?

Menurut penelitian yang dilakukan René M. Dailey dan rekan-rekannya di University of Texas at Austin, banyak pasangan yang kembali menjalin hubungan karena masih ada perasaan yang tertinggal—lingering feelings—atau keyakinan bahwa hubungan itu masih bisa diperbaiki.
Saya mengira bahwa hal itu manusiawi. Tidak semua perpisahan terjadi karena cinta telah habis. Terkadang, kita berpisah karena situasi yang terlalu berat; karena ego atau karena lelah berulang kali bertengkar tanpa solusi. Jadi ketika ada kesempatan kecil untuk kembali, hati kita bergerak duluan sebelum logika sempat menahan.
Ilustrasi Pasangan. Foto: Shutterstock
Namun menurut saya, hal menarik dari penelitian itu bukan soal “masih ada cinta”, melainkan tentang keinginan manusia untuk merasa punya kendali atas kisahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Relapse relationship sering muncul bukan karena kita yakin hubungan itu akan berhasil, tapi karena kita tidak ingin kisah itu berakhir tanpa penjelasan. Kita ingin menulis ulang bab yang terasa salah, berharap kali ini akhir ceritanya lebih baik. Namun, sering kali yang kita temui bukan akhir yang baru, melainkan pengulangan dari luka yang sama.

Putus-Nyambung: Cinta atau Ketergantungan Emosional?

Studi dari University of Missouri menemukan bahwa orang-orang dalam hubungan putus-nyambung cenderung mengalami stres, kecemasan, dan depresi lebih tinggi dibanding mereka yang hubungannya stabil.
Temuan itu terasa masuk akal. Relapse relationship membuat kita hidup di antara dua dunia: tidak bersama, tapi juga belum sepenuhnya berpisah.
Ilustrasi balas chat. Foto: leungchopan/Shutterstock
Setiap chat terasa seperti harapan kecil, setiap keheningan terasa seperti kehilangan besar. Kita terus menunggu, menebak, memutar kenangan—dan tanpa sadar, muncul ketakutan tentang bagaimana diri kita tanpa dia.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, di sinilah jebakannya: kita sering salah mengira keterikatan sebagai cinta. Padahal yang kita cari bukan dia, tapi rasa aman yang dulu ada saat bersamanya. Kita ingin mengulang kebahagiaan lama; bukan karena hubungan itu sehat, melainkan belum belajar menemukan kedamaian terhadap diri sendiri.

Relapse sebagai Bentuk “Kambuh” Emosional

Dalam riset Leach & Zimmerman (2013) tentang addiction relapse, disebutkan bahwa kambuh sering terjadi karena stres emosional dan rasa kesepian.
Saya rasa, konsep itu bisa diterapkan pada hubungan. Ketika kita rapuh, kita cenderung kembali ke hal yang paling familiar, bahkan jika itu menyakitkan. Sama seperti pecandu yang kembali pada zat karena ingin menenangkan diri, seseorang bisa kembali ke hubungan lama karena ingin menenangkan hati—meski tahu bahwa sumber luka ada di sana.
Ilustrasi pasangan bertengkar. Foto: Shutterstock
Mantan menjadi semacam “penenang emosional”; memberi rasa hangat sesaat, tapi membuat kita lupa bahwa luka lama belum sembuh. Kita sering berpikir relapse berarti cinta belum padam. Padahal, bisa jadi itu tanda kehilangan yang belum diterima sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Kita kembali tidak karena yakin, tapi karena takut sepi, dan rasa takut itu sering kali lebih kuat daripada cinta itu sendiri.

Ilusi “Cinta Kedua” yang Romantis tapi Rapuh

Media sering membuat kita percaya bahwa cinta sejati akan menemukan jalannya kembali. Film, lagu, bahkan cerita teman, semuanya berkata, “Kalau dia memang untukmu, dia akan kembali.”
Namun kenyataannya, tidak semua yang kembali berarti lebih baik.
Menurut laporan di Time Magazine tahun 2018, hubungan on-off justru cenderung melelahkan secara emosional karena pola komunikasi dan konflik lama biasanya muncul kembali dalam waktu singkat.
Ilustrasi Konflik Hubungan. Foto: Shutterstock
Saya percaya, salah satu kesalahan terbesar kita dalam mencintai adalah terlalu percaya pada perasaan, tapi jarang menilai prosesnya. Kita berpikir, kalau masih saling cinta, semuanya akan baik-baik saja. Padahal, cinta tanpa perubahan dan pemahaman baru hanya akan menjadi pengulangan.
ADVERTISEMENT
Hubungan yang dulu hancur karena luka akan hancur lagi—hanya kali ini dengan kesadaran bahwa kita sebenarnya sudah tahu akhirnya akan seperti apa.
Bagi saya, relapse relationship adalah bagian dari proses pencarian diri. Ia muncul ketika kita masih mencoba memahami: Apakah aku sudah cukup? Apakah aku bisa dicintai lagi?
Dan sering kali, satu-satunya cara untuk menjawab itu adalah dengan kembali melihat ke masa lalu—meski akhirnya akan sadar bahwa kita bukan orang yang sama lagi.
Ilustrasi perempuan tak bahagia dalam hubungan. Foto: Shutterstock
Namun, semakin saya belajar, semakin saya sadar: cinta yang sejati tidak membuat kita kehilangan diri. Jika kembali membuat kita lebih cemas daripada tenang, lebih takut daripada bahagia, mungkin itu bukan cinta, melainkan keterikatan yang belum selesai.
Mungkin yang paling sulit dari melepaskan bukan kehilangan orangnya, melainkan versi diri kita yang dulu hidup bersama dia.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika kita sudah bisa melihat hubungan itu bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai pengalaman yang mengajarkan sesuatu, di situlah kita benar-benar bebas.
Relapse bukan akhir dunia dan awal yang baru. Ia hanyalah cermin. Dari sana, kita bisa memilih: terus mengulang bab yang sama, atau akhirnya menulis bab yang benar-benar baru—sendiri, tapi lebih sadar dan bahagia.