Aku Menulis Dengan Mata Tertutup

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
2 November 2022 16:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aku memang tidak pernah mengatakan bahwasanya aku mencintaimu. Aku pun tidak pernah sedikit pun berusaha untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku. Entah karena aku yang terlalu pengecut, atau engkau yang kurasa terlalu mulia untuk kusentuh. Aku tak tahu. Sejujurnya, sampai saat ini pun aku masih ragu dengan perasaanku sendiri. Apakah aku benar-benar jatuh cinta padamu, atau aku hanya sekadar terbawa rasa yang kebetulan melekat denganmu?
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini pun aku masih bersikap biasa saja. Tidak ada semacam usaha untuk menunjukkan apa yang kurasakan saat melihatmu lewat sikap dan gerakanku. Aku tidak berusaha untuk membuatmu sadar bahwasanya ada jiwa yang tengah mengagumi jiwamu. Aku lebih senang membiarkan semua berjalan seperti air mengalir. Aku menikmati setiap pertemuan denganmu yang telah diatur oleh takdir, pertemuan tanpa rencana dan ekspektasi.
Aku sudah merasa senang dapat sesekali bertemu denganmu walau hanya beberapa detik untuk sekadar bertatap mata seraya melontarkan beberapa kata. Kunikmati dan kusyukuri setiap detiknya, tanpa berharap bumi berhenti berputar untuk sementara seperti harapan para pujangga saat bertemu kekasihnya. Biarlah semua berjalan seperti biasanya.
Aku pun tak ingin kau tahu dan sadar akan perasaan hatiku lewat daun telingamu. Aku ingin rasa di dalam hatimu itu saja yang memberitahu. Sebab hati, selalu mengatakan hal-hal yang murni, sementara lisan tidak demikian, ia dapat berdusta. Lisan dapat kapan saja dikekang oleh nafsu dan hasrat.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Renaissance pernah mengatakan bahwasanya cinta adalah sejenis hubungan antara manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda tanpa ada dasar keinginan seksual. Walaupun argumen itu dibantah dengan pernyataan, “cinta juga bermakna seksual, karena seksualitas menemukan tujuannya dalam hubungan intim antara laki-laki dan perempuan untuk menghasilkan keturunan dan mempertahankan eksistensi ras manusia.”
Namun, untuk saat ini nampaknya aku lebih senang dengan argumen Renaissance. Pendapat itu lebih relevan dengan situasi perasaanku yang sekarang. Namun, aku tetap sadar bahwa sewaktu-waktu pandanganku pun dapat berubah. Kita lihat nanti.
Entah sampai kapan aku akan seperti ini. Aku pun tak pernah tahu akan berakhir seperti apa. Bisa jadi rasaku tak akan hilang sampai semuanya kuungkapkan atau bahkan sampai saat nanti aku masuk ke liang lahat, namun bisa juga semua rasa ini akan pupus dan mati dengan sendirinya. Yang jelas untuk saat ini aku menikmati semuanya. Aku menikmati tanpa berlari, aku mengagumi tanpa ambisi, aku memandang tanpa ingin dipandang.
ADVERTISEMENT
Silahkan jalani hidupmu seperti biasanya, aku pun akan demikian. Hadapi semua rintangan yang menghadang, hapus air matamu dan lupakan semua hal yang menyakitimu. Aku benci melihatmu bersedih, aku merasa ingin mati melihatmu tersakiti.
Mohon maaf, bila aku belum mampu menemani seraya menghapus air mata sucimu yang terjatuh. Maafkan aku sebab belum memiliki bahu yang kuat untuk dapat kau jadikan tempat bersandar. Aku tahu, kau tak butuh permintaan maafku sebab aku bukan siapa-siapa. Tapi asal kau tahu, aku menulis semua ini dengan mata tertutup dan lisan yang bungkam seraya membiarkan hatiku terus berbicara.