Feminisme dalam Kisah Layla Majnun

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2022 7:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Pixabay,com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Pixabay,com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang mengatakan bahwasanya kisah cinta antara Layla dan Majnun merupakan kisah cinta paling memilukan yang pernah ada di dunia. Kisah ini sudah dikenal di Persia pada abad ke-9. Namun, kisah cinta ini baru populer setelah dirangkai indah oleh seorang pujangga yang sama-sama berasal dari Persia di abad ke-12 bernama Nizami Ganjavi. Dan terdapat berbagai versi yang ditulis ulang oleh para penulis lainnya.
ADVERTISEMENT
Layla dan Majnun pertama kali bertemu dalam sebuah sekolah agama, tempat di mana mereka berdua mengenyam pendidikan. Majnun yang bernama asli Qays itu terkagum-kagum pada kecantikan Layla dan langsung jatuh cinta pada detik pertama melihat wajah Layla. Sebagai wujud cintanya, Qays kerap kali membuat puisi-puisi cinta untuk Layla dan tak segan membacakannya di depan orang banyak.
Layla yang memang juga ternyata memiliki kekaguman pada Qays dan puisi-puisinya, juga merasakan perasaan cinta yang sama. Padahal, umur mereka pada saat itu belum mencapai usia dewasa. Mereka telah merasakan cinta yang begitu besar sebelum mengenal arti kata cinta itu sendiri.
Semakin hari, semakin besarlah rasa cinta Qays terhadap Layla. Qays semakin dibuat mabuk oleh perasaan cintanya kepada Layla, sehingga kerap kali melakukan hal-hal yang tidak biasa sebagai wujud perasaan cintanya kepada Layla. Oleh sebab itulah, orang-orang menjulukinya dengan sebutan Majnun (gila). Puisi-puisi yang dibuat Qays dan sebutan Majnun-nya pun dengan cepat tersebar ke masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Layla sendiri berasal dari keluarga yang terpandang, orang tuanya bergitu kaya raya. Saat mendengar gelagat sang anak yang sedang bermain-main cinta dengan seorang yang disebut Majnun, orang tuanya pun memutuskan untuk memisahkan Layla dengan Qays. Sepasang insan yang tengah dimabuk asmara itu pun menjadi sangat jarang sekali bertemu. Rasa rindu sebab tak bertemu Layla pun semakin menjadikan Qays lebih gila lagi dari sebelumnya.
Begitu usia Layla dan Qays matang, Qays bersama sang ayah memutuskan untuk datang menemui orang tua Layla seraya melamar Layla. Namun, orang tua Layla menganggap bila Layla menikah dengan Qays yang dikenal sebagai orang gila, maka nama keluarga mereka akan tercoreng.
Ayah Layla pun menolak lamaran dari Qays dan ayahnya. Hal tersebut membuat Qays sangat terpukul. Ia tak sanggup menahan kesedihannya, dan memutuskan untuk meninggalkan rumah seraya tinggal di padang belantara bersama hewan-hewan buas. Qays menjalani hidup sendirian dan terasing dari masyarakat seraya terus menulis puisi yang berkisah tentang pujaan hatinya tersebut.
ADVERTISEMENT
Layla sendiri tak bisa berbuat apa-apa, ia tidak bisa sembarangan mengungkapkan perasaan cintanya kepada orang lain seperti yang Qays lakukan. Walaupun di dalam hatinya ia begitu mencintai Qays, ia hanya bisa diam. Tak ada satu pun orang yang memahami perasaannya bahwa hanya Qays-lah yang ia cintai dengan sepenuh hati. Bahkan, ayahnya pun tidak menyadari hal itu.
Penulis berpendapat terdapat isu feminis di dalam kasus tersebut. Sosok Layla yang merupakan seorang anak perempuan terlihat hanya bisa menuruti keinginan ayahnya, tanpa diberi ruang untuk menyampaikan perasaannya yang sebenarnya. Sampai akhirnya, Layla pun harus menikah dengan seorang yang sama sekali tidak ia cintai. Setelah menikah, Layla sama sekali enggan untuk tidur seraya disentuh oleh suaminya. Sebab memang perasaannya hanya untuk Qays semata.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, suami Layla yang bernama Ibnu Salam itu pun meninggal sebab sakit-sakitan. Layla pun sama, ia menjadi orang yang sakit-sakitan sebab terus menahan perasaan cintanya kepada Qays si Majnun. Lalu, tak lama ia pun meninggal sembari terus menyebut-nyebut nama Qays. Mendengar kabar tersebut, Qays semakin merasa terpuruk. Ia pun pergi ke makam Layla seraya terus menangis di makam tersebut. Sampai akhirnya, ia pun meninggal di depan pusara makam Layla.
Tiga nyawa harus melayang oleh sebab cinta yang tak kesampaian. Penulis berangan-angan bila saja saat itu ayah Layla merestui hubungan Layla dan Qays atau Layla berani berusaha untuk menyampaikan perasaannya yang sebenarnya kepada sang Ayah, mungkin hal tragis itu tidak akan pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Layla dan Majnun ini. Dan silahkan para pembaca sekalian untuk menyimpulkan nilai-nilai feminisme yang bisa diambil dari kisah tersebut.
"Cinta turun ke dalam roh kita melalui kehendak Tuhan, dan bukan melalui kemauan manusia sendiri." -Kahlil Gibran-