news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Melepas Belenggu Rindu

Muhammad Ibnu Shina
Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang Tukang tidur, ngopi dan berkhayal.
Konten dari Pengguna
11 Agustus 2022 15:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibnu Shina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Semenjak wajahmu yang manis itu melekat di dalam hati, aku senantiasa terbelenggu oleh rindu. Aku seakan terpenjara kala senyummu datang dan masuk ke dalam ingatanku. Pikiranku senantiasa terjajah untuk terus menuliskan tentangmu. Engkau yang cantik namun samar itu selalu menarik untuk digambarkan dengan rangkaian kata-kata cinta. Semua selalu tentangmu, dalam nyata dan khayalku.
ADVERTISEMENT
Aku mulai merasa jemu saat dirimu yang samar itu mulai jelas terlihat. Semua pertanyaan-pertanyaanku perlahan-lahan terjawab sudah. Dan semua dugaanku atas jawaban itu tak meleset sedikitpun. Engkau pun sama sepertiku, hatimu telah digenggam. Perbedaannya, hanya pada siapa yang menggenggamnya.
Ternyata benar, terkadang sesuatu itu indah kala dibiarkan tetap samar. Terkadang sesuatu yang dibiarkan menjadi pertanyaan itu lebih bermakna dibandingkan saat sudah ditemukan jawabannya.
Sejauh ini, kau telah berhasil mengusik ketenanganku. Kau berhasil membuat malam-malamku dihiasi dengan berbagai rasa. Kau telah membuat hatiku yang telah tergenggam ini sedikit melepaskan diri. Hampir-hampir aku menyerah seraya memberikan seluruh hatiku padamu seutuhnya. Aku nyaris saja berpaling dari sesuatu yang telah aku cintai semenjak di dalam rahim ibu. Iya, semua sebab wajah manismu yang menawan itu.
ADVERTISEMENT
Aku jadi teringat pertemuan kita di sore itu. Andai kau tahu betapa berdebarnya jantungku kala itu. Bila kau dapat melihatnya, hatiku yang seketika tersentuh itu terlihat tersenyum ikhlas dengan berjuta makna. Aku pun tak mengerti mengapa demikian. Saat itu, jiwamu semacam telah terlebih dahulu menyapa jiwaku sebelum ragamu melakukannya.
Sejenak kuhentikan langkah ketika tubuhmu tertangkap oleh kedua mataku sedang duduk membelakangiku. Rambut hitammu yang lurus masih senantiasa terkuncir rapi. Punggung tangan yang menempel di dagumu terlihat menopang wajah cantik nan anggun itu. Gemuruh suara keramaian tak sedikit pun mengusikmu yang terlihat tengah melamun seraya meratapi dinding yang berlumut di depanmu itu.
“Sedang jenuhkah ia dengan kehidupan? Atau hatinya sedang diterpa rindu yang mendalam?” Seketika aku bertanya kepada angin di sore hari itu.
ADVERTISEMENT
Perlahan-lahan aku melangkah maju ke arah tubuhmu. Punggungmu itu semakin jelas terlihat oleh kedua bola mataku. Mata hatiku tersentak kala melihat dua buah sayap indah berwarna putih melekat indah padanya. Bunga-bunga seketika mekar di dalam taman jiwaku yang sepi.
Aku sampai, kemudian duduk tepat dibelakangmu. Kini tubuhku dan tubuhmu berjarak sangat dekat. Aku selalu payah dalam hal menyapa. Aku merasa begitu kikuk atau bahkan tolol dalam situasi semacam itu. Tak kutemukan setetes kata pun untuk menyentuh telingamu. Kuputuskan untuk diam seraya mengabaikan waktu yang terlihat terus melaju sembari menertawaiku. Tentunya, sembari terus memandangimu dari belakang.
Kau tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku terdiam tanpa kata dan suara. Tiga detik mata kita saling memeluk dalam sunyi. Tiga detik yang terasa tiga jam bagiku. Lalu kau tersenyum seraya menyapa. Senyum indahmu mampu menerbangkanku masuk ke alam khayal yang begitu indah. Saat suara merdu itu menyebut namaku, jiwaku seakan telah sampai di surga yang hanya berisi cinta semata, tanpa kebencian.
ADVERTISEMENT
Wajahmu itu selalu berhasil menciptakan teka-teki yang sangat sulit kupecahkan saat mataku memandangnya. Sebenarnya, aku pun tak mengerti apa yang membuatmu senantiasa membuat teduh kalbu ini. Binar mata yang kau miliki itu memang indah bagaikan pelita di tengah gua yang gulita. Tapi, rasa-rasanya jiwamu yang memancarkan cahaya terang itu yang telah berhasil menaklukkan kegelapan dan kesepian relung hati ini.
Nampaknya, sia-sia saja aku mengenang hari itu. Kini aku tengah berusaha melupakanmu, walau sepertinya itu pun hal yang sia-sia. Sebab, hingga malam tadi wajahmu masih saja setia menemani. Dan aku selalu lemah kala senyummu itu menyapa mimpi.
Untuk saat ini, aku pun sedang berusaha mendamaikan akal dan hati. Aku tengah merenungi apakah dirimu adalah sesuatu yang dapat membunuh ego di dalam diri. Aku telah banyak bertemu dengan mereka yang datang dengan membawa rasa yang sekilas indah, namun tak satu pun yang berhasil menyirnakan ego dan semua selalu membawaku pada jurang perpisahan. Sebab bagiku, saat ego masih ada itu belum termasuk cinta.
ADVERTISEMENT
Kucoba melepaskan belenggu rindu itu untuk kemudian kembali berjalan sendiri. Aku melanjutkan perjalananku. Berjalan di atas jalan yang sunyi menuju cinta dan kedamaian abadi.