Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dari Emisi Karbon Menjadi Cuan
8 September 2023 10:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Immami Mimy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalau bicara soal hutan yang ada di Indonesia yang sangat luas, jadi sebenarnya itu akan banyak mendapat keuntungan dari bursa karbon. Kenapa demikian? Sebab, hutan di Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia selain ada hutan Amazon di Amerika Latin.
ADVERTISEMENT
Terdapat hutan tropis paling besar—salah satunya di Kalimantan—Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang luasnya 125 juta hektare dan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.
Pertanyaan tentang pemberitaan mengenai bursa karbon, jadi terkait dengan narasi ini yang sedang mengglobal, di mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia juga sedang menyiapkan aturan terkait dengan bursa karbon.
Perdagangan karbon diharapkan dapat dilakukan ataupun dimulai di Indonesia sekitar bulan September 2023. Adapun tujuannya, untuk menciptakan insentif bagi perusahaan dan negara dan mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan menyediakan mekanisme untuk membeli dan juga menjual izin emisi atau kredit karbon.
Selain itu, bursa karbon nantinya juga akan diawasi oleh OJK secara langsung. Pemerintah pun akan membatasi pihak-pihak mana saja yang dapat melakukan perdagangan karbon.
ADVERTISEMENT
Dengan hadirnya bursa karbon, negara menargetkan bisa memangkas emisi hingga lebih dari 30 persen pada tahun 2023 dan 0 persen (nett zero emission) tahun 2060. Dan peraturan yang baru saja di keluarkan oleh tim OJK tentang karbon yang ada di Indonesia di mana dari pendapatan yang akan diterima negara dari perdagangan karbon diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Nilai tersebut tentu berpotensi menjadi sumber pemasukan juga ke depannya untuk perusahaan yang pro terhadap lingkungan. Atau justru sebaliknya, menjadi beban untuk perusahaan yang tidak baik untuk lingkungan.
Secara sederhana, terdapat perusahaan yang memproduksi karbon. Contoh PLTU batu bara atau sektor yang berkaitan dengan pengolahan limbah atau perusahaan UMKM yang masih menggunakan plastik.
ADVERTISEMENT
Dan, adapula pihak yang bisa menjaga agar karbonnya tetap rendah seperti mereka yang menjaga hutan atau punya perkebunan yang luas, jadi pohonnya tidak ditebang karena adanya pohon ekosistem dari kebunnya tersebut bisa menurunkan emisi karbon.
Jadi bursa ini sebenernya menjadi wadah di mana bertemunya si penjual dan si pembeli karbon, yang jadi mata uangnya karbon tersebut. Bedanya dengan saham menjadi kepemilikan saham tapi kalau bursa karbon yang dibeli kepemilikan dari kredit karbon.
Sudah ada beberapa perusahaan di Indonesia yang menerapkan Go Green seperti Unilever, IKEA, The Body Shop, Iphone, Dell, Nike, Adidas, dan masih banyak yang lainnya.
Perusahaan-perusahaan itu rupanya menggunakan bahan produksi yang berasal dari pelestarian hutan dan memanfaatkan bahan daur ulang dalam pembuatan produknya, pengolahan limbah yang menjadi kompos, dan menciptakan produk yang ramah lingkungan.
Lalu, bagaimana cara menghitung perusahaan tersebut itu benar-benar green? Salah satunya adalah dengan menghitung berapa emisi yang dihasilkan dari efek produksi. Selain itu terdapat standar akuntansi mensyaratkan semua perusahaan yang go public untuk men-disclose atau membuka laporan keuangan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Kenapa demikian? Sebab, salah satu tekanan dari investor, tekanan untuk patuh terhadap IHSG, environment sosial, governance—yang standar tersebut berlaku di mana-mana—perusahaan dengan rating bagus karena dapat mengurangi emisi karbon, maka investor akan beri pendanaan.
Bahkan, banyak investor akan memberikan bunga yang lebih kecil. Atau perbankan yang juga akan kasih pembiayaan lebih rendah bunganya. Jadi investor sangat butuh juga image yang positif di tingkat konsumen.
Dan, yang terbaru adalah soal pajak karbon. Apabila perusahaan menghasilkan emisi karbon melewati ambang batas yang ditetapkan pemerintah, maka pilihannya perusahaan beli kredit karbon atau pemerintah akan melakukan punishment dengan menerapkan pajak karbon.
Hal ini tentu menjadi urgensi tersendiri bagi banyak perusahaan. Apalagi bagi perusahaan-perusahaan yang meneghasilkan banyak sekali emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Kalau ditarik mundur tahun 1989, di Eropa sudah membahas soal bursa karbon. Mereka memiliki beberapa standar atau sertifikasi yang dipakai dominan ada dua Verra dan Gold Standard.
Untuk sertifikasi tersebut terdapat tim yang akan meninjau lewat satelit atau kunjungan langsung untuk menghitung berapa luas lahan yang dapat menyerap emisi karbon yang akan menjadi sertifikat karbon atau kredit carbon yang bisa dihasilkan. Ada lembaga yang menilai atau mensertifikasi sebuah lahan tersebut.
Kalau di Indonesia namanya sistem registrasi nasional yang terdapat di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang sudah dijajaki kerja sama pertukaran data dengan OJK.
Karena perlunya standardisasi sehingga dapat dijadikan perhitungan untuk kredit karbon termasuk menghitung emisi karbon dari perusahaan yang akan membeli kredit karbon dan menghitung pajak karbonnya, maka semua harus terkoneksi.
ADVERTISEMENT