Kabinet Diterjang, Menteri Baru Datang?

Imron Wasi
Peneliti dan Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Desember 2020 6:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imron Wasi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
TIDAK terasa waktu begitu cepat berlalu bak kilat yang sedang menerpa negara-negara transnasional. Selama ini, hampir genap satu tahun kita akan memasuki tahun yang serba baru. Begitu banyak waktu yang tersita karena negara-negara di dunia ketiga diterjang suatu ‘badai’ besar, yaitu wabah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), termasuk Indonesia. Sejak pemerintahan Joko Widodo mengumumkan Indonesia memasuki dan terkena imbas dan wabah yang mematikan ini pada Maret 2020 silam mengawali sejumlah kebijakan-kebijakan strategis yang sebelumnya tidak ada dalam nomenklatur rencana strategis. Karena, hal ini di luar kendali bangsa Indonesia. Akibatnya, banyak sekali agenda strategis yang tidak bisa berjalan optimal atau mengalami penundaan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, sebagian besar, anggaran yang awalnya diprioritaskan untuk hal-ihwal untuk peningkatan sumber daya manusia dan kesejahteraan dialihkan untuk memperbaiki ekonomi dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu. Keadaan yang penuh dengan ketidakpastian ini berdampak pada kontraksinya ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Selain itu, pada saat yang sama, sejumlah problematika hadir di ruang publik (public sphere), misalnya, komunikasi dan koordinasi yang kurang berjalan baik, program bansos, masalah data, prakerja, dan termasuk di dalamnya UMKM juga sebagian besar menjadi perhatian khalayak publik. Karena, ada sejumlah indikasi tidak tepat sasaran program yang diterapkan. Dan juga perilaku koruptif yang sering menghantui bangsa ini.
Kemudian, penanganan pemerintah terhadap pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) ini juga menjadi diskursus di berbagai platform. Sampai-sampai sejumlah kalangan, terutama civil society menyoroti sejumlah kinerja dari K/L di pemerintahan Joko Widodo di periode kedua yang dianggap belum bekerja secara optimal. Hal ini diafirmasi secara eksplisit oleh Presiden Joko Widodo di hadapan para menterinya saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta pada 18 Juni 2020 silam.
ADVERTISEMENT
Setelah statement kepala negara dan kepala pemerintahan ini menyeruak ke permukaan, dorongan untuk melakukan reshuffle mencuat dari sejumlah komponen, termasuk dari civil society. Wacana perombakan kabinet itu muncul karena menurut eks Wali Kota Solo ini, kinerja kabinet biasa-biasa saja. Sebab, secara kinerja tidak ada perkembangan yang signifikan dalam mengatasi pandemi. Hal ini menimbulkan persepsi-persepsi yang berbeda di sejumlah kalangan.
Padahal, kondisi dan situasi negara dalam ‘bahaya’. Tapi, para menteri seolah lamban dalam melakukan akselerasi kinerja, sehingga hal ini menjadi trigger Presiden Jokowi mengemukakan pernyataanya di hadapan para menteri. Meskipun, pada saat yang sama, hal ini juga memunculkan perspektif yang sangat heterogen di kalangan masyarakat. Interpretasi yang berkembang, misalnya, eks Gubernur DKI ini bisa menilai dan mengevaluasi kinerja para menteri dari salah satu lembaga yang berkelindan terhadap kinerja para menteri. Jadi, dalam sudut pandang yang berbeda itu terkesan ada unsur politis yang sedang diperankan.
ADVERTISEMENT
Meminjam istilah dalam literatur public policy bahwa terdapat sejumlah nilai. Pertama, ada nilai politik. Kedua, ada nilai organisasi. Ketiga, ada nilai pribadi. Dan, ada nilai dari kebijakan itu sendiri. Dalam kaitan tersebut, terutama dalam hakikat kebijakan publik ini dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sifatnya fardhu ‘ain harus diperhatikan oleh para aktor kebijakan publik, agar dapat memformulasikan kebijakan sesuai kebutuhan dan kepentingan masyarakat sipil, terutama hakikat yang mengutamakan kepentingan publik.
Terlepas dari adanya nilai dan unsur politik dalam statement tersebut, semestinya para aktor kebijakan publik bisa memafhumi keinginan dan dapat mendengar sejumlah aspirasi dari masyarakat sipil. Sebab, masyarakat sipil dan berbagai komponen lainnya memiliki hak untuk dapat berkontribusi melalui aspirasi yang disampaikan. Dan, hal itu secara langsung maupun tidak langsung akan mencerminkan demokratis suatu negara. Masyarakat sipil dan berbagai komponen lainnya itu harus dapat dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan, bukan hanya sekadar menjadi objek semata.
ADVERTISEMENT
Dalam literatur akademik, partisipasi dapat dimaknai sebagai keterlibatan individu maupun kelompok tertentu dalam rangka pembangunan yang bersifat inheren memegang prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Merujuk pada Sherry R Arnstein (Ainur Rohman, 2009: 47), yang mengemukan bahwa ada skema tingkatan partisipasi, yakni: (i) Citizen control; (ii) Delegated power; (iii) Partnership; (iv) Placation; (v) Consultation; (vi) Information; (vii) Therapy; dan (viii) Manipulation.
Dalam sudut pandang di atas, secara umum, kita bisa menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangatlah memiliki nilai substansial. Karena, memiliki otoritas yang dimilikinya yang terlegitimasi secara mantap dalam regulasi. Kendati demikian, secara praksis riil, masyarakat sipil tampak absen atau tidak dilibatkan di sisi yang lain oleh pemerintah dalam keterlibatan pembangunan, terutama saat proses formulasi kebijakan. Seperti, yang terjadi beberapa bulan ke belakang, salah satunya yaitu perumusan UU Cipta Kerja. Kemudian, mengenai proses perumusan kebijakan publik yang abai terhadap partisipasi civil society sebagai insan yang memiliki otoritas tertinggi dalam sistem demokratis juga kurang diperhatikan. Dalam istilah awam, masyarakat tidak dilibatkan saat proses perumusan kebijakan publik dan justru hanya dijadikan objek apabila pemerintah tidak pernah mendengar aspirasi dari masyarakat. Padahal, dalam siklus kebijakan publik, tahap formulasi kebijakan publik juga bersifat urgen bagi kelancaran aktivitas kebijakan.
ADVERTISEMENT
‘Badai’ Covid-19 dan Korupsi
Sejak dilandanya sejumlah negara transnasional, termasuk Indonesia oleh ‘badai’ Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah membuat skema perencanaan pembangunan yang sudah termaktub, harus ditahan untuk sementara waktu. Karena, kondisi dan situasi yang tidak begitu memungkinkan. Selain itu, yang begitu kentara dalam sistem demokrasi di Indonesia adalah tren demokrasi yang tampak mengalami kemerosotan. Hal ini terkonfirmasi dari sejumlah literatur, misalnya, The Economist menyebutkan bahwa Indonesia juga mengalami kemunduran demokrasi. Kemunduran ini juga dialami oleh sejumlah negara maju. Seperti yang telah disebutkan oleh The Economist (2019) yang mengemukakan bahwa kemunduran demokrasi di AS disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap cara bekerja lembaga-lembaga demokrasi yang dinilai melahirkan polarisasi yang begitu kuat dan merusak lembaga-lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, terutama sejak bergulirnya pemerintahan Joko Widodo periode kedua, banyak sejumlah agenda strategis yang akan hendak dicapai melalui sejumlah program dan kegiatan. Program dan kegiatan ini tentu sangatlah plural. Sebab, dalam setiap K/L yang ada di Indonesia, memiliki sejumlah prioritas kerja masing-masing sesuai sektor yang dikendalikannya. Namun demikian, secara faktual, Indonesia bukan hanya diterjang ‘badai’ Covid-19, akan tetapi diterjang ‘tsunami’ korupsi yang ada dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo dan sejumlah hal-ihwal lainnya. Dan, kita menemukan dan melihat perilaku-perilaku para aktor yang mencoba merasuah keuangan negara. Secara mutakhir, para aktor yang merasuah keuangan negara ini dilakukan oleh ‘oknum menteri’ yang berasal dari sejumlah partai politik.
Adapun sejumlah ‘oknum menteri’ tersebut di antaranya sudah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, Presiden Joko Widodo sudah sedari awal mengungkapkan kepada para menterinya ketika pengumuman komposisi kabinet jilid kedua, agar tidak melakukan korupsi. Akan tetapi, ungkapan yang selama ini sering diagung-agungkan oleh elite politik tidak didengar sama sekali, terutama mengenai tidak boleh melakukan korupsi dalam mengaktualisasikan roda pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pada periode pertama, dalam komposisi kabinet Joko Widodo juga terdapat menteri yang sudah tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan, secara mutakhir, hal ini terulang kembali. Meskipun pada satu pihak, korupsi seringkali hadir dan menjadi peristiwa sehari-hari yang sering ditampilkan.
Namun, secara klise ini menunjukkan bahwa para ‘oknum’ yang melakukan rasuah tersebut tidak pernah belajar dari pengalaman empiris sejumlah oknum yang sudah tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan, di lain pihak, dalam sistem politik kontemporer, terutama di pemerintahan jiid kedua Joko Widodo, terdapat ‘oknum menteri’ yang pada saat yang sama melakukan praktik ‘busuk’ tersebut. Para oknum tersebut tidak pernah berkaca pada sebagian besar permasalahan masyarakat sipil, terutama di tengah pandemi yang dahsyat ini.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa korupsi selalu terulang. Salah satu di antara faktor penyebab para oknum tersebut melakukan rasuah karena tidak berjalan dengan baik check and balances yang ada di Indonesia. Pun juga karena ada pengabaian kebebasan sipil, termasuk dalam hal-ihwal partisipasi publik akan mengundang tingkat korupsi yang semakin tinggi.
Kemudian, mengikuti Agustino dan Fitriani (2017) dalam studinya menyatakan bahwa para koruptor yang tak kunjung jera dalam melakukan tindakan korupsi disebabkan karena berbagai faktor, salah satu di antaranya, misalnya, Tanzi 1998; Amundsen 2009; McNab & Bailey 2010 dalam Agustino dan Fitriani (2017) menyatakan bahwa Pertama, masalah lemahnya akubtabilitas pejabat publik termasuk para politisi dalam mengelola urusan-urusan publik. Akibatnya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa akuntabilitas pejabat publik, termasuk politisi cukup rendah. Oleh karena itu, dalam mengelola suatu negara yang tampak masih tertatih-tatih perlu prinsip sosial yang mengedepankan mutual understanding, mutual trust, dan mutual commitment dalam rangka mencapai tujuan bangsa Indonesia. Selain itu, masih terjadinya korupsi, termasuk saat negara menghadapi ‘badai’ ini karena masih lemahnya penegakan hukum.
Reshuffle Kabinet
Hampir genap satu tahun, ditambah sejumlah K/L yang kinerjanya sangat lamban tentu akan dievaluasi, termasuk para menteri-menteri dalam kabinet Joko Widodo. Terlebih sudah ada faktor penyebab, yang akan mempercepat perombakan kabinet, yaitu tertangkapnya sejumlah oknum menteri yang melakukan rasuah. Beberapa bulan yang lalu, sangat menyeruak sekali informasi mengenai akan terjadi reshuffle dalam genap satu tahun pemerintahan Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hal ini tidak pernah terjadi. Dan, di luar konsep-konsep sebelumnya. Pasalnya, pada periode pertama, perombakan kabinet sudah terjadi sejak bulan Agustus 2015. Padahal, belum sampai genap satu tahun Joko Widodo menjabat kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua, reshuffle kabinet terjadi pada saat memasuki bulan Juli 2016. Diikuti perombakan selanjutnya, yaitu pada bulan Januari 2018 dan bulan Agustus 2018.
Padahal, pada saat itu kinerja di antara para menteri dalam keadaan sangat normal. Akan tetapi, perombakan kabinet terjadi. Sebagian besar karena secara kalkulasi politik untuk kepentingan dan/atau menguatkan koalisi dan sebagai katalisator menghadapi Pemilu 2019 silam. Dan, pada saat yang sama, pada periode kedua hari ini, telah melewati genap satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan perombakan belum terjadi.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah argumentasi yang bisa dibangun. Pertama, pada jilid kedua pemerintahan hari ini karena ada sejumlah kepentingan atau agenda strategis yang harus berhasil. Dan tentunya keberhasilan itu akan cepat ketika mendapatkan dukungan mayoritas sangat penuh. Dengan kata lain, ada legitimasi total yang diberikan oleh politisi dan elite politik; baik dari politisi di Senayan yang tergabung dalam koalisi maupun para menteri. Untuk meng-goal-kan hal itu tentunya pemerintah mencoba menjaga stabilitas politik agar tetap kondusif. Hal ini terkonfirmasi atas sejumlah regulasi yang disahkan secara cepat dan periodik.
Bahkan, dalam platform media mainstream, menyeruak juga soal penekanan yang diberikan agar segera melakukan reshuffle kabinet. Hal ini terjadi karena secara hipotesis ada loyalis yang belum mendapatkan akomodasi di sejumlah lembaga. Dengan demikian, setelah tertangkapnya sejumlah menteri yang melakukan rasuah, seperti yang sudah dibahas di awal, memberikan ilustrasi bahwa perombakan kabinet akan segera terjadi. Ditambah sudah melewati kurun waktu yang biasanya terjadi perombakan kabinet, terutama akan mengalami pergantian tahun.
ADVERTISEMENT
Perombakan kabinet tentu akan terjadi dalam waktu dekat. Ada dua kemungkinan, yang pertama reshuffle terjadi di penghujung tahun 2020 dan yang kedua pada awal tahun 2021. Terakhir, yang menarik perhatian khalayak publik beberapa pekan yang lalu, karena yang melakukan rasuah ini berasal dari parpol yang notabene memperoleh suara terbesar dalam Pemilu 2019. Tantangan yang akan dihadapi ke depan tentu sangatlah sukar, karena bekerja dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Jadi, sebagai kepala negara yang memiliki prioritas atau prerogatif, Presiden Joko Widodo dapat memilih sejumlah menteri yang memiliki track record, kompetensi, kapasitas, integritas, dan profesional, agar pemerintahan saling mendukung satu sama lain.
Dengan demikian, kabinet pemerintahan jilid kedua yang dinahkodai oleh Presiden Joko Widodo semestinya dapat me-legacy-kan hal-ihwal yang bersifat jangka panjang untuk peradaban suatu negara Indonesia, terutama yang memiliki value lebih.
ADVERTISEMENT