Konten dari Pengguna

Komplikasi Tanggapan Feminisme Terhadap Sistem Kapitalisme

Inas Ainun Shafia
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
28 Juli 2022 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inas Ainun Shafia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: iStock by Getty Images (https://www.istockphoto.com/photo/hand-flips-a-dice-and-changes-the-word-socialism-to-capitalism-or-vice-versa-gm1163546254-319530221)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: iStock by Getty Images (https://www.istockphoto.com/photo/hand-flips-a-dice-and-changes-the-word-socialism-to-capitalism-or-vice-versa-gm1163546254-319530221)
ADVERTISEMENT
Perspektif feminisme dalam studi ekonomi politik global berdiri sebagai perspektif yang percaya bahwa setiap ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial harus dilawan, sebagaimana mulanya ini datang dari keresahan akan kaum perempuan yang selalu menjadi kelompok marginal. Feminisme semakin terdengar berkaitan dengan sosialisme dengan melihat dari fokusnya akan menyamaratakan hak setiap pekerja tanpa memandang identitasnya. Selain terdapat perbedaan akan mekanisme yang diajukan feminisme dengan sosialisme, keduanya juga cukup berbeda akan tanggapan terhadap sistem ekonomi politik yang mendominasi saat ini.
ADVERTISEMENT
Pandangan Feminisme Terhadap Ekonomi Politik Global
Berbeda dengan sosialisme yang tumbuh melalui protes akan paham kapitalisme, feminisme mengarahkan protesnya akan sistem global yang dianggap telah ter-genderisasi. Mulai dari konstruksi sosial yang dibangun untuk perempuan berdasar kepada apa yang dipahami melalui pandangan laki-laki, feminisme juga protes akan diskriminasi bersifat material dan struktural yang dihasilkan dari hal tersebut hingga bagaimana diskriminasi telah mempengaruhi secara dalam sistem ekonomi global yang berlaku saat ini.
Feminisme menekankan isu diskriminasi sosial berdasarkan gender sebagai masalah utama dalam ekonomi global. Hal ini ditegaskan dengan anggapan feminisme akan adanya keterkaitan kuat antara relasi pasar dalam konteks makro dengan aktivitas domestik atau rumah tangga. Feminisme sadar adanya beban ganda yang dimiliki perempuan dalam melakukan kesehariannya yang mana tidak dialami oleh laki-laki. Beban ganda yang dimaksudkan adalah asumsi bahwa persoalan rumah tangga seperti melindungi dan mendidik keluarga yang hukumnya wajib dan telah menjadi tanggung jawab utama bagi perempuan terlepas dari apakah adanya pekerjaan yang dimiliki perempuan di luar lingkup keluarganya.
ADVERTISEMENT
Asumsi ini telah menutupi kenyataan bahwa seharusnya perempuan memiliki pilihan yang sama dengan laki-laki untuk menjalani kehidupannya, sebagaimana asumsi tersebut merupakan konstruksi dari apa yang menjadi anggapan laki-laki hingga membentuk apa yang disebut sebagai patriarki. Sebab asumsi ini juga yang memunculkan istilah beban ganda, terkait bagaimana pekerjaan dalam rumah tangga yang dilakukan perempuan tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang bernilai, namun lebih kepada kodrat.
Dalam lingkup kultur pekerjaan, telah terdapat suatu aturan yang telah mendominasi sebagian besar kalangan yakni adanya pemberian upah tidak sesuai kepada perempuan. Upah pekerja yang seharusnya diukur melalui kinerja pekerja serta kontribusinya secara objektif, masih sedikit diimplementasikan. Faktanya, perempuan mendapat upah lebih sedikit daripada laki-laki ditinjau dari adanya upah yang disesuaikan oleh gender atau upah yang tidak sesuai dengan kontribusi yang telah diberikan.
ADVERTISEMENT
Mengutip data dari Global Citizen, terdapat istilah "gender wage gap" yang ditarik daripada data yang menyebutkan bahwa perempuan menghabiskan ⅔ daripada jam kerja namun meraih hanya 10% daripada pendapatan di dunia. Jam kerja yang dihabiskan perempuan masih terkait dengan beban ganda yang disebut sebelumnya—perempuan yang bekerja di luar rumah namun masih harus bertanggung jawab penuh terhadap aktivitas rumah tangga. Bukanlah tanpa alasan penetapan upah tidak sesuai terhadap perempuan ini ada, namun sebab asumsi negatif terhadap perempuan sebagai pekerja yang tidak terampil, emosional, dan tidak lebih kompeten dari laki-laki.
Dengan mengaitkan daripada fenomena ini, feminisme percaya bahwa kemiskinan global yang tengah dihadapi sistem ekonomi saat ini hanya dapat diselesaikan bila terlebih dahulu menghapuskan diskriminasi struktural dan material yang diderita perempuan. Dapat dimulai dari restorasi kebutuhan perempuan seperti sanitasi dan fasilitas kesehatan, menghilangkan batasan-batasan bagi perempuan untuk mendapat pendidikan yang layak, serta pembaharuan sistem dalam sektor pekerjaan sebagaimana ketiga hal tersebut memiliki interkonektivitas dalam menentukan kesuksesan perempuan sehingga meminimalisir persentase kemiskinan dunia yang sebagian besar dialami oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
Keberpihakan Feminisme
Setelah sebelumnya kritik terhadap perspektif feminisme lebih diarahkan kepada kelemahan feminis untuk memberikan mekanisme yang terstruktur untuk menggantikan sistem ekonomi kapitalis yang mendominasi saat ini, kini feminisme kembali dikritik terkait gagasannya yang dianggap mulai beralih. Tanpa mengeneralisir para paham feminisme dengan apa yang benar-benar diperjuangkannya, kenyataannya saat ini feminisme masih belum secara jelas terlihat keberpihakannya terhadap kapitalisme sebagai sistem yang mendominasi.
Kapitalisme—atau dikenal juga sebagai liberalisme ekonomi menuntut adanya kebebasan seluas-luasnya bagi tiap individu mencapai kepentingan pribadinya, membatasi intervensi atau campur tangan kepada individu serta dengan memusatkan sumber kekayaan pada tenaga kerja manusia. Melalui pemahaman ini, kapitalisme mendorong adanya inovasi dan ruang bagi individu menjalankan kehidupannya. Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan akan bagaimana seharusnya feminisme berpihak.
ADVERTISEMENT
Pergerakan feminisme untuk melawan kapitalisme telah dianggap inkompatibel bila merujuk akan keinginan kapitalisme terhadap ruang bagi individu. Inovasi, teknologi, maupun pembaharuan yang dihasilkan sebab adanya kapitalisme telah menguntungkan perempuan secara langsung. Ini terlihat jelas dari adanya transisi terhadap fokus feminisme yang berkembang dari gelombang pertama yang memperjuangkan hak pilih perempuan dalam sektor politik, hingga saat ini dalam gelombang keempat yang menuntut adanya pertanggungjawaban atau restorasi akan penindasan yang dinormalisasi terhadap perempuan.
Kapitalisme juga memberi ruang untuk ekonomi dapat ditumbuhkan melalui individu dengan kepemilikan bisnis yang dapat dikembangkannya, sebagaimana ini juga mempermudah perempuan untuk meraih penghasilan.
Meski demikian, kenyataanya kapitalisme juga menjadi penyebab utama dari kesenjangan yang semakin melebar. Banyaknya individu yang tertinggal persaingan pasar, hanya dapat meraih posisi sebagai pekerja yang diupah tidak sesuai oleh para pemilik modal sebagai pemegang kekuasaan. Tentunya hal ini menjadi urgensi bagi paham feminis untuk melawan tindakan kapitalis tersebut, karena pada dasarnya agenda feminisme untuk melawan ketidaksetaraan tidak dibatasi oleh identitas pribadi, ditambah lagi eksploitasi pekerja oleh sistem kapitalisme telah berkaitan erat dengan seksisme yang dilawan feminisme. Ini menunjukkan ketidaksesuaian bagi feminisme untuk mendukung kapitalisme, sebagaimana kapitalisme tidak secara nyata mendukung adanya kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Dengan ini, feminisme lebih baik untuk tetap pada kritiknya terhadap kapitalisme mengenai penindasan yang dihasilkan dengan secara kolektif melakukan perbaikan untuk menuntut adanya kesetaraan yang tidak dapat diberikan kapitalisme sebab tujuan kapitalisme adalah untuk memperoleh keuntungan, bukan memberikan adanya perbaikan dalam sistem ekonomi.