Konten dari Pengguna

Mengapa Kita Memandang Feminisme Sebagai Hal yang Tabu?

Inayah Putri Wulandari
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.
6 Juli 2022 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inayah Putri Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan tersenyum dari berbagai negara, berdiri di depan bunga abstrak. Sumber foto: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan tersenyum dari berbagai negara, berdiri di depan bunga abstrak. Sumber foto: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di daerah pinggiran kota, saya rasa penting bagi masyarakat untuk memahami feminisme secara utuh. Meski telah mendengar kata feminisme sejak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya tidak pernah tertarik untuk belajar tentang feminisme setidaknya hingga saya berada di bangku kuliah. Banyaknya pro dan kontra terkait feminisme justru membuat saya terdorong lebih jauh untuk belajar tentang feminisme.
ADVERTISEMENT
Saya adalah perempuan yang tumbuh di tengah lingkungan masyarakat yang cukup konservatif. Sebagai perempuan, saya dan teman-teman masa kecil saya diatur tentang bagaimana kami harus berpakaian, berdandan, dan berperilaku. Setiap sore menjelang malam, kami didorong untuk pergi mengaji. Saya ingat, ketika itu saya memilih untuk pergi mengaji di tempat pengajian yang tidak mengatur secara ketat bagaimana santri perempuan harus berpakaian. Tempat mengaji yang saya pilih ini juga tidak memisahkan ruangan antara santri laki-laki dan santri perempuan. Guru mengaji kami yang merupakan seorang laki-laki juga tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap santri laki-laki maupun perempuan. Karena ini, saya dan para santri perempuan lainnya memiliki kepercayaan diri yang tinggi!
Saat ini saya sadar bahwa tempat mengaji saya di masa kecil telah memberikan saya banyak pelajaran terkait makna kesetaraan. Perlakuan dan kesempatan yang sama akan mampu memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi kepada perempuan. Gerak kami tidak dibatasi melalui aturan cara berpakaian atau mitos tentang batas kemampuan seorang anak perempuan, oleh sebab itu kemampuan belajar dan mengaji kami anak perempuan acap kali lebih baik daripada anak laki-laki. Anehnya, benih kesetaraan yang telah kami terima ketika anak-anak ini justru tereduksi karena adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat ketika kami menginjak usia dewasa. Mitos terkait kewajiban perempuan dalam keluarga, mitos terkait pendidikan perempuan, dan mitos-mitos lainnya yang membuat perempuan berhenti menjadi manusia dengan versi paling baik.
ADVERTISEMENT
Mitos-mitos terkait inferioritas perempuan terhadap laki-laki ini pada akhirnya memunculkan adanya kesadaran palsu. Di bangku SMA, saya berjumpa beberapa teman laki-laki yang berperilaku seolah-olah mereka memiliki kemampuan yang lebih baik ketimbang perempuan! Meskipun tidak unggul dalam kemampuan akademik, beberapa laki-laki masih merasa memiliki keunggulan hanya karena mereka laki-laki. Ini realitasnya, kesadaran palsu mampu membuat laki-laki dapat merasa lebih unggul daripada perempuan hanya karena mereka seorang laki-laki.
Ketika memasuki bangku kuliah, saya berjumpa dengan beberapa teman laki-laki yang mendukung kesetaraan gender namun mereka menolak feminisme secara diam-diam. Meskipun berkuliah dan belajar tentang ilmu sosial, beberapa laki-laki juga masih cenderung berusaha mempertahankan superioritas mereka terhadap perempuan. Yang lebih membuat saya heran, beberapa perempuan justru memilih untuk beradaptasi dengan lingkungan yang didominasi oleh laki-laki dan menerima inferioritas yang disematkan kepada diri mereka. Saya tidak tahu siapa yang benar atau salah, namun kita harus membuka diri untuk belajar soal feminisme.
ADVERTISEMENT
Apa itu Feminisme?
Seorang teman saya yang merupakan laki-laki pernah melontarkan sebuah pertanyaan; “apa sih sebenarnya feminisme?”. Yang benar saja, saya tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut. Bagi saya, ada banyak kalimat dan pemahaman yang menjelaskan makna feminisme. Sedih untuk dikatakan, makna feminisme yang kita pahami saat ini justru membuat kita anti dengan feminisme.
Ada beberapa perempuan yang dengan lantang mengklaim dirinya sebagai seorang feminis namun tindakannya acap kali menindas perempuan lain. Sementara itu, ada perempuan yang enggan mengklaim dirinya sebagai seorang feminis namun setiap tindakannya ditujukan untuk membantu perempuan lain. Bagi saya, feminisme itu bukan sekedar identitas. Lebih dari itu, feminisme merupakan bentuk ucapan dan perilaku perempuan terhadap segala persoalan sosial, politik, dan budaya yang menyangkut perempuan.
ADVERTISEMENT
Chimamanda Ngozi Adichie, penulis buku We Should All Be Feminists (2014) mendefinisikan feminis sebagai seorang laki-laki atau perempuan yang menyadari akan adanya masalah gender dan memiliki kemauan untuk memperbaiki masalah tersebut. Secara umum, feminisme merupakan keyakinan terkait adanya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik bagi perempuan. Simone de Beauvoir, seorang tokoh feminisme di awal abad ke-20 melihat bahwa perempuan harus diberikan akses dan perlakuan yang setara dengan laki-laki melalui perubahan hukum, adat, dan pendidikan.
Feminisme saat ini acap kali diasosiasikan dengan dukungan terhadap LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Queer), dukungan terhadap aborsi, dukungan untuk childfree dan hal-hal lainnya yang dianggap bertentangan dengan norma sosial di masyarakat. Beberapa perempuan memilih untuk menjauh dari feminisme karena adanya narasi bahwa semua feminis dianggap sebagai pendukung LGBTQ atau bahkan semua feminis dianggap membenci laki-laki. Menurut saya, narasi-narasi ini dengan sengaja dibangun untuk memecah belah gerakan perempuan dan menjauhkan perempuan dari esensi feminisme yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Intinya, feminisme memiliki banyak varian yang berbeda. Varian-varian feminisme ini bersifat sangat cair; ia bergantung pada konteks subjek feminis yang dilihat. Berbeda dengan feminisme gelombang pertama atau kedua yang memiliki batas-batas tertentu seperti hak pilih dan pendidikan, feminisme saat ini tidak hanya dibatasi pada jenis-jenis kesetaraan gender tertentu. Oleh sebab itu, banyak orang menggap feminisme saat ini telah kebablasan dan tidak tahu diri. Tentu saja saya tidak setuju dengan istilah feminisme yang kebablasan. Menganggap bahwa feminisme saat ini sudah kebablasan justru menunjukkan adanya ketidaktahuan terkait dengan feminisme.
Feminisme bukanlah sebuah gerakan tunggal yang ditujukan untuk mendukung LGBT, hak aborsi, dan membenci laki-laki. Feminisme merupakan hal yang kompleks, ia menawarkan sebuah jalan untuk memberikan konsep terkait dengan masalah dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan di era modern maupun kontemporer. Seseorang dapat menjadi seorang feminis ketika ia membela perempuan lain yang menjadi korban kekerasan seksual. Seseorang dapat menjadi seorang feminis ketika ia memiliki keyakinan bahwa seorang perempuan dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Semua orang yang mendukung kesetaraan gender secara universal adalah seorang feminis!
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang feminis terkadang merupakan cara bagi perempuan atau bahkan laki-laki untuk mengekspresikan pengalamannya terkait dengan gender. Semua orang yang mendukung kesetaraan gender adalah feminis. Hanya saja, setiap orang memiliki perbedaan cara pandang untuk mewujudkan kesetaraan gender. Oleh sebab itu, menganggap feminisme sebagai sebuah hal yang tabu adalah pilihan yang keliru. Dengan menganggap bahwa feminisme merupakan sesuatu yang tidak layak untuk dibicarakan, kita juga menganggap bahwa masalah kesetaraan gender yang dialami oleh perempuan juga tidak layak untuk dibicarakan.