Sebotol Bir

Inda Simbolon
Karyawan swasta sebagai Junior Associate di PT PowerPR Instituto
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2022 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inda Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam itu kembali kubermesraan dengan dingin dan gelap. Akhirnya bulan dan bintang berhasil memunculkan sinarnya sebab si tuan telah pergi. Tak lupa kuambil sebotol bir di lemari pendingin. Aku tak butuh gelas. Inilah yang kumaksud dengan keintiman bersama sebotol bir.
ADVERTISEMENT
Kubuka tutup botolku dengan gigi taring sebelah kanan sebab aku tak memiliki jar opener. Tidak berdarah hanya sedikit ngilu.
Akhhh, rasanya masih sama seperti yang dulu. Sudah sangat lama aku tak menenggaknya, satu setengah kalender telah kulewatkan. Malam itu kuputuskan untuk memuaskan dahagaku selama ini. Tenang, ini takkan membuatmu mabuk. Takkan merusak fungsi otakmu. Ini hanya minuman pelepas dahaga saja.
Aku tak berhenti tersenyum melihat ia digenggamanku. Aku takkan melepasmu lagi, ucapku. Beberapa kali aku ingin mencoba rasa yang lain. Mungkin ada rasa yang lebih tepat lagi untuk lidahku. Yang lebih pekat dan membuatku lupa sejenak hidup di dunia ini. Oh iya, pernah sekali kuberalih dengan rasa yang lain. Argghhh, rasanya masih tinggal di lidahku. Ia sangat pekat, membuatku melayang saat itu. Aku berusaha kuat walau kakiku tak lagi bisa ku papah untuk berjalan teratur. Sungguh malam itu sangat indah. Tapi aku lupa namanya. Ia dari negeri yang jauh, negeri nazi.
ADVERTISEMENT
Tidak ada luka, tidak ada air mata. Yang nyata adalah kebahagiaan. Aku sedang bersyukur kepada pencipta dan pemilik semesta. Aku mendekatkan diriku pada-Nya. Aku berserah. Inilah namanya hidup yang tenang. Dengan sedikit campuran alkohol.
Seharusnya kebiasaan ini tak boleh aku lewatkan lagi. Ini terlalu indah.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Kuambil handphone untuk memutar lagu kesukaanku, John Denver, Take Me Home Country Road. Kuikuti setiap melodi dan sesekali kuikut bernyanyi. Jangan salah aku juga memutar lagu pujian untuk Tuhan, sebab pesta ini kugelar dengan mengundang Tuhan.
ADVERTISEMENT
Sekilas, kenangan lalu muncul dalam anganku. Mungkin pengaruh lagu yang membuatku terbawa suasana. Rentetan botol, teko putih, kuaci, kacang, gitar, pantulan sinar proyektor dan sound system. Bayangan itu meyakinkanku bahwa malam ini aku sedang sepi.
Kala itu, sore hari sekitar pukul 4.00 kita merapatkan meja, meninggalkan pekerjaan yang masih tersisa. Kita rehat sejenak dan merayakanya bersama, tidak ada komputer atau laptop yang menyala.
Ada yang dengan rela menuangi minuman ke setiap gelas, ada yang memetik gitar dan bersenandu mesra. Sesekali kita nyanyikan lagu kesukaanku itu. Meja itu terlalu ramah bagiku. Kepulan asap dari rokok yang kau hisap membuatku pusing. Walaupun pada akhirnya aku menikmati aroma yang begitu menyengat. Itulah sebabnya kenapa aku tak melanjutkan untuk ikut mengepul dimulutku sendiri. Aku pernah mencobanya tapi tubuhku tak kan mampu pikirku. Lagi pula itu akan menguras kantungku. Jadilah aku perokok pasif yang katanya akan berbahaya juga. Tapi bagaimana aku menghindarinya? Kau pikir aku akan meninggalkan meja pesta ini perkara asap kecil itu? Lebih parah lagi asap yang dibiarkan oleh negara ini karna ulah para korporat.
ADVERTISEMENT
Sebotol bir membawaku keperjalanan masa lalu. Aku dulu berada dibarisan pemaki itu. Menelanjangi kebijakan segelintir elit yang menyengsarakan rakyat, memiskinkan rakyat. Aku belum jadi apa-apa tapi aku ada dan nyata dalam perjuangan itu. Mulutku tak berhenti memaki para elit yang greedy.
Sepertinya aku merindukan diriku yang dulu, dan aku mengobatinya dengan sebotol bir. Aku tenggelam dalam kesepianku, sebab mejaku hanya aku seorang dan tidak ada yang menuang ke gelasku. Ini adalah alasan kedua kenapa aku memilih tidak pakai gelas.
Kuraih buku harian dan bolpen hitamku. Kumulai menulis, memberi nasihat kepada diri sendiri. Inilah proses yang telah kau pilih dan tak ada yang perlu disesali. Aku tetap menuliskan mimpi itu supaya aku tidak lupa kelak. Aku akan pulang, aku pasti pulang bisikku malam itu.
ADVERTISEMENT
Aku menangis. Bukan karena aku terluka tapi karna malam telah mengalahkan hujan yang membuat emosiku ada di titik paling rendah. Seketika aku bertanya, bolehkah aku kembali lagi?
Foto diambil dari Pixabay.com
Mungkin tak sama lagi. Aku berpikir keras. Jika demikian siapa selanjutnya yang meramaikan mejaku ini? Aku sudah bosan dengan sepi ini, aku ingin kita memaki bersama lagi. Bagaimana mungkin jika setiap malam hanya aku seorang?
Aku juga bertanya kepada Tuhanku, kenapa season kedua perjalanan ini terasa sepi? Bukankah seharusnya ini lebih menggilakan dari yang pertama sebab aku telah menamatkannya dengan alur yang begitu rapi.
Malam itu aku akhiri dengan tanya, sebab demikianlah harusnya.
Kuambil cermin kecil disamping kiriku dan kupandangi kedua mataku. Baguslah dia tidak membengkak dan juga tidak memerah. Memang aku hanya menitikkan sedikit air mata saja. Aku tidak terisak. Aku pikir itu hanya gerak reflek retinaku ketika hati dan logikaku sedang berlomba memenangkan keadaanku saat ini dan akhirnya dimenangkan oleh hati dan dengan sadar logikaku membawa ke masa lalu.
ADVERTISEMENT
Aku bahkan belum tahu apa yang mustinya kulakukan sekarang? Aku juga tidak tahu sampai kapan kata “rehat” ini kugunakan sebagai alasan untuk membatasi diriku. Aku sedang mencoba bertahan dengan pikiran yang begitu sederhana, sesederhana esok aku masih bisa makan dan tidur.
Kulanjutkan menghabiskan bir yang masih kugenggam. Tersisa sedikit lagi.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar tidurku yang begitu sempit lalu kujatuhkan badanku. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi hingga esok pagi sinar fajar yang masuk melalui fentilasi kamar mengganggu mataku dan membangunkanku. Kubuka handphone, jam 06.15. Sialll !!! Dan lagi aku terlambat. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku yang belum niat untuk aku rubah.