Konten dari Pengguna

Masyarakat Indonesia Masih Terjebak Di 2020? Benarkah itu?

Indira Dwi Intan Putri
Saya seorang mahasiswa program studi Gizi dari Universitas Airlangga, Surabaya
30 Mei 2024 7:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indira Dwi Intan Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stress karena berlarut dalam kesedihan, overthinking, dan merasa tidak berkembang Sumber : www.canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Stress karena berlarut dalam kesedihan, overthinking, dan merasa tidak berkembang Sumber : www.canva.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 2020, Dimana terjadinya peristiwa wabah virus Covid-19 yang tidak akan terlupa. Seluruh dunia merasakan wabah penyakit ini. Rasa panik, khawatir, sedih, dan bingung dirasakan oleh seluruh penjuru dunia. Kehilangan anggota keluarga bahkan teman membuat hampir seluruh dunia berselimut kesedihan. Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi semua orang. Kejadian yang begitu sedih terus menempel di dalam memori setiap orang. Tahun yang begitu terasa kesan sedih dan panik yang tak terkendala. Virus Covid-19 bisa dikatakan sebagai penyebab berhentinya waktu karena dari saat itulah mental dan berbagai peristiwa yang terjadi tidak dapat dirasakan secara nyata.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020, seluruh dunia mulai merubah kebiasaannya. Beradaptasi dengan hal yang sangat baru di tahun ini terasa sangat berat. Seluruh kegiatan mulai diberhentikan, semuanya dilakukan di dalam rumah demi menghindari penyebaran virus Covid-19 yang berbahaya. Ponsel dan komputer jinjing atau laptop menjadi sahabat terbaik yang selalu menemani keseharian yang sepi itu di dalam rumah. Tak ada lagi melakukan hal sosial di luar rumah. Semua akses dibatasi demi kesehatan bersama. Dan hebatnya, hal itu berlangsung selama 2 tahun lamanya. Waktu yang begitu panjang dan terasa sesak. Tidak sedikit orang yang mulai merasakan depresi karena perubahan kebiasaan yang berjalan terlalu cepat. Tidak sedikit pula berbagai perusahaan atau usaha mulai gulung tikar karena tiadanya pembeli. Dampak dari peristiwa ini mampu menurunkan prevalensi perekonomian negara dan juga prevalensi kesehatan masyarakat. Tak hanya itu, kenaikan tingkat depresi begitu melonjak pada tahun ini. Peristiwa Covid-19 memang sangatlah berat hingga membuat masyarakat yang mengalaminya masih terasa terjebak dalam tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, banyak sekali konten dalam X atau twitter dan juga TikTok yang membagikan pengalaman denial mereka terhadap umur mereka yang sudah tak lagi muda. Mayoritas dari mereka adalah merasakan bahwa mentalnya terasa seperti masih berumur 17 tahun atau dapat disebut juga mereka masih menganggap bahwa mereka berada di tahun 2020. Padahal dalam kenyataannya, tahun 2020 sudah terlewati selama 4 tahun yang lalu. Tahun 2021-2023 seperti menghilang tanpa jejak. Memori dalam tahun-tahun tersebut tak mampu dirasakan dan tak mampu diingat. Tahun 2021-2023 layaknya asap yang begitu dikibaskan oleh tangan langsung lenyap tak tersisa. Masyarakat anak muda terkhusus Gen Z (1996 – 2009) masih merasakan bahwa dirinya yang sekarang adalah dirinya di tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Postingan dalam sebuah media sosial yaitu X atau Twitter terdapat beberapa postingan yang menyebutkan bahwa diri mereka masih berada dalam 2020. Dalam beberapa postingan mengenai hal tersebut terdapat berbagai reaksi dari akun lainnya yang mendukung pendapat tersebut dan ada pula yang menolak pendapat tersebut hingga berujung dengan kata kasar yang terlontar dari beberapa akun. Padahal maksud dari beberapa postingan yang disampaikan hanya menuangkan pikirannya yang menolak dalam menghadapi kenyataan bahwa saat ini seseorang yang lahir pada tahun 2000-2004 saat ini sudah memasuki dunia kerja ataupun perkuliahan.
Postingan tersebut juga mendapat berbagai tanggapan dari sebuah akun tanyarlfes yang dikirim secara anonim. Pada postingan tersebut berawal dari tanggapan negatif yaitu “bisa gak sih, gak usah alay. anak 2000-2004 sekarang udah banyak yang kerja, jadi staff bumn ada, commis 1 ada, CEO di startup sendiri ada, yang udah punya karyawan juga udah ada, udah di umur siap untuk menikah juga, jd bisa stop gak opini kayak gini?”. Namun, tanggapan ini tak sedikit juga menuai protes dari akun twitter lainnya. Dalam komentar dipenuhi dengan tanggapan bahwa dampak dari Covid-19 ini sangat mengubah kebiasaan dan hidup seseorang yang mengalaminya. Berawal dari libur dua minggu menjadi dua tahun. Dua tahun di dalam rumah saja bukan merupakan waktu yang sebentar. Semua aktivitas dilaksanakan dari ponsel dan juga komputer jinjing atau laptop. Berasal dari tanggapan-tanggapan yang disampaikan tersebut, dampak dari wabah Covid-19 tak hanya menyerang kondisi ekonomi, tetapi juga kondisi psikologis dan mental seseorang.
ADVERTISEMENT
Mayoritas masyarakat merasa masih terjebak dalam tahun 2020 yang memiliki kesan dan pengalaman baru yang menyedihkan. Berdasar dari tanggapan masyarakat, mereka masih tidak ingin menghadapi kenyataan hidup yang berjalan terlalu cepat. Mereka merasa bahwa dirinya yang sekarang merupakan dirinya yang berada pada tahun 2020. Wajar saja masyarakat merasa seperti itu karena tahun 2020 merupakan waktu di mana semuanya berhenti, seluruh aktivitas di luar rumah berhenti dan digantikan di dalam rumah. Sering kali mereka merasa depresi, cemas, dan khawatir terhadap dirinya sendiri. Mereka ragu terhadap jalan hidupnya karena masih merasa terjebak dalam tahun 2020.
Dalam pandangan psikologis sendiri, hal itu dapat dikatakan sebagai sindrom Peter Pan yang berarti masih menganggap dirinya adalah anak kecil yang tidak memiliki tanggung jawab, selalu mengandalkan orang lain, tidak stabil dan memiliki sifat seperti anak kecil pada umumnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kecemasan atau kekhawatiran dalam diri untuk menghadapi masa depan yang berat. Mereka tidak siap untuk menerima tanggung jawab yang besar, mereka masih ingin kabur dari kenyataan yang saat ini masih dihadapi, mereka juga tidak ingin disalahkan. Hal ini akan berdampak buruk bagi dirinya jika tidak segera ditangani.
ADVERTISEMENT
Penanganan untuk pencegahan terjadinya sindrom Peter Pan adalah dengan pergi ke seorang psikolog. Tidak hanya itu, mereka yang mengalami perlu didukung dan diberi semangat untuk melanjutkan hidupnya. Mereka butuh bantuan dari lingkungan yang mereka tinggali. Mereka juga perlu adanya pemikiran optimis dan positif untuk menghindari masalah psikologis yang lebih parah lagi. Namun, dalam postingan twitter yang disampaikan hanyalah sebagai awal dari sindrom Peter Pan. Mereka hanya masih berada dalam tahap denial dan bukan dalam kondisi psikologis yang serius. Artikel ini hanya sebagai jalur pencegahan dan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap sindrom Peter Pan.
Jangan terjebak dalam masa lalu, sebagai manusia, kita perlu untuk melanjutkan dan meneruskan hidup meski adanya berbagai rintangan yang mencoba meruntuhkan kita. Dalam hal tersebut, kita harus mencoba berpikiran positif dan menceritakan kesusahan yang kita alami ke orang lain, serta menghadapi masalahnya dengan penuh pertimbangan. Kabur dari masalah bukanlah solusi yang tepat, menghadapi masalah dengan keteguhan jiwa dapat membuat diri kita menjadi lebih dewasa. Teruslah berjuang, jangan sampai menyerah.
ADVERTISEMENT