Konten dari Pengguna

ITW : Raja Ampat Simbol Ekosistem Pariwisata Indonesia Bukan Simbol Pertambangan

Indonesia Tourism Watch
Lembaga Swadaya Masyarakat Pengamat Pariwisata Indonesia/Indonesia Tourism Watch (NGO-ITW) Sebuah LSM yang lahir dengan semangat kolaboratif
8 Juni 2025 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
ITW : Raja Ampat Simbol Ekosistem Pariwisata Indonesia Bukan Simbol Pertambangan
ITW : Raja Ampat Simbol Pariwisata Indonesia bukan Simbol Pertambangan Indonesia
Indonesia Tourism Watch
Tulisan dari Indonesia Tourism Watch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Ilustrasi kegiatan tambang nikel di Raja Ampat (Dokumen ITW)
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Ilustrasi kegiatan tambang nikel di Raja Ampat (Dokumen ITW)
ADVERTISEMENT
Jakarta - Indonesia Tourism Watch (ITW) menyampaikan keprihatinan mendalam atas maraknya aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebuah kawasan yang secara resmi telah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020. Ancaman pertambangan di wilayah ini merupakan bukti nyata kegagalan negara dalam melindungi kawasan konservasi dan wisata strategis dari cengkeraman kepentingan ekstraktif. Apa yang kini terjadi di Raja Ampat bukan sekadar ironi kebijakan, melainkan paradoks pembangunan yang merusak dirinya sendiri: negara mempromosikan wisata berkelanjutan di satu sisi, namun membuka jalan bagi tambang di sisi lain.
ADVERTISEMENT
Pendiri ITW, Ichwan Abdillah yang akrab disapa Bedil, menilai bahwa Raja Ampat adalah wajah ekologis Indonesia yang kini terancam dirusak demi ambisi industrialisasi yang tidak visioner. Dalam keterangannya, Bedil menyebut bahwa tidak ada justifikasi moral maupun ekologis yang bisa membenarkan keberadaan pertambangan di wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Ia menyebut bahwa keberadaan izin usaha pertambangan di Raja Ampat adalah bentuk pengingkaran terang-terangan terhadap komitmen pembangunan berkelanjutan. “Raja Ampat bukan hanya kekayaan Indonesia, tapi milik umat manusia. Ketika negara membiarkan tambang masuk ke wilayah ini, itu bukan hanya pelanggaran kebijakan konservasi, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan generasi,” tegasnya.
Bedil juga mengkritik keras pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Menurutnya, aktivitas tambang bukan hanya merusak lanskap ekologis dan laut, tetapi juga merusak tatanan sosial-ekonomi masyarakat adat Raja Ampat yang selama ini mengandalkan ekowisata sebagai sumber utama kehidupan. “Mereka telah menjaga lautnya, hutannya, dan menjadikan Raja Ampat contoh ideal pariwisata berbasis lingkungan dan masyarakat. Ketika tambang masuk, bukan hanya terumbu karang yang hancur—identitas, martabat, dan kedaulatan masyarakat lokal juga ikut terkikis,” tambahnya.
Foto: Adyta Raja Sibarani - CEO Indonesia Tourism Watch (Pribadi)
Dikesempatan lain CEO ITW, Adyta Raja Sibarani yang akrab disapa Raja Sibarani, menekankan bahwa kondisi ini memperlihatkan adanya krisis arah dalam kebijakan pembangunan nasional. Ia menyebut pemerintah seringkali mengedepankan narasi green economy dan blue economy di panggung internasional, namun gagal menerapkannya secara konsisten di dalam negeri. Menurut Raja Sibarani, pendekatan negara terhadap pengelolaan destinasi wisata masih terlalu teknokratis dan minim keberpihakan terhadap komunitas lokal. “Apa gunanya bicara ekonomi biru kalau lautnya dibuka untuk tambang? Apa artinya pariwisata berkelanjutan kalau masyarakat lokal dipinggirkan dan ruang hidupnya diambil alih oleh kepentingan korporasi?” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kasus Raja Ampat, menurut ITW, bukanlah yang pertama. Raja Sibarani menyebut pola ini telah berulang dibanyak kawasan, seperti di Mandalika, Danau Toba, hingga Wadas. Semua kawasan itu dijanjikan akan dikembangkan sebagai wajah baru Indonesia, namun pada akhirnya justru menjadi medan konflik agraria, pencemaran, atau kerusakan lingkungan. “Negara terlalu mudah tergoda pada investasi yang cepat, tanpa menghitung ongkos ekologis dan sosialnya. Ini bukan hanya kebijakan keliru, tetapi sebuah kegagalan konseptual,” lanjutnya.
CEO ITW juga menyatakan bahwa pembangunan pariwisata nasional membutuhkan pembenahan total. Indonesia tidak bisa terus mempromosikan citra hijau dan konservatif di luar negeri, sementara pada saat yang sama memberi ruang tambang masuk ke wilayah destinasi strategis. Jika pemerintah serius ingin menjaga kredibilitas internasional, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencabut seluruh izin tambang di wilayah Raja Ampat, menguatkan status konservasinya secara permanen, dan menempatkan masyarakat adat sebagai garda depan pengelolaan wilayah.
ADVERTISEMENT
Raja Sibarani menyebut bahwa jika ekplorasi nikel dan tambang lainnya di Raja Ampat dibiarkan, maka Indonesia berisiko kehilangan bukan hanya warisan ekologis, tetapi juga kepercayaan dari wisatawan internasional dan investor berorientasi lingkungan. “Jangan sampai kita dikenal dunia bukan sebagai pelindung surga laut tropis, tapi sebagai negara yang menghancurkannya sendiri,” pungkasnya.
Dalam pernyataan akhirnya, CEO ITW menegaskan bahwa momentum ini harus menjadi titik balik. “Raja Ampat bukan sekadar destinasi pariwisata . Raja Ampat adalah simbol Ekosistem Pariwisata Indonesia secara global bukan simbol kawasan pertambangan. Kalau kita gagal di sini, maka kita gagal dimana-mana untuk itu seluruh elemen bangsa Indonesia harus turut menjaga kelestarian Raja Ampat” Tutup Raja Sibarani.