Gegar Budaya atau Pengalaman Lucu?

Indria Salim
Seorang penerjemah, penulis dan blogger lepas. Suka mendengarkan musik, memotret, dan menulis. Sesekali merangkai sajak bebas.
Konten dari Pengguna
22 Januari 2017 12:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indria Salim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi itu matahari bersinar hangat. Saya berolah raga pagi lintas kompleks sambil berburu obyek memotret. Itu bagian dari rutinitas yang memberi berbagai manfaat bagi saya–kesehatan pada umumnya, peredaran darah, pencegahan osteoporosis, koleksi foto sebagai inspirasi dan bahan tulisan, dan hal-hal lain yang bisa saya lakukan sepanjang jalan yang terlewati.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi (Foto: Unsplash)
Di sebuah klaster perumahan tetangga, saya blusukan jepret pohon, jepret binatang piaraan yang lucu dan menarik, apa saja. Di sebuah tikungan, tampaknya saya keblasuk mengarah ke jalan buntu. Saya berhenti, menimbang dan mempelajari arah yang harusnya saya lalui.
Seorang perempuan paruh baya tampak di seberang tikungan, sedang menyapu kebun halaman depan pojok rumah itu. Lalu, dia melintas tampak menyeberang jalan. Saya menanyakan ke dia, apakah jalan lurus di depan saya itu gang buntu.
Jawabannya: "Ya. Itu jalan buntu. Mau ke rumah siapa, dik?"
Suara perempuan itu khas nada asisten rumah tangga karena saya agak hapal dengan kebanyakan mereka yang bekerja di kompleks--datang pagi, pulang sore dan melakukan pekerjaan rumah tangga selama paruh waktu di beberapa rumah dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Mereka sering saya jumpai baik di lingkungan tetangga maupun di jalan saat berpapasan dengan mereka. Maklum saja, saya tinggal di kawasan itu sejak tujuh tahun lalu.
Biasanya, mereka ramah dan suka menyapa saya, padahal kami tidak saling kenal. Dan mereka sadar kesehatan lho, biarpun masih pukul 8 wib, mereka berjalan memakai payung.
"Saya mau ke rumah teman tapi lupa jalannya." Semula saya akan menjawab bahwa saya sebenarnya sedang jalan-jalan, memotret dan nyasar, tapi membaca raut dan ekspresi wajah perempuan itu saya menjawabnya jadi berbeda.
Memang di kompleks itu ada kenalan bernama bu Farida. Di rumahnya, saya suka berbincang soal kolam ikan dan tanaman hiasnya yang asri.
ADVERTISEMENT
Setelah mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu, saya bergegas balik badan mencari jalan ke arah gardu satpam. Baru 3 langkah, dari jauh perempuan itu buru-buru meneriakkan pertanyaannya:
"Mau cari pekerjaan, ya?"
Naluri detektif saya mengatakan bahwa pasti si ibu itu salah sangka tentang saya. Malas berbalas pantun, saya pura-pura nggak dengar pertanyaannya. Eh, dia ulang pertanyaannya dengan suara makin keras:
"Dik, mau cari pekerjaan ya, mau cari pekerjaan?!
Spontan saya menoleh cepat dan setengah berteriak bilang:
"Nggaaak. Sekarang sedang buru-buru mau ngantor!"
Dalam hati, ‘mentang-mentang saya jalan kaki lantas dikira seperti dia, atau disangka orang cari kerja serabutan.’ Stereotyping banget.
Meski cuma pakai sandal jepit, saya kebetulan berpakaian rapi dan pakai lipstik dikit. Tas kecil saya yang berisi dompet uang receh, dompet lipat, dan telepon pintar dan sepertinya bukan model tas yang disukai dia deh.
ADVERTISEMENT
'Wooi, abaikan. Nggak usah baper 'napa?'
Sang akal sehat menertawai diri sendiri sepuas-puasnya.