Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Toxic Masculinity yang Berdampak Buruk Pada Kesehatan Mental Pria
9 November 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari info psikologi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity adalah tekanan budaya yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia tentang bagaimana seorang pria harus bersikap. Contohnya tentang kaum pria yang dilarang menangis dan terlihat lemah.
ADVERTISEMENT
Larangan menangis pada anak laki-laki sejak kecil adalah bagian dari toxic masculinity. Kebiasaan tersebut dapat membuat anak tersebut ketika tumbuh menjadi seorang pria akan menjadi pria yang suka menekan emosi yang berakibat buruk pada kesehatan mentalnya.
Pengertian Toxic Masculinity dan Contohnya dalam Kehidupan Sehari-hari
Mengutip dalam buku Introduction to You (season 4) karya Gilad James, PhD (2018), toxic masculinity adalah kepatuhan terhadap peran gender laki-laki tradisional, yang mempromosikan kejantanan yang berlebihan, kekerasan, agresi, dan dominasi terhadap perempuan.
Dalam toxic masculinity terdapat seperangkat aturan yang mengatur bagaimana standar seorang pria harus bersikap dalam kehidupan. Di Indonesia, budaya mendidik anak dengan pandangan patriarki turut menguatkan penerapan toxic masculinity ini.
Sebagai contoh, seorang pria tidak boleh menunjukkan kelemahannya, rasa takutnya dan kesedihannya karena dianggap tidak menggambarkan sikap pria sejati. Padahal semua manusia baik laki-laki dan perempuan memiliki emosi yang memang sebenarnya harus dilampiaskan, bukan ditahan.
ADVERTISEMENT
Ketika anak laki-laki dididik dengan toxic masculinity, maka kerugian terbesar akan dirasakan oleh dirinya sendiri di masa depan. Selain itu, pasangannya juga akan merasakannya.
Anggapan lain yang merugikan misalnya seorang pria akan lebih tampak jantan jika merokok. Hal ini membuat pria yang tidak merokok dianggap tidak jantan dan membuat kebiasaan merokok yang sebenarnya tidak bermanfaat itu menjadi "kewajiban" bagi pria agar terlihat maskulin.
Jika sudah begitu, pria tersebut akan merasakan kerugian dari sisi kesehatan fisiknya. Contoh lainnya yaitu seorang pria harus bisa berkelahi dan hal itu membuat tawuran, perkelahian dan pertarungan menjadi hal yang keren di mata pria.
Sebaliknya, pria yang tidak mau meladeni tantangan berkelahi dianggap cemen, cupu, dan penakut. Konstruksi tentang bagaimana seorang pria harus bersikap dan bertindak inilah yang kemudian melahirkan toxic masculinity.
ADVERTISEMENT
Dari ulasan di atas, diketahui bahwa toxic masculinity adalah pandangan tentang standar sikap seorang pria di masyarakat yang sebenarnya toxic dan merugikan. Sayangnya, standar tersebut telah diterima oleh masyarakat luas dan dianggap benar. (IMA)