Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten Media Partner
Planolog: Tata Ruang Masyarakat Hu'u di Dompu, Wariskan Kearifan Lokal yang Kaya
28 Juli 2020 10:02 WIB
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Sebagai bekas kerajaan tertua di wilayah timur Pulau Sumbawa, Kerajaan Dompo (Dompu) di masa lalu mewariskan beragam kearifan lokal yang sangat kaya untuk generasi sekarang dan mendatang. Jika berbagai warisan itu dipelihara secara baik maka hal itu akan menjadi modal sosial yang bermanfaat untuk menata kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satunya di bidang tata ruang seperti dipraktekkan masyarakat Hu’u di wilayah selatan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) sekarang. Tata ruang tersebut, katanya, tidak sekadar bangunan fisik tapi juga mengandung nilai-nilai yang bersifat abstrak.
Di masa lalu daerah Hu’u diyakini sebagai pusat kehidupan maupun armada laut cukup penting baik di masa prasejarah, kerajaan hingga masa penjajahan. Hal itu terbukti dari berbagai benda sejarah seperti peralatan rumah tangga dari batu, situs hingga goa. Warga lokal menyebutnya Goa Jepang, karena pernah menjadi armada pertahanan di masa pendudukan Jepang.
Planolog sekaligus anggota tim Balai Arkeologi (Balar) Denpasar, Syafrudin mengemukakan, Hu’u merupakan wilayah paling lengkap meninggalkan berbagai jejak peradaban bahkan sejak zaman paleolitikum dan megalitikum.
ADVERTISEMENT
Paleolitikum, katanya, ditandai dengan ditemukannya benda-benda dan peralatan dapur yang terbuat dari batu di sepanjang sungai di selatan Hu’u yang membujur hingga ke Pantai Lakey. Sedangkan megalitikum menandai masyarakat yang mulai mengenal bercocok tanam dan kepala suku.
Menurut dia, di masa lalu masyarakat Hu’u memiliki banyak kearifan lokal berkaitan dengan cara bercocok tanam, berladang maupun membangun rumah dan pemukiman dengan tetap menjaga kelestarian dan keseimbangan alam seperti sangat memperhatikan aspek topografis, geologis dan hidrologis.
“Di Hu’u hingga kini orang mengenal ada 4 jenis rumah panggung yang diwariskan sejak zaman Ncuhi,” kata Syafrudin yang melakukan penelitian skripsi dan tesisnya tentang pola tata ruang di wilayah Hu’u ini.
Tipe rumah pertama, katanya, adalah rumah panggung dengan 4 tiang persegi empat dan berukuran kecil yakni 4x4 meter yang berfungsi sekadar menyimpan makanan. Lalu masing-masing rumah panggung lainnya berukuran besar yakni memiliki 9 tiang, 12 tiang dan 16 tiang.
ADVERTISEMENT
Berbagai jenis rumah tersebut tidak hanya sekadar bangunan tapi juga mencirikan siapa pemiliknya, status sosial, bagaimana mengambil kayu dan sebagainya. Masyarakat Hu’u juga memiliki tradisi memindahkan beberapa perkampungan sehingga mempengaruhi arsitektur bangunan seperti tidak menggunakan paku sehingga mudah dibuka dan dipasang kembali.
“Semua bangunan ini mewakili 4 unsur yakni air, api, angin dan tanah yang kesemuanya harus saling bersenyawa sekaligus menggambarkan daur hidup masyarakat Dompu,” terangnya dalam seminar sejarah dan budaya Dompu di Gedung Pemuda, Sabtu (25/7).
Mereka juga, kata ASN sekaligus Dosen di STIE Yapis Dompu ini, menata pemukiman dalam sebuah kesatuan yang dilengkapi dengan ‘jompa’ atau lumbung yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan. Jompa sendiri, kata dia, adalah mirip seperti bangunan Ka’bah yang berbentuk persegi empat dan tidak memiliki tangga.
ADVERTISEMENT
Ditambahkan, bangunan 'jompa' biasanya berada di satu sehingga jika terjadi bencana kebakaran misalnya, maka bahan makanan yang ada di dalamnya bisa terselamatkan.
Masyarakat Hu’u juga mengenal 'parafu' yakni kepercayaan bahwa tempat tertentu didiami makhluk halus. Masyarakat memberikan perlakukan khusus pada tempat yang dipercaya sebagai parafu seperti memberikan sesajen dan persembahan.
Dijelaskan ada 4 jenis 'parafu' atau sumber mata air yakni mada oi (mata air), diwu, ncanga sori (pertigaan sungai), kengge moti (pinggir laut). Masyarakat dilarang mengotori atau menebang pohon-pohon di sekitar mata air karena bisa menyebabkan sakit, mati dan lainnya.
“Mitos larangan menebang pohon bisa menyebabkan sakit itu bagian dari kearifan lokal tetapi disampaikan dalam bahasa lokal. Namun penjelasan ilmiahnya adalah, jika anda menebang pohon maka akan menyebabkan banjir dan air hujan tidak bisa terserap ke dalam tanah. Jika air hujan itu masuk langsung ke mata air maka kalau diminum bisa sakit karena airnya kotor,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, parafu adalah semacam penetapan lahan konservasi oleh masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian sumber air dan hutan.
Konsep lainnya adalah ‘tuba doro’ atau ‘menusuk gunung’ saat membangun rumah yakni ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika membangun rumah.
Menurut Syafrudin, salah aspek yang harus diperhatikan ketika membangun rumah adalah larangan membangun rumah bertepatan dengan masuknya cahaya matahari.
“Ini mirip seperti konsep Fengshui dalam tradisi masyarakat Cina,” katanya.
Jika melanggar atau mengabaikan pantangan ini, katanya, masyarakat meyakini akan menyebabkan pemilik rumah sering menderita sakit, cekcok, tidak harmonis dengan tetangga dan lainnya.
Konsep 'tuba doro', kata dia, menjelaskan bahwa jika bangunan rumah bertepatan dengan arah matahahari maka hal itu menyebabkan penghuninya tidak nyaman, panas, sakit dan hilang gairah kerja.
ADVERTISEMENT
“Jadi, berbagai konsep kearifan lokal sebenarnya ada logikanya dan bisa dijelaskan secara ilmiah,” pungkasnya sembari berharap agar berbagai kearifan lokal tersebut dapat terus dilestarikan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Seminar tersebut diadakan oleh Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Dompu (IKPMD) Malang bertema “Revitalisasi Sejarah Budaya Ndai Dompu dalam Membangun Karakter dan Jati Diri Suku Dompu”.
Seminar dihadiri hampir 60 peserta dari kalangan mahasiswa, pelajar dan komunitas di Kabupaten Dompu. Turut hadir adalah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dompu Khaerul Insan, Ketua Komisi 1 DPRD Dompu Muttakun, Ketua KNPI Syafifuddin, Wakapolres Dompu dan Ketua IKPMD Malang Sulaiman.
Selain Syafrudin, seminar menghadirkan 2 pembicara lainnya pemerhati sejarah dan budaya Dompu Nurhaidah dan Ketua Majelis Adat Sakaka Dana Dompu Muhammad Iradat dipandu oleh Miftahul Anam, salah satu pengurus IKPMD Malang. Di sela-sela kegiatan panitia juga menampillkan tarian “Rimpu” yang dibawakan pengurus perempuan IKPMD Malang.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin