Konten Media Partner

Sarung Nggoli, Lambang Status Sosial Masyarakat Dompu, NTB

31 Maret 2019 0:29 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beragam sarung nggoli. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Beragam sarung nggoli. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Festival Pesona Tambora (FPT) yang digelar oleh Pemerintah Nusa Tenggara Barat (NTB) setiap tahun identik dengan festival budaya. Hampir semua kesenian dan budaya tradisional dari Pulau Sumbawa, terutama Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima ditampilkan dalam festival yang rutin digelar di masing-masing daerah sejak tahun 2015 tersebut.
ADVERTISEMENT
FPT telah ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata sebagai salah satu agenda nasional. Di Dompu ikon busana yang digunakan pada saat FPT adalah rimpu dan sanggentu sebagai busana khas perempuan. Sementara untuk laki-laki, ada katente dan saremba tembe.
Masing-masing jenis busana ini menggunakan dua lembar sarung nggoli. Rimpu adalah pakaian khas perempuan Dompu dan Bima pada zaman dahulu. Rimpu merupakan kain sarung yang dililitkan ke wajah yang menyerupai jilbab atau hijab.
Ada rimpu colo yang biasa digunakan oleh perempuan yang sudah menikah dan rimpu mpida yang digunakan oleh perempuan remaja atau belum menikah. Sedangkan satu lembar kain sebagai bawahan mirip rok yang dililitkan pada pusar dan dijuntai ke bawah disebut sebagai sanggentu tembe.
ADVERTISEMENT
Adapun ketente tembe merupakan pakaian kaum laki-laki yang juga dililitkan mirip rok, bisa dibuat menjadi rok pendek hingga lutut atau rok panjang, seperti halnya penggunaan sanggentu wanita. Sementara sarung yang satunya diselempangkan, disebut sebagai saremba.
Proses menenun sarung nggoli. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
Pada masa lalu, para perempuan Dompu, terutama yang masih gadis, kerap menghabiskan waktu dengan melakukan aktivitas tenun di rumah, baik sendirian maupun berkelompok. Bunyi alunan alat-alat tenun terdengar bersahut-sahutan.
Mereka bekerja dari pagi hingga larut malam. Aktivitas menenun ini, selain sebagai menghindarkan mereka dari pergaulan bebas, juga berdampak positif secara ekonomi. Kain-kain tenun yang dihasilkan tersebut kemudian dijual. Kini, nggoli menjadi identitas budaya Dompu yang dikenakan oleh semua kalangan masyarakat.
Namun menurut Sumiyati, Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Yapis Dompu, dahulu tidak sembarang orang bisa memakai kain nggoli. Sebab, sepotong kain ini adalah lambang status sosial pemakainya. Menurutnya, dulu masyarakat mengenal tiga jenis warna kain tenun yaitu merah, kuning, dan biru.
ADVERTISEMENT
“Merah dan kuning untuk bangsawan, sedangkan biru untuk masyarakat biasa,” ujarnya saat ditemui di Kampus STKIP Yapis Dompu, Jumat (15/3).
Rimpu colo bagi wanita Dompu. Foto: Info Dompu
Selain itu, kata dia, ada juga warna putih yang dikenakan saat ada ritual keagamaan seperti tujuh bulanan, boho oi ndeu, atau akad nikah. Dijelaskannya, terdapat tiga motif kain yang dikenal zaman dulu yakni motif bunga, awan dan segitiga.
“Sayangnya, di beberapa buku sejarah di sekolah tidak menjelaskan motif tetapi hanya warna saja,” ujarnya.
Pada zaman dulu, masyarakat juga menggunakan pewarna alami dari pohon tertentu misalnya kayu supa (kayu merah).
Adapun mengenai rimpu yang oleh sebagian kalangan diklaim sebagai busana muslim, diragukan oleh Sumiyati karena rimpu sudah dipakai sejak zaman Siwa atau Hindu, yakni sebelum datangnya Islam di Dompu dan Bima sejak abad 18 masehi.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau dikatakan rimpu sebagai hasil adaptasi, iya,” ujarnya.
-
Penulis: Ilyas Yasin