Konten dari Pengguna

Kemiskinan Struktural Itu Nyata

Inggriana Sahara Bintang
Inggriana Sahara Bintang, lahir di Cirebon, dan sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
21 Juni 2021 21:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inggriana Sahara Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemiskinan (Sumber Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Kemiskinan (Sumber Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Ketika pandemi COVID-19 memasuki tahun kedua, tantangan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi semakin meningkat. Banyak keluarga yang terkena dampak pandemi secara tidak proporsional. Mereka menghadapi pandemi, sekaligus menanggung hambatan kemiskinan struktural. Keluarga-keluarga ini terkadang mengandalkan bantuan dari pemerintah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli makanan, sewa rumah, dan kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, program bantuan pemerintah pada dasarnya belum memenuhi standar keadilan, di mana banyak terdapat kasus ‘salah sasaran’ dalam pemberian bantuan. Ditambah, adanya dugaan korupsi Bantuan Sosial yang dilakukan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara.
Tersangka kasus dugaan korupsi tersebut diduga menerima uang suap dari penyaluran dana bansos COVID-19 sebesar 17 Miliar rupiah. Dana yang seharusnya membantu meringankan beban masyarakat dalam menghadapi pandemi, hilang hanya karena keserakahan oknum pejabat.
Korupsi yang dilakukan adalah tindak kejahatan luar biasa yang merugikan negara serta rakyat miskin. Perampasan hak masyarakat merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Krisis ekonomi saat ini hendaknya menjadi pembelajaran untuk memperbaiki sistem yang tidak proporsional dan memastikan setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Hambatan struktural yang menyebabkan kemiskinan bukanlah pilihan individu. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa jika seseorang bekerja keras, mengikuti aturan sosial, maka mereka akan sukses secara finansial.
Dengan asumsi ini, apabila seseorang yang sedang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan dia belum mapan secara finansial, maka dianggap telah melakukan sesuatu yang salah atau dipandang kurang bekerja keras. Ini adalah stereotip yang berbahaya, tidak cukup pantas untuk dilanggengkan.
Banyaknya struktur dan sistem yang saling terkait membuat sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk menafkahi keluarganya. Struktur ini mendorong kesenjangan dalam akses transportasi, pendidikan, perawatan, pekerjaan yang berkualitas tinggi, serta akses terhadap sistem peradilan.
Kesenjangan dan diskriminasi tertanam dalam sistem ini. Kesenjangan pendidikan dapat dilihat dari rendahnya masyarakat miskin dalam melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, yang berdampak pada representasi pekerjaan berupah rendah. Kesenjangan-kesenjangan inilah yang berkontribusi pada kemiskinan dan keterpurukan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Mengingat adanya faktor struktural ini dan dampaknya yang tidak proporsional terhadap masyarakat miskin, maka jelaslah bahwa kemalasan, imoralitas, dan kurangnya bekerja keras, bukanlah akar penyebab kemiskinan.
Program-program bantuan sosial dari pemerintah, tidak akan cukup untuk menutupi biaya hidup masyarakat berpenghasilan rendah. Selain adanya keterbatasan pendapatan, ada pula campur tangan program yang dirancang dalam sistem penerimaan pegawai. Banyak masyarakat berbondong-bondong pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, dengan harapan dapat mengubah nasib hidupnya. Untuk sampai di perkotaan, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Ditambah banyaknya perusahaan yang memberikan persyaratan cukup rumit dalam menguji kelayakan pelamar. Beberapa perusahaan misalnya, mengharuskan pelamar memberikan bukti tes kesehatan ataupun tes narkoba yang biayanya mahal sebagai syarat partisipasi.
ADVERTISEMENT
Penelitian Urban Institute Amerika, menunjukkan bahwa persyaratan kerja tidak mengatasi akar penyebab kemiskinan ataupun membantu seseorang menemukan dan mempertahankan pekerjaannya, yang membuat mereka keluar dari kemiskinan. Birokrasi yang terkait dengan persyaratan kerja dapat menyebabkan seseorang kehilangan akses pekerjaan, pada akhirnya menambah jumlah pengangguran dan warga miskin di perkotaan.
Solusi mendasar untuk ketidakadilan ekonomi yang dihadapi masyarakat adalah dengan memastikan kebijakan bergerak ke arah yang benar, dan seharusnya pembuat kebijakan dapat mengevaluasi apa yang telah terjadi selama ini. Hasilnya akan menjadi pengakuan penting bahwa kemiskinan adalah hasil dari hambatan sistemik, bukan pilihan individu.