Subjek Itu Bernama Perempuan: Berpikir Eksistensialisme ala Heidegger

Ingrit Dilla Farizna
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
11 November 2021 13:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ingrit Dilla Farizna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Martin Heidegger (Sumber: wikimedia).
zoom-in-whitePerbesar
Martin Heidegger (Sumber: wikimedia).
ADVERTISEMENT
Derajat perempuan seringkali dimitoskan sebagai kaum yang berada di belakang laki-laki. Sehingga pandangan masyarakat sering kali menyudutkan keberadaan perempuan sebagai makhluk yang memiliki peran penting dalam kehidupan. Kesetaraan gender menjadi sangat sensitif di kalangan masyarakat dikarenakan banyaknya asumsi yang menganggap bahwa aktivitas perempuan masih berada dalam keterbatasan. Saya menanggapi hal yang demikian ini sebagai persepsi kuno yang tidak tahu waktu alias pemahaman kolot yang masih tersebar luas di zaman modern hari ini.
ADVERTISEMENT
Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dipandang mempunyai nilai implementatif tersendiri di masyarakat. Seperti adanya stigma masyarakat yang menganggap bahwa tugas perempuan hanya berdiam di rumah dan mengurus keperluan rumah tangga saja, persepsi dari sebagian masyarakat inilah yang selalu menganggap bahwa jenis kelamin selalu menentukan peran apa yang akan di emban. Jika pemahaman ini terus ditanamkan dalam pikiran kita, sama saja kita telah mengembangkan kebiasaan yang mengandung unsur negatif terhadap penyudutan pada satu pihak.

Eksistensialisme Heidegger dan Perempuan?

Kondisi zaman yang serba modern tidak menutup kemungkinan bahwa kesetaraan gender masih menjadi isu sentral, tidak hanya diperbincangkan dalam ranah nasional tetapi dinobatkan pula sebagai isu global yang mendunia. Kemajuan teknologi telah membuka cakrawala pemikiran manusia secara lebih luas dalam berpikir. Sehingga desas-desus kesetaraan gender sudah tidak asing setelah tersebar luas gerakan sosial kaum feminis yang mengusung persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Dibalik huru-hara kaum feminis, karya fenomenal Heidegger bisa disebut telah lama mengakui keberadaan perempuan secara rasional. Melalui gagasannya, Heidegger secara halus mengakui adanya hak terhadap kaum perempuan sebagai makhluk yang “ada”, tidak sekadar “ada” di dunia tetapi memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Martin Heidegger merupakan salah satu filsuf asal Jerman yang sangat terkenal. Karya sentral termasyurnya adalah Being and Time. Heidegger mencoba untuk menjelaskan keberadaan manusia di dalam ruang dan waktu. Heidegger mencoba membedah struktur Dasein ini dalam proses menyehari. Ia menyebut manusia sebagai Dasein (ada-di-sana). “Sein” berarti ada, dan “Da” berarti di-sana, yakni benar-benar ada di dalam dunia (Being in the world). Heidegger menyampaikan bahwa untuk memahami “Ada” terlebih dahulu memahami yang memikirkan “Ada”, yaitu manusia. Karena satu-satunya yang dapat memikirkannya hanyalah manusia melalui tindak kesadarannya.
ADVERTISEMENT
Sekilas tentang gender, menurut Mansour gender merupakan sifat yang melekat dalam diri laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara rasional dan kultural (Mansour, 2007). Sehingga tugas yang dibakukan bagi laki-laki dan perempuan dianggap benar-benar murni berasal dari kontruksi sosial. Meskipun demikian, lain halnya dengan citra perempuan sebagai gender yang masih mendapatkan kesan yang mengemuka; bahwa perempuan selalu ditempatkan pada posisi di belakang laki-laki, baik dalam acara ritual keagamaan maupun dalam ranah sosial.
Metode fenomenologi digunakan Heidegger sebagai permulaan dari tindak kesadaran. Heidegger bermaksud untuk membaca struktur “ada”—yaitu ada yang menampakkan dirinya sebagai yang tidak tersembunyi. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan harus diakui keberadaannya sebagai manusia. Dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan, perempuan dilahirkan sama seperti laki-laki, yakni membawa hak-hak yang melekat terhadap dirinya sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Saya sering menemukan pernyataan tentang “Perempuan hanya diidentikan sebagai budak pemuas nafsu”, saya menyebut bahwa pernyataan yang demikian itu merupakan tindakan dari wujud penghinaan terhadap citra perempuan, selain penghinaan terhadap kaum wanita, tanpa disadari pernyataan tersebut telah mengesampingkan identitas ketuhanan sebagai pencipta perempuan dan segala hak yang diberikannya. Heidegger berupaya membaca “ada” bagi perempuan supaya mereka berpikir dan sadar untuk merefleksikan keberadaannya sendiri dan persoalan “ada” untuk dirinya secara umum.

Heidegger membela Wanita

Perbedaan merupakan sifat alamiah yang diberikan Tuhan, tetapi perbedaan bisa menjadi bahaya apabila di dalamnya terdapat unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Dalam teori “ada” yang dikemukakan Heidegger, saya menyebut bahwa kesadaran terhadap keberadaan perempuan beserta haknya tidak harus melihat dulu dari jenis kelamin apa. Sebagaimana dalam Islam, laki-laki dan perempuan dipandang oleh Tuhannya dengan sama rata, yang membedakannya adalah keteguhannya dalam bertaqwa. Perempuan harus ditempatkan manusia dalam posisinya sebagai “manusia”, sehingga perempuan dapat dipandang secara manusiawi. Bukan dilihat dari sudut pandang “orang penting ” atau “ orang yang kurang penting”, dan bukan pula perempuan dipandang sebagai sebuah “jenis” tetapi perempuan sebagai “manusia” (Hanafi et al., 2007).
ADVERTISEMENT
Arus globalisasi telah menggerus segala aspek kehidupan dan peradaban. Sehingga globalisasi berdampak pada pola pemikiran serta pola kehidupan masyarakat. Dari pemikiran Heidegger, perempuan dipaksa untuk mengartikan “ada” supaya dirinya memiliki kesadaran sebagai seorang perempuan yang harus dihormati dan diakui keberadaan hak-haknya. Karena di era globalisasi seperti ini, Sebagian besar perempuan sering tidak memahami peran dan posisinya dalam masyarakat. mereka lupa terhadap sejarah perjuangan wanita dahulu. Maka tak jarang, para wanita sering melupakan aturan-aturan masyarakat meskipun tidak tertulis. Kebiasaan inilah yang membuat hantu-hantu patriarki terus bermunculan tidak mengenal zaman.
Heidegger membela wanita dengan arah pemikirannya supaya mereka sadar terhadap kehormatan jati dirinya. untuk mencapai “ada” Dasein, muncullah tiga hal asasi, yakni kepekaan, pemahaman, dan wacana, sehingga perempuan bisa diakui secara sempurna di dalam ruang dan waktu. Pengakuan terhadap kodrat dan derajat perempuan adalah gagasan dasar, tujuan, dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas. Oleh karena itu, Heidegger ikut serta dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Dan oleh sebab itu, melalui pemikiran Heidegger, Heidegger membela wanita!
ADVERTISEMENT
Sumber
Hanafi, H., Madjid, N., Machasin, Howell, J. D., Mudzhar, M. A., Abdillah, M., Effendi, B., Azizy, A. Q., Abdullah, A. A., Magnis-Suseno, F., & Woodward, M. R. (2007). Islam dan Humanisme. In Kamdani (Ed.), Islam dan Humanisme (1st ed.). Pustaka Pelajar.
Jalil, A., & Aminah, S. (2018). Gender Dalam Persfektif Budaya Dan Bahasa. Al-MAIYYAH : Media Transformasi Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 11(2), 278–300. https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v11i2.659
Mansour, F. (2007). No TitleAnalisis Gender dan Transformasi Sosial. In Pustaka Pelajar. Pustaka Pelajar.
https://lsfdiscourse.org/manusia-sebagai-dasein-menurut-martin-heidegger/