Konten dari Pengguna

Blunder Gas LPG Subsidi : Konsekuensi Korporatokrasi Kapitalisme

Ressy Nisia
Kepala Unit di BIMBA AIUEO Kertasari, Ciamis Pemerhati Pendidikan dan Keluarga
4 Februari 2025 22:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gas LPG (Sumber : Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gas LPG (Sumber : Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
DPR dan Pemerintah berkoordinasi terkait aspirasi rakyat terkait gas LPG 3 kg. Presiden Prabowo Subianto kemudian memerintahkan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, untuk mengaktifkan kembali pengecer. (Detik.com, 2/4)
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Pemerintah menetapkan mulai 1 Februari 2025 penyaluran gas LPG 3 kg hanya sampai pangkalan tidak sampai ke pengecer. Kebijakan tersebut dinilai untuk memudahkan masyarakat membeli gas LPG 3 kg dengan harga murah dan tepat sasaran.
Alih-alih meringankan beban masyarakat, kebijakan tersebut justru menyulitkan masyarakat. Muncul antrean mengular di berbagai daerah demi memperoleh gas LPG 3kg di pangkalan, bahkan ada diantaranya yang meninggal saat antre.
Menanggapi hal tersebut, Bahlil menegaskan tidak ada kelangkaan gas LPG 3 kg, ia menduga ada yang memainkan harga dan volume di lapangan. Bahlil juga memastikan pemerintah tidak membatasi kuota dan subsidi gas LPG 3 kg, sama seperti kuota impor gas LPG yang masih sama dengan bulan-bulan sebelumnya. (Kumparan, 4/2)
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penerapan kebijakan ini juga disinyalir akan mematikan usaha pedagang eceran. Seperti kita tahu pedagang eceran merupakan akar rumput yang hanya mengambil untung sedikit demi menyambung hidup. Untuk menjadi agen resmi, pedagang eceran diwajibkan memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha) dengan proses rumit untuk mendapat verifikasi kelayakan.
Subsidi Gas LPG dalam Korporatokrasi Kapitalisme
Istilah subsidi muncul sebagai konsekuensi penerapan APBN dalam sistem ekonomi kapitalisme. Migas beserta SDA lain yang melimpah, dalam sistem kapitalisme tidak dikelola oleh negara tetapi diserahkan pada pihak swasta (korporat). Melalui kebijakan tersebut negara hanya memperoleh sedikit laba atas pengelolaan migas sehingga pendapatan negara mengandalkan sektor pajak dan utang. Terbatasnya pendapatan negara inilah yang kemudian mendorong penerapan pajak PPN dan PPnBM yang membuat harga migas di pasaran menjadi tinggi.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, ketiadaan political will untuk membangun kilang migas membuat peningkatan migas impor dan rentannya energy security di Indonesia. Dilansir CNBC (29/8/24), Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan kebutuhan LPG nasional 7 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 1,8 juta ton per tahun, 5,2 juta ton sisanya mengandalkan impor. Impor migas inilah yang kemudian menambah beban subsidi LPG.
Dengan demikian, harga gas LPG yang sampai di tangan konsumen saat ini merupakan harga produksi ditambah dengan pajak, laba penjualan pihak korporat, proses distribusi hingga beban subsidi impor. Dalam sistem kapitalisme, subsidi menjadi ilusi bantuan dari pemerintah atas harga gas LPG setelah sekian banyak biaya disertakan. Liberalisasi pengelolaan SDA dalam sistem kapitalisme telah menjadi sebab sengkarut pengelolaan sektor energi, khususnya gas LPG di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Alternatif Solusi Gas LPG
Dalam penerapan sistem ekonomi Islam, sektor energi migas beserta SDA lainnya yang melimpah termasuk kategori kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Negara sebagai raa’in memastikan pengelolaan sektor migas dari hulu hingga hilir mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Negara akan bersungguh-sungguh menjadikan sektor migas dengan menyediakan kilang migas yang mencukupi, mengelola energi dengan teknologi tinggi didampingi para ahli mumpuni.
Selain itu negara akan secara serius memastikan pendistribusian sektor energi, khususnya gas LPG secara terjangkau dan merata. Negara akan memudahkan masyarakat memperoleh gas LPG melalui agen-agen resmi terdekat dengan memudahkan perizinan agen resmi agar gas LPG sampai ke tangan masyarakat secara mudah dan murah.
Dengan pengelolaan sektor energi secara mandiri, negara akan terhindar dari ketergantungan impor dan monopoli korporasi dalam menancapkan hegemoni kapitalismenya. Pengelolaan energi secara mandiri oleh negara ini juga akan menghemat biaya produksi sehingga mampu menekan harga jual ke masyarakat. Dengan mekanisme tersebut masyarakat dapat memperoleh harga jual gas LPG sesuai dengan harga produksinya. Islam tidak menggunakan istilah subsidi dan non subsidi karena harga gas LPG terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, sektor energi beserta berbagai SDA lainnya yang dikelola oleh negara menjadi sumber pendapatan negara yang sangat besar yang kemudian akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk sarana umum seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan berbagai sarana umum lainnya. Gas LPG merupakan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk kemudian dinikmati oleh masyarakat secara langsung melalui perolehan gas LPG yang mudah dan murah, serta manfaat tidak langsung berupa berbagai sarana umum dari pendapatan pengelolaan kepemilikan umum.
Selain memberi keuntungan, pengelolaan migas sebagai kepemilikan umum juga merupakan kewajiban yang akan dimintai pertanggungan jawab di Hari Akhir nanti. Sehingga negara, perangkat negara dan masyarakat akan bersungguh-sungguh dalam mengelola dan mengawasi pemberdayaan sektor energi dari mulai proses produksi, distribusi hingga konsumsinya ke masyarakat sesuai dengan aturan syariat.
ADVERTISEMENT
“Ya Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur urusan umatku, lalu ia memberatkan (menyusahkan) mereka, maka beratkan (susahkan) ia; dan barangsiapa memiliki hak mengatur urusan umatku, lalu ia memperhatikan urusannya mereka dengan baik, maka perlakukanlah ia dengan baik” (HR Muslim No 1828)
Wallahu a’lam bisahawab.