Konten dari Pengguna

Hari Guru Nasional: Overview Polemik Sistemik Guru

Ressy Nisia
Kepala Unit di BIMBA AIUEO Kertasari, Ciamis Pemerhati Pendidikan dan Keluarga
27 November 2024 6:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Guru (Sumber : Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Guru (Sumber : Pixabay)
ADVERTISEMENT
A teacher takes a hand, opens mind and touches a heart”. Seorang guru memegang tangan, membuka pikiran dan menyentuh hati. Dari tangan seorang guru lahir berbagai profesi seperti dokter, perawat, pengusaha hingga presiden. Begitu krusialnya peran guru hingga guru disebut sebagai agen peradaban.
ADVERTISEMENT
Baik dan buruknya suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas serta kuantitas gurunya. Maka tak heran pada saat Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh AS, Agustus 1945 dalam PD II, petinggi Jepang tidak bertanya harta dan benda yang tersisa tetapi bertanya berapa banyak jumlah guru yang selamat.
Di Indonesia, Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap tanggal 25 November, untuk memperingati berdirinya Persatuan Guru Nasional Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945. HGN merupakan bentuk apresiasi peran guru di seluruh negeri yang telah mendidik dan membersamai anak Indonesia untuk tumbuh berkembang menggapai cita-cita.
Dilansir detik.com, HGN 2024 mengusung tema “Guru Hebat Indonesia Kuat”. Tema tersebut sebagai dukungan terhadap semangat belajar, berbagi dan berkolaborasi dari guru-guru hebat Indonesia dalam melayani anak bangsa.
ADVERTISEMENT

Overview Polemik Sistemik Guru

Namun, guruku sayang guruku malang. Peran krusial guru tidak sebanding dengan apa yang guru dapatkan. Beberapa waktu lalu viral guru Supriyani yang dilaporkan oleh orang tua peserta didik dengan tuduhan penganiayaan terhadap peserta didik.
Kriminalisasi terhadap guru ternyata bukan yang pertama, sebelumnya ada guru mubazir yang dipenjara karena memotong rambut peserta didik serta guru Darmawati yang terpaksa masuk penjara karena tuduhan melakukan pemukulan pada peserta didik yang bolos salat Jumat.
Tidak hanya itu, kesejahteraan guru pun masih belum terjamin. Setidaknya ada sekitar 5,6 juta guru honorer yang masih belum jelas nasibnya. Seperti kita ketahui bahwa guru honorer merupakan guru yang tidak berstatus ASN atau PPPK, tetapi dipekerjakan oleh sekolah negeri atau swasta dengan upah yang tidak memadai.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengejutkan, berdasar data OJK, 42 persen nasabah pinjol berprofesi sebagai guru. Selain karena rendahnya literasi keuangan, ketidakjelasan gaji guru honorer menjadi pemicu lonjakan jumlah nasabah pinjol profesi guru.
Kurikulum yang terus berganti-ganti juga cukup memberatkan beban kerja guru, tugas administratif yang banyak tidak sebanding dengan gaji yang guru dapatkan. Akhirnya tekanan ekonomi dan beratnya beban kerja membuat guru kontraproduktif melakukan judol, bullying, kekerasan fisik dan seksual serta tindakan amoral lainnya.

Liberalisasme-Kapitalisme Pendidikan

Liberalisasi pendidikan merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) sejak 1994 dan secara konkret dengan penandatanganan General Agreement on Trade in Service (GATS).
WTO meletakkan pendidikan sebagai komoditas jasa bersama kesehatan serta teknologi dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Hal ini senada dengan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 yang mengkategorikan pendidikan sebagai bidang usaha. Pendidikan ditetapkan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing.
Dalam liberalisme-kapitalisme, segala sesuatu dinilai sebagai capital (harta) yang dengan cara apa pun harus menghasilkan keuntungan. Sehingga dalam pelaksanaannya mempertimbangkan untung dan rugi, yang berdampak pada mahalnya biaya pendidikan, tidak terjaminnya kesejahteraan guru dan minimnya sarana prasarana yang mendukung dalam dunia pendidikan.
Dalam sistem liberalisme-kapitalisme guru diletakkan sebagai salah satu faktor produksi. Guru diposisikan sebagai pencetak peserta didik untuk kebutuhan industri sehingga tidak heran jika produk pendidikan saat ini nirempati, matrealistis dan beroriesntasi pada kapitalis liberalis.
Politik anggaran pendidikan pun jauh dari kata layak. Pemerintah dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sector pendidikan dan 20 persen dari APBD.
ADVERTISEMENT
Ini tentu membuat kita mengernyitkan dahi, pendidikan yang merupakan amanah konstitusi hanya mendapat alokasi dana 20 persen dari pusat dan daerah. Padahal seharusnya pelaksanaan pendidikan sebagai kebutuhan primer kolektif mendapat jaminan penuh dari pemerintah.
Ketidakjelasan hukum dalam sistem liberalisme-kapitalisme juga membuat upaya pendisiplinan pada peserta didik ditabrakan pada perlindungan anak. Sehingga seringkali upaya pendisiplinan peserta didik berujung pelaporan KPAI dan penjara.
Rasanya mustahil mengharapkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru pada sistem liberalisme-kapitalisme. Akankah “Guru Hebat, Indonesia Kuat” terwujud?

Politik Pendidikan Islam

Diriwayatkan Ibnu Majah ra, Rasulullah saw besabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan”.
Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan kolektif primer. Karenanya Islam akan menjamin pelaksanaanya proses belajar mengajar secara maksimal. Guru dalam Islam sangat dihormati dan dimuliakan.
ADVERTISEMENT
Pada masa kejayaan Islam, pendidikan terselenggara dengan berkualitas bahkan gratis.
Generasi pertama Islam dididik oleh Rasulullah untuk bervisi sebagai hamba Allah terbaik untuk menyerukan kebaikan (al-islam), beramar ma’ruf, nahyi munkar, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Dengan energi ruhiyah tersebut, kaum muslimin berburu ilmu ke timur dan barat, lalu mengajarkannya kepada siapa saja, serta mengembangkannya sampai standar mutu tertinggi. Dengan energi ruhiyah ini pula, masyarakat akan berhati-hati bersikap, terjaga dari berbuat bullying, kekerasan fisik dan seksual serta terjaga dari semua perilaku amoral lainnya.
Kemudian, Islam menerapkan precission spending atau pembelanjaan presisi. Islam menolak gaya hidup hedonis, karena berpandangan setiap harta akan dihisab tentang dua hal, darimana berasal dan dipergunakan untuk apa. Sehingga dalam memperoleh serta membelanjakannya harus seusai tuntunan syariat, sesuai prioritas, mana yang fardhu ain, fardhu kifayah, sunah dan mubah. Hal ini berimplikasi pada efektivitas dan efisiensi dalam menyusun anggaran serta gaya hidup masyarakat yang tawadhu.
ADVERTISEMENT
Dengan menerapkan ini negara akan bijak mengatur anggaran dan masyarakat tidak akan terjerat judol, pinjol dan bermacam aktivitas muamalah haram lainnya.
Islam juga mengenal dana waqf, yaitu dana dari para orang kaya (agniya) atau pejabat (umara) yang ingin berlomba dengan para ulama. Sehingga para ulama mendapat pahala jariyah dari ilmu yang disampaikan pada peserta didiknya, para agniya mendapat pahal jariyah dari pemberian fasilitas pendidikan.
Para agniya bukan hanya berwaqf sarana pendidikan berupa fisik seperti laboratorium tapi juga sarana produktif seperti kebun atau industri yang hasilnya untuk operasional pendidikan.
Sehingga para ulama tidak khawatir lagi terhadap kelangsungan hidupnya. Gaji ulama saat itu mumpuni, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan sokongan dana dari pemerintah dan waqf, para ulama tidak perlu khawatir untuk survey ke seluruh dunia belajar hadist dan ilmu baru. Ulama juga bisa dengan bebas mengajar ke negeri-negeri yang baru disapa dakwah Islam.
ADVERTISEMENT
Untuk upgrading kualitas, para ulama diarahkan untuk melanjutkan ke kampus-kampus unggul di dunia, seperti Qarawiyyin Maroko, Al-Azhar Mesir atau bahkan di Baitul Hikam Baghdad dan Cordoba.
Untuk diketahui, Universitas Al-Azhar dan Qarawiyyin merupakan dua universitas dunia yang eksis hingga kini. Keduanya besar dari dana waqf. Konon, kekayaan kampus Al-Azhar melebihi dari kekayaan Republik Mesir.
Kesejahteraan pendidikan bisa terwujud di bawah naungan sistem yang shahih. Sebuah negara yang berdaulat pada Alloh, yang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai referensi kebijakan dan kehidupan.
Pada masa kekhalifahan Rasulullah dan para khalifah setelahnya, guru, peserta didik, pelatihan, riset, sarana dan prasarana pendidikan menjadi kewajiban penuh negara. Dalam Islam, setiap individu, baik itu guru, peserta didik, masyarakat dan perangkat pemerintahan yang membuat kebijakan, menyandarkan aturan pada Alloh swt terkait manfaat dan hisabnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga politik anggaran, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan mampu mendorong negara mencetak guru-guru hebat dan generasi yang gemilang.
Wallohu a’lam bishawab.