Konten dari Pengguna

Konflik Palestina : Falasi Non Causa Pro Causa

Ressy Nisia
Kepala Unit di BIMBA AIUEO Kertasari, Ciamis Pemerhati Pendidikan dan Keluarga
26 Desember 2024 12:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aynal Muslimun (Sumber : Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Aynal Muslimun (Sumber : Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
"Kita selalu berhenti di titik ketika kekerasan terjadi, tetapi melupakan kisah sebelumnya.“ . Ungkapan Abby Martin tersebut merupakan falasi non causa pro causa, kekeliruan dalam berpikir yang terjadi ketika penyebab suatu peristiwa diidentifikasi secara salah. Hal tersebut sama seperti cara dunia memandang Palestina saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Palestina di bawah pemerintahan Ustmani memiliki stabilitas, meski minoritas kaum Yahudi telah tingal di sana. Keadaan berubah saat Inggris dan Prancis memainkan peran politiknya dengan membuat Perjanjian Sykes Picot (1916) untuk membagi wilayah Ustmani diantara mereka. Lalu melalui Deklarasi Balfour (1917), Inggris mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah "kediaman nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina.
Inggris berkomitmen menciptakan negara Yahudi merdeka di Palestina tanpa mengambil hak atau keistimewaan orang non-Yahudi di wilayah tersebut. Yang selanjutnya membuat penduduk Yahudi dan Arab di Palestina berperang satu sama lain, dan berperang dengan dan melawan Inggris, dalam upaya mendapatkan kekuatan politik permanen di Palestina.
Pada April 1947, karena terdesak gelombang protes bangsa Arab, Inggris meminta PBB untuk mengambil kembali mandat dan memutuskan masa depan wilayah Palestina. Lalu pada bulan Mei, PBB membentuk Komite Khusus untuk Palestina (The United Nations Special Committee on Palestine- UNSCOP) menyusun laporan dan memutuskan bahwa mandat Inggris harus berakhir, dan Palestina harus dibagi menjadi negara Yahudi dan negara Arab, dan Yerusalem harus menjadi zona internasional di bawah kendali PBB.
ADVERTISEMENT
Pada 14 Mei 1948, Komisaris Tinggi Inggris terakhir meninggalkan Palestina, dan David Ben Gurion memproklamirkan kemerdekaan Negara Israel. Sejak saat itulah orang Arab di Palestina terusir, wilayah Palestina di eksplorasi melalui tema-tema seperti perbatasan, pemukiman, kepemilikan tanah, situs warisan arkeologi dan budaya, penguasaan sumber daya alam, lanskap, perang dan perjanjian.
Zionis Menang Bukan Karena Mereka Singa, Tetapi Umat Muslim Memilih Menjadi Domba
“Hak asasi manusia bukan untuk orang Muslim. Ini kenyataannya, sangat menyedihkan," kata Prabowo dikutip dari siaran pers Sekretariat Presiden, Jumat (20/12/2024). (Kompas, 20/12/2024).
Ia pun mengkritisi politik devide et impera yang mempertajam konflik internal sehingga melemahkan persatuan umat Islam. “Ketika saudara kita kesusahan, kita memberikan pernyataan dukungan dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Maaf ini opini saya, tapi mari kita lihat realitasnya. Kita harus bekerja sama, menyamakan suara, dan tidak terpecah belah,” kata Prabowo.
ADVERTISEMENT
Konflik berkelanjutan di Palestina merupakan dampak disintegrasi umat dalam merespon masalah global terhadap sudaranya sesama Muslim. State nation dan politik kepentingan, membuat negara-negara Muslim menutup mata dalam mengambil langkah nyata terhadap genosida di Palestina.
Palestina tidak hanya butuh bantuan kemanusiaan berupa retorika, makanan, pakaian dan kesehatan. Saat ini rakyat Palestina memanggil umat Muslim di seluruh dunia untuk jihad fii sabilillah, mereka butuh tentara untuk mengusir penjajah dari tanah mereka.
Sungguh paradoks, Palestina saat ini hanya dibela oleh kelompok-kelompok perjuangan yang minim sarana dan persenjataan, padahal ada 2 miliar penduduk Muslim di dunia dengan negara-negara yang mumpuni secara militer. Namun sampai detik ini tidak ada satupun negara yang mampu mengirimkan tentara ke Palestina karena terganjal state nation dan politik kepentingan. Bahkan beberapa negara Muslim terlibat konflik internal, melibatkan diri menjadi kendaraan bagi elite global dalam mengukuhkan eksistensinya di tanah saudara muslimnya. Umat Muslim saat ini layaknya domba yang bertebaran, yang di adu para elit global dalam ajang kontes mereka.
ADVERTISEMENT
Mentadabburi Shalahuddin al-Ayyubi sebagai Pembebas al-Aqsa
Shalahuddin al-Ayyubi membebaskan Mesir dari Syiah dengan cara yang sangat elegan. Beliau melakukan perlahan-lahan. Beliau memerangi Syiah di Medan pemikiran sebelum di Medan Perang. Dan salah satu ikhtiar terbaiknya adalah membangun dan memperhatikan sekolah-sekolah Ahlussunah untuk menegakkan akidah yang benar. (Buku "An Nawâdir As Shulthâniyyah wa Al Mahâsin Al Yusûfiyyah" karya Ibnu Syaddad)
Shalahuddin berjuang melalui 3 pilar, yaitu pemurnian aqidah, persatuan umat dan pendidikan Islami. Dalam upaya pemurnian aqidah, Islam mendorong penerapan syariat secara kaffah (menyeluruh). Seperti yang telah diejawantahkan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 208, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)”.
Termasuk dalam penyelesaian konflik di Palestina, penerapan Islam tidak boleh parsial tetapi harus kaffah. Perjuangan dilakukan sebagai mandat syariat yang akan Alloh swt mintai pertanggung jawaban, sehingga mendorong setiap individu untuk berlomba memberikan amal terbaik dalam membela saudaranya agar terbebas dari penjajahan.
ADVERTISEMENT
Metode pembebasan Palestina harus sesuai dengan syariat yaitu melalui jihad fii sabilillah, bukan melalui Solusi Dua Negara yang sekuler. Solusi Dua Negara dianggap bathil karena secara syara, Palestina merupakan tanah kharajiyyah milik umat muslim, sehingga Palestina harus dikembalikan secara utuh.
Menyetujui Solusi Dua Negara berarti mengakui keabsahan eksistensi Zionis laknatullah dan sekaligus mengakui perampasan tanah milik kaum muslimin. Padahal perampasan tanah, walaupun sejengkal adalah suatu kezhaliman yang tidak pantas dilegitimasi atau diakui. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi pada Hari Kiamat pada lehernya." (HR. Muttafaq ‘alayh).
Selanjutnya, pemurnian aqidah dan pendidikan Islami akan mendorong umat berpikir politis, membangun kesadaran umat untuk bersatu dalam sebuah negara yang Islami. Sebuah negara yang menyatukan umat yang hari ini tercerai berai menjadi sebuah negara di bawah satu kepemimpinan berlandaskan pada syariat. Sebuah negara yang menjadikan energi ruhiyah sebagai landasan berkehidupan.
ADVERTISEMENT
Di bawah naungan negara yang Islami, konflik umat Islam diselesaikan melalui satu komando, yaitu seorang Khalifah. Khalifah akan menginstruksikan umat Muslim untuk jihad fii sabilillah mengusir penjajah dari tanah kaum Muslim. Khalifah yang indepen, akan bebas dari kepentingan dan tekanan pihak manapun sehingga leluasa dalam mengambil sikap. Khalifah beserta perangkatnya hanya tunduk pada syariat yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunah.
Perjuangan pembebasan Palestina belum cukup hanya melalui perjuangan persenjataan tetapi juga harus melalui perjuangan dalam membentuk pemikiran yang shahih. Pemikiran yang shahih inilah yang akan mendorong langkah dan metode yang shahih dalam menyelasaikan konflik di Palestina sehingga Palestina akan memperoleh kemerdekaan yang hakiki, merdeka dari segala jenis penjajahan dan politik kepentingan.
ADVERTISEMENT
Wallahu a’lam bishawab.