Belu dan Kenangan akan Bumi Lorosae

Konten dari Pengguna
20 Agustus 2018 23:02 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inke Hilarie Dinesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perjalanan saya sebagai peserta Sekolah Staf Dinas Luar Negeri ke-61 ke Belu memberikan kesempatan saya untuk mengunjungi wilayah perbatasan Mota’ain di kabupatan Belu yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah negara Timor Leste, Kabupaten Belu menjadi tuan rumah dari banyak eks pengungsi Timor Leste sehingga warga Belu dan Timor Leste tak jarang memiliki garis keturunan yang sama. Hubungan kekerabatan tetap terjaga meski terpisah negara.
Setiba kami di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) RI-Timor Leste dan melihat hamparan daratan di seberang yang merupakan wilayah negara Timor Leste, saya tidak dapat membayangkan bahwa daratan tersebut di suatu masa pernah menjadi bagian dari NKRI...pernah menjadi propinsi termuda NKRI, propinsi RI yang ke -27.
Perbatasan RI - Timor Leste di wilayah Motaain (Foto Sesdilu 61)
Sepulang saya dari Belu, saya teringat akan sebuah buku karangan Ali Alatas yang berjudul “Pebble in the Shoe: the Diplomatic Struggle for East Timor,” yang hanya sekilas saya baca ketika membelinya kurang lebih sekitar 10 tahun lalu. Walau sudah lama sekali memilikinya, saya belum pernah lagi membuka buku tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya pun mencari buku tersebut di rumah untuk membaca sekilas masalah Timor Timur dari perspektif mantan Menlu Ali Alatas yang telah sangat terlibat selama karir hidupnya dalam penanganan masalah Timor Timur.
Ali Alatas menyebut persoalan Timor Timur sebagai “kerikil dalam sepatu” perjuangan diplomasi Indonesia. Di halaman-halaman pertama buku tersebut, Ali Alatas mengungkapkan rasa penyesalan yang lebih dikarenakan kegagalannya tidak mampu mengamankan sebuah resolusi yang aman dan damai untuk masalah Timor Timur.
Sama seperti semua orang, Ali Alatas merasakan kengerian akan tragedi kemanusiaan yang terjadi pasca referendum/jajak pendapat Timor Timur yang dilangsungkan pada tanggal 30 Agustus 1999. Ia memiliki rasa penyesalan mendalam karena gagal meyakinkan pemerintah bahwa dalam mengatasi masalah serumit masalah Timor Timur, tidak ada jalan pintas yang mudah. “Saya tidak dapat membujuk pemerintah saya bahwa penyelesaian damai dan adil hanya bisa diperoleh melalui negosiasi dan dialog dengan semua pihak yang terkait sampai mencapai konsensus,” ungkapnya dalam buku.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan ia selalu menekankan akan resiko besar dan bahaya yang dihadapi apabila kedua kelompok yang saling bertentangan yaitu kelompok yang pro-kemerdekaan dan pro-integrasi di Timor Timur dipertemukan pada sebuah referendum atau jajak pendapat. Referendum yang hasilnya langsung dan cepat hanya akan memaksakan pilihan politis pihak yang menang pada pihak yang kalah.
Ketakutan Ali Alatas ternyata menjadi kenyataan. Pihak yang kalah dalam referendum, kelompok pro-integrasi sangat kecewa dan menolak hasil referendum. Hari-hari setelah pengumuman hasil jajak pendapat, milisi kelompok pro-integrasi melampiaskan kekecewaan dan amarah dengan berbagai bentuk aksi anarki di kota Dili dan kota-kota lainnya di Timor Timur.
Padahal, ia mengutarakan, bahwa sebelumnya pada tahun 1998, Indonesia dengan Portugal di bawah pengawasan PBB dalam tripartite talks, telah sepakat untuk mencoba menyelesaikan masalah Timor Timur melalui penawaran status khusus dan otonomi luas bagi Timor Timur di dalam kerangka NKRI. Ia meyakini bahwa penyelesaian masalah seperti ini tidak akan disertai oleh gejolak dan pertumpahan darah.
ADVERTISEMENT
Masalah Timor Timur, menurutnya, tidak sesederhana sebuah konflik antara orang baik dengan orang jahat. Bukan pula sesederhana konflik antara penduduk Timor Timur yang pro-kemerdekaan melawan mereka yang pro-integrasi dengan Indonesia. Dan bukan juga pertentangan antara bekas penguasa kolonial, dalam hal ini Portugal melawan Indonesia.
Konflik terbesar dalam masalah ini menurutnya adalah pertentangan antara individu-individu yang sama-sama menginginkan solusi politik yang menyeluruh, adil di Timor Timur dan dapat diterima oleh semua pihak. Perjalanan panjang pencarian solusi damai ini kerap diwarnai oleh prasangka, rasa curiga, pengkhianatan, ilusi, ketakutan dan seringkali rasa sakit hati yang kerap menjadi penghalang dari proses negosiasi antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Dan orang-orang yang melakukan perjalanan pencarian solusi damai tidak semuanya berasal dari pihak Indonesia, tapi juga, rekan-rekan di pihak yang berseberangan termasuk pihak Portugis yang juga merindukan solusi abadi untuk masalah Timor Timur yang sangat kompleks.
ADVERTISEMENT
Ia juga menolak anggapan bahwa Indonesia selama ini bersifat kaku menginginkan integrasi Timor Timur ke Indonesia tanpa terkecuali dan menolak bentuk kompromi lainnya. Sedari awal, menurutnya, bahkan pada saat awal pembentukan Tripartite Talks (Indonesia, Portugal dan PBB) pada 1983, diplomasi Indonesia sudah diarahkan pada pencapaian solusi yang menyeluruh, adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
Tak lama setelah referendum, kekuasaan atas Timor Timur dialihkan dari Indonesia ke PBB. Akibatnya, Timor Timur secara resmi dikembalikan ke statusnya seperti sebelum tahun 1967, yaitu sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri di bawah PBB. Pada 31 Oktober 1999, pasukan Indonesia yang tersisa di Timor Timur meninggalkan Bumi Lorosae tanpa upacara seremonial apapun.
Pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur yang juga dikenal dengan nama Timor Leste atau Timor Lorosae, menjadi negara merdeka dan berdaulat setelah masa transisi menuju kemerdekaan di bawah pengawasan PBB dilewati.
ADVERTISEMENT
Selamat jalan Bumi Lorosae...
Walaupun kini telah berpisah, engkau tetap merupakan saudara kandung kami.
Mari bersama kita tatap masa depan dengan semangat optimisme dalam persaudaraan.
______________________