Pergi untuk Kembali

Konten dari Pengguna
18 Agustus 2018 8:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inke Hilarie Dinesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ORAS LORO MALIRIN
Oras loro malirin,
Teu tanis lakateu tanis,
ADVERTISEMENT
Tanis na'ak nian ina, ro sina sa'e ro sina.
Taka sela ba kuda,
Lun turu bete lun turu, bete keta lun turu,
Mai kikar ba mai kikar
Ohin kala serani
Ai ida mutu ai ida
Autan ami ain foho
Ain tasi ami ain tasi
Oras loro malirin,
Teu tanis lakateu tanis,
Tanis na'ak nian ina, ro sina sa'e ro sina
Terjemahan
Waktu surya terbenam
Menangislah burung merpati
Sedih tertinggal induknya
yang menghilang di bawa kapal.
Pasang pelana kuda
Air mata gadis bercucuran
Janganlah gadis menagis
Kupergi dan akan kembali
Malam ini berkumpul
Kita masih bersama sama
Besok kamikan ke gunung
Kamu akan menuju laut
ADVERTISEMENT
Lagu inilah yang terus berbunyi di benak saya selama persiapan serta pada saat kunjungan kami, para peserta Sekolah Staf Dinas Luar Negeri ke-61, Kemlu ke kabupaten Belu, Propinsi NTT pada 14 – 18 Agustus 2018.
Sebelum berangkat ke Belu, kami beberapa kali mendapatkan pelatihan dari mas Indra Aziz untuk menyanyikan lagu rakyat Belu, Oras Loro Malirin. Mas Indra adalah pelatih vokal yang telah “menyempurnakan” banyak suara artis kenamaan seperti Raissa, Agnes Monica dan Afghan.
Dengan berbekal pelatihan dari mas Indra, kami diberikan rasa percaya diri untuk dapat tampil dengan prima di dalam beberapa kesempatan berharga selama kami berada di Belu.
Entah siapa yang menciptakan lagu rakyat Belu berjudul Oras Loro Malirin ini. Yang jelas, lagu ini sangat popular dinyanyikan di acara besar di Kabupaten Belu maupun di provinsi NTT.
ADVERTISEMENT
Selama kami di Belu, kami berkesempatan untuk menyanyikan lagu ini di hadapan Bupati Belu, Willy Brodus Lay beserta jajarannya pada hari pertama ketibaan kami di Atambua. Keesokan paginya, dengan semangat yang sama kami menampilkan suara terbaik di hadapan seluruh siswa SMPN I, Atambua yang disambut dengan tepuk tangan dan riuh suara gembira anak-anak. Terakhir kami nyanyikan pada saat upacara bendera Hari Kemerdekaan RI ke-73 di pesisir pantai perbatasan RI-Timor Leste di Mota’ain.
Di hari terakhir selama kunjungan 5 hari kami ke Belu, lagu ini kembali mengingatkan saya akan artinya. Lagu ini menyimpan makna kesedihan seorang gadis Belu yang ditinggal pergi oleh pujaan hati atau saudara yang akan pergi jauh meninggalkannya untuk merantau.
ADVERTISEMENT
Sebuah lagu perpisahan. Namun pada saat bersamaan kami memiliki semangat dan tekad untuk kembali ke Belu….iya, Pergi untuk Kembali…
Selamat tinggal pemandangan alam Belu…
Dokumen Pribadi
Alam Belu yang masih belum banyak tersentuh.
Selama kunjungan kami disuguhi oleh alam pemandangan Belu yang kering dan tandus pada saat di musim kemarau yang berkepanjangan bulan April – November. Kering namun tetap indah di mata saya.
Alam Belu merupakan kombinasi antara perbukitan yang terjal dan tanah datar serta pesisir pantai bermandikan sinar matahari Belu yang hangat.
Sawah berhektar-hektar terlihat tandus dan berdebu dan sesekali tampak pepohonan dengan jumlah dedaunan yang terbatas sehingga tidak cukup rindang untuk berteduh baik bagi manusia ataupun ternak. Sejatinya akan sangat indah apabila adanya sumber air yang cukup mengairi sawah-sawah dan lading di Belu.
ADVERTISEMENT
Sesekali terlihat ternak rakyat utamanya sapi, kambing dan babi yang berkeliaran mengais-ngais diantara semak belukar dan padang ilalang kering. Tidak terbayangkan apa yang bisa dijadikan pakan ternak dengan keterbatasan yang ada.
Pribadi
Kondisi ini seakan menunjukkan ketidakberdayaan rakyat Belu untuk mengatasi musim kemarau di tanah Belu yang berkepanjangan. Harapan kami adanya perhatian lebih dari pemerintah dalam mengupayakan sumber mata air buatan dalam mengairi berhektar-hektar sawah dan ladang di Belu untuk menambah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Belu.
Selamat tinggal masyarakat Belu…
Mereka sangat ramah dan memiliki senyum yang indah.
Mayoritas warga Belu menuturkan Bahasa Tetun. Namun masyarakat di sini tidak perlu diragukan kemampuannya dalam menggunakan Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Budaya menebarkan ramah, toleransi dan penerimaan terhadap keragaman atau perbedaan telah mengakar kuat pada hati rakyat Belu. Perbedaan-perbedaan suku dan etnisitas tidak menghalangi semangat persaudaraan dan kekerabatan.
Tidak heran mengapa kabupaten Belu yang asal namanya mengandung arti “persahabatan” atau “teman” dalam Bahasa Tetun yang merupakan Bahasa asli setempat, menjadi tempat tinggal untuk etnis-etnis lain.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah negara Timor Leste, Kabupaten Belu juga menjadi tuan rumah dari banyak eks pengungsi Timor Leste sehingga warga Belu dan Timor Leste tak jarang memiliki garis keturunan yang sama. Hubungan kekerabatan tetap terjaga meski terpisah negara.
Semoga wilayah perbatasan RI dengan Timor Leste ini tetap terjaga dan Pemerintah semakin menaruh perhatian terhadap nasib masyarakat di garda terdepan NKRI.
ADVERTISEMENT
Selamat tinggal anak-anak Belu…
Keramahan ini jugalah yang telah diwariskan secara turun temurun kepada anak-anak harapan masa depan Belu. Rasa semangat, pantang menyerah dan tetap ceria itu yang menggambarkan anak-anak Belu.
Hal ini saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri.
Kisah Joni, sang bocah dari Belu di wilayah tapal batas dengan aksi heroiknya memanjat tiang bendera demi berkibarnya sang saka Merah Putih pada hari kemerdekaan telah menginspirasi seantero Tanah Air.
Keceriaan wajah Joni dengan senyum paling indahnya bahkan ketika ia berada di puncak tertinggi tiang bendera telah mengajarkan kami semua untuk pantang menyerah.
Sebelumnya lagi, ketika berkesempatan berbagi cerita dengan anak-anak kelas VI di SD Wirasakti, Atambua, saya melihat potensi anak-anak Belu.
ADVERTISEMENT
Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri, mereka telah berani mengekpresikan diri mereka. Saya merasa salut dengan tenaga pendidik di Belu dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka dapat terus memberikan motivasi bagi anak-anak didiknya yang berjumlah sekitar 70.000 untuk bermimpi.
Andai saja mereka memiliki sarana prasarana yang memadai utamanya jaringan komunikasi yang kuat untuk internet sebagai sumber informasi serta ketersediaan bahan bacaan yang memadai, maka anak-anak Belu akan semakin setanding dan sebanding dengan anak-anak di ibukota.
Senyum Joni dan anak-anak Belu menyimpan banyak harapan.
Selamat tinggal warna warni Belu…
Kabupaten Belu dihuni oleh empat suku utama yaitu Tetun, Bunak, Kemak, dan Dawan. Selain itu, banyak pula pendatang dari luar daerah yang bermukim di kabupaten Belu.
ADVERTISEMENT
Dengan banyaknya suku yang ada, tidak dipungkiri keragaman tradisi budaya dan kearifan lokal Belu mewarnai kehidupan sehari hari.
Selama di Belu, mata kami kami dimanjakan oleh warna warni kain tenun Belu yang menjadi aksen serta ornamen penampilan orang Belu. Sayang kami tidak sempat mengunjungi para pengrajin tenun Belu.
Namun yang bisa saya bayangkan, para wanita cantik dan tegar Belu atau yang biasa dipanggil dengan sebutan “mama” sibuk mengisi hari-harinya dengan membuat kain tenun ikat di Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menenun, sama halnya dengan bercocok tanam dan beternak adalah kehidupan bagi masyarakat Belu. Kegiatan menenun merupakan salah satu upaya mengais rezeki utama sekaligus bentuk upaya melestarikan budaya adat setempat.
ADVERTISEMENT
Keahlian menenun akan diturunkan kepada anak-anak masing-masing. Warna warni menawan itu akan selalu ada di Belu.
Selamat tinggal, Belu...
Melihat senyumanmu yang indah menawan, saya yakin akan kembali di suatu hari seperti dijanjikan pada lagu Oras Loro Malirin.
Belu, 18 Agustus 2018