Konten dari Pengguna

Hari Nusantara: Kenormalan Baru Kelautan di Asia Tenggara

Muhammad Insan Tarigan
Dosen Hukum Laut, FH Ubaya
14 Desember 2020 12:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Insan Tarigan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nenek moyangku adalah seorang pelaut. Pernyataan tersebut tidak hanya sepenggal kalimat dalam lagu yang menemani kembang-tumbuh anak-anak bangsa Indonesia. Namun, sejak zaman kejayaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit yang secara praktis sudah membuktikan bahwa bangsa Indonesia melakukan pelayaran hingga ke Madagaskar. Bahkan, disegani di lautan oleh bangsa-bangsa Asia lainnya. Namun, apakah kita sebagai penerus bangsa ini akan membiarkan kejayaan pendahulu hanya tertuang di dalam catatan-catatan sejarah saja?
ADVERTISEMENT
Pulau-pulau diantar ribuan pulau di Indonesia
Bangsa Indonesia erat kaitannya dengan perkembaangan kelautan di dunia, bahkan perkembangan konsep hukum laut internasional sendiri tidak terlepas dari andil pemikiran bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memperjuangkan konsep negara kepulauan pada tahun 1957 melalui Deklarasi Djuanda. Konsep tersebut kemudian disepakati oleh masyarakat internasional sebagai salah satu rezim hukum laut di dalam the United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, yang diakui sebagai hukum yang mengatur laut secara global. Sejak saat itu juga kemudian Indonesia disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Medan Ketegangan

Namun, tampaknya tongkat estafet perjuangan bangsa Indonesia belum sampai di garis akhir. Melihat permasalahan kelautan masih terjadi di sekitar wilayah negara Indonesia, maka perjuangan pemikiran masih harus berlanjut. Tentunya kita ketahui hingga saat ini, momok yang masih membebani sebagian negara-negara anggota Association Southeast Asia Nations (ASEAN) adalah konflik Laut China Selatan. Terjadi pertentangan klaim yurisdiksi di sebagian wilayah tersebut antara RRT, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam dan Singapura. Indonesia memang tidak ikut dalam perselisihan tersebut, namun mengingat Indonesia secara langsung juga berbatasan dengan wilayah tersebut maka tidak menutup kemungkinan terkena dampaknya. Masih terang di ingatan kita semua, bahkan emosinya belum semuanya hilang ketika di akhir tahun 2019, RRT mengklaim kedaulatan atas Laut Utara Natuna yang sah secara hukum internasional merupakan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
ADVERTISEMENT
Masih banyak lagi isu-isu di laut yang harus dialami oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lain. Perompakan marak terjadi di wilayah perairan Asia Tenggara, bagian selatan dari Laut China Selatan adalah salah satu wilayah yang masih sering terjadi serangan pada kapal yang sedang berlayar. Diperkirakan ada sekitar 75 kasus perompakan pada tahun 2008 (Bateman et al, 2009). Perairan Asia Tenggara juga riskan terhadap serangan terorisme yang masih marak terjadi. Misalnya pada pertengahan bulan Februari tahun 2020, 2 WNI ditangkap oleh kelompok teroris Abu Sayyaf yang diyakini berafilliasi dengan ISIS. Perbudakan juga masih menjadi permasalahan besar bagi negara-negara anggota ASEAN, yang bisa dilihat dari data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2011, Indonesia bersama Kamboja, Myanmar, Filipina dan Laos merupakan negara-negara yang pekerjanya paling sering dieksploitasi di kapal penangkap ikan. Masih segar di pikiran kita semua, perbudakan tampak jelas terlihat pada peristiwa tewasnya empat anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal milik perusahaan asal China, Dalian Ocean Fishing Co. Ltd.
ADVERTISEMENT
Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) fishing atau pencurian ikan juga telah menjadi masalah serius di kawasan ini, terutama Indonesia. Setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kapal yang harus ditenggelamkan oleh Indonesia akibat melakukan pencurian ikan. Hal juga yang membuat laut di Kawasan ini menjadi medan ketegangan bagi negeri-negara ASEAN. Sebagian besar negara-negara anggota ASEAN mengalami penurunan produksi ikan tangkap di lautan, seperti Brunai Darussalam, Philippines, Malaysia, Singapore dam Thailand (M. Komatsu, 2013). Kondisi demikian ditenggarai oleh jumlah penangkapan ikan yang dilakukan selama ini melebihi kebutuhan yang diperlukan. Padahal perikanan adalah sektor yang sangat penting bagi masyarakat Asia Tenggara.

Pengelolaan Penangkapan Ikan Bersama

Negara-negara ASEAN tidak hanya sebagai produser utama atas produk perikanan, tetapi juga sebagai Kawasan yang mengonsumsi sebagian besar produk perikanan. Konsumsi ikan di Kawasan ASEAN diproyeksikan meningkat dari 24,5 juta ton di tahun 2015 menjadi 36,9 juta ton di tahun 2030, dan akan mencapai 47,1 juta ton di tahun 2050. Sedangkan perdagangan ikan juga diperkirakan meningkat dari 6,3 juta ton menjadi 11 juta ton pada tahun 2030 (Chan CY et al, 2017). Kebutuhan manusia terhadap ikan terus meningkat, sedangkan produk ikan sebagai komoditas dagang akan berkurang, maka krisis produk ikan pasti akan terjadi. Sehingga pengelolaan perikanan yang efisien sangat vital untuk dihadirkan.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai salah negara yang berpengaruh di ASEAN seharusnya dapat menjadi motor pembangunan pengelolaan penangkapan ikan bersama (joint fishing management zones) di laut bebas. Sesuai dengan prinsipnya, maka laut bebas layak diperlakukan sebagai warisan bersama suluruh umat manusia (common heritage of all mankind), yang seharusnya mengarahkan negara pada kerjasama untuk berbagi manfaat bersama. Perjanjian penangkapan ikan bilateral di Laut Jepang dan Laut Cina Timur telah sukses disepakati yang melibatkan Korea Selatan dan Jepang, Jepang dan Taiwan (Sukma et al, 2015).
ASEAN dapat mendirikan badan khusus untuk mengelola kegiatan penangkapan, perdagangan ikan serta pengelolaan keuntunganya. Anggota badan tersebut diwakili oleh setiap perwakilan negara-negara ASEAN. Para pekerja di kapal penangkap ikan tersebut juga harus berasal dari masyarakat Asia Tenggara. Hasil kerjasa sama ini harus dapat dirasakan oleh seluruh negara anggota (sharing-benefit). UNCLOS menegaskan bahwa kegiatan harus untuk “benefit of mankind as a whole” (Pasal 140 paragraf 1) dan “financial dan economic benefit” harus dibagi secara adil berdasarkan prinsip non-diskriminasi, tetapi tetap mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan tertentu negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Kerjasama demikian dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, serta dapat mengurangi perbudakan bagi masyarakat Asia Tenggara yang bekerja di kapal perusahaan penangkap ikan dari berbagai negara. Interaksi antar negara saat ini yang cenderung berkompetisi dan mengarah pada ketegangan di laut dapat diubah menjadi panggung kerjasama antar negara tetangga. Indonesia mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk meningkatkan kepatuhan terhadap UNCLOS 1982 untuk mengurangi konflik di Laut.