Menyoal Disharmoni Status dan Hak Hukum Anak Pasca Perceraian Orang Tua

Insanul Hakim Ifra
Petugas Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Depok
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2023 17:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insanul Hakim Ifra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak bersedih karena perceraian orang tua Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak bersedih karena perceraian orang tua Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gugatan perceraian seringkali menyisakan beban baru, terutama berkenaan dengan kehidupan si anak. Ada beberapa alasan yang dijabarkan secara yuridis sebagai prasyarat untuk mengajukan perceraian.
ADVERTISEMENT
Hal itu diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
Adapun di antaranya yaitu suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, serta salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Kadang kala suami yang digugat di pengadilan, apalagi dalam status terpenjara sebagai narapidana, tidak bisa melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga secara holistik—kendati pun ditemui seringkali melepaskan tanggung jawabnya begitu saja terhadap kelangsungan hidup anak.
Perlu dipikirkan lebih jauh lagi mengenai status anak dan hak anak apabila terjadi perceraian orang tua. Hal ini tentu berimplikasi terhadap anak sebagai akibat dari perceraian orangtuanya seperti masalah hadhanah (hak asuh anak), perwalian, dan pembebanan nafkah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, masih ditemuinya aturan yang disharmoni dan inkonsistensi serta putusan pengadilan yang masih belum selaras mengenai status dan hak hukum anak.
Mengenai disharmoni aturan, terdapat pada beberapa peraturan perundangan-undangan yang berdimensi hukum terhadap kepentingan anak, salah satu di antaranya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kemudian UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, dan UU No. 39 Tahun 1999.
Di lain sisi, pada praktik pengadilan terdapat juga disparitas putusan dan pertimbangan yang berbeda-beda dari menafsirkan norma dalam aturan-aturan a quo.
ADVERTISEMENT

Hadhanah (Hak Pengasuhan Anak)

Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock
Mengenai hak asuh anak, Pasal 105 huruf a KHI menunjuk ibu orang yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz (12 tahun). Berbeda dengan UU 23/2022, dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a yang mewajibkan kedua orang tua untuk bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
Ada juga aturan hukum lain yang menentukan pemisahan pengasuhan anak didasarkan atas kepentingan terbaik bagi anak seperti seperti yang diterangkan dalam Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014 yang berbunyi:
Sementara itu, Pasal 49 ayat (1) UU 1/1974 telah memberikan kemungkinan peralihan hak dari ayah ke ibu atau sebaliknya atas dasar kondisi-kondisi (Permana, S, dkk. 2016. Perlindungan Hak Anak Dalam Putusan. Majalah Peradilan Agama, Edisi 9, hlm. 19).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil penelitian Edi Riadi (2011), ada tiga alasan hukum atas kondisi-kondisi terjadinya peralihan pengasuhan anak yaitu adanya kesempatan untuk memelihara anak, integritas orang tua, dan status agama.
Dengan kata lain, Pasal 49 ayat (1) UU 1/1974 memberikan batasan orang tua yang dianggap tidak cakap memelihara anak yaitu jika melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sebagaimana bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Pasal 49 ayat (1)

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan ia berkelakuan buruk sekali.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik pengadilan, terdapat putusan yang memberikan hak hadhanah kepada ayah seperti dalam putusan kasasi nomor 349/K/AG/2006 Tanggal 3 Januari 2007 di mana Majelis Hakim melakukan contra legem atas norma pengasuhan anak Pasal 105 KHI dengan menetapkan pihak ayah sebagai pemegang hak hadhanah dengan pertimbangan aktivitas yang cukup tinggi dari si ibu sehingga pihak ayah dipandang lebih berhak dalam mengasuh anak.
Selain itu ada juga penilaian integritas yang dilihat dari kelalaian atau perilaku yang tidak baik. Ibu lalai dalam memelihara anak seperti dalam putusan kasasi nomor 306 K/AG/ 2002 Tanggal 26 April 2006.
Selanjutnya ada juga perilaku ibu yang buruk sering selingkuh seperti dalam putusan kasasi nomor 456 K/AG/2004 Tanggal 26 Januari 2004 yang menetapkan pengasuhan anak 7 tahun menjadi hak ayahnya karena ibu telah menikah lagi dengan lelaki lain.
ADVERTISEMENT
Ada pula kecenderungan yurisprudensi mempertimbangkan fikih Islam manakala hak asuh diberikan kepada ayah karena ketika itu ibu beragama non muslim seperti dalam putusan kasasi nomor 302 K/AG/1995 Tanggal 26 Maret 1997. Beda halnya dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 103/PDT G/2006/PTA Medan, pengasuhan anak harus dilakukan secara bersama-sama.

Pembebanan Nafkah Anak

Ilustrasi perceraian Foto: Shutterstock
Nafkah anak merupakan kewajiban bagi kedua orang tua. Menjadi permasalahan manakala terjadi perceraian dan salah satu pihak menuntut pemenuhan nafkah anak.
Ada putusan yang mewajibkan kedua orang tua untuk pemenuhannya seperti putusan kasasi nomor 23 K/AG/2003 Tanggal 26 Februari 2004 dengan dalil utang seorang suami atas kelalaiannya dalam memberikan nafkah anak tidak dapat digugat karena nafkah anak prinsipnya adalah lil intifa bukan litamlik. (Permana, S, dkk. 2016. Perlindungan Hak Anak Dalam Putusan. Majalah Peradilan Agama, Edisi 9, hlm. 20).
ADVERTISEMENT
Dengan prinsip lil intifa, jika salah pihak sudah memenuhi maka gugurlah pihak lainnya, dengan kata lain, pemenuhan nafkah anak bukan hutang yang bisa dituntut. Berdasarkan putusan kasasi nomor 394 K/AG/2010, besarnya nafkah anak harus memenuhi kebutuhan hidup minimum, kepatutan dan keadilan.
Pemenuhan nafkah anak merupakan kewajiban kedua orang tua. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU 1/1974 kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Yurisprudensi di atas banyak dijadikan sebagai bagian dari legal reseoning putusan hakim. Namun, ada yang melakukan contra legem atas kaidah yurisprudensi tersebut dengan mengedepankan suguhan pembaharuan.
Di antara putusan tersebut adalah Putusan Pengadilan Agama Kayu Agung No.0228/Pdt.G/2014/PA.KAG tanggal 14 Agustus 2014 dan Nomor: 0200/Pdt.G/2014/PA.KAG tanggal 28 Mei 2014. Dari kedua putusan tersebut, salah satu pertimbangannya difokuskan pada perlindungan hak anak.
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim menyadari bahwa anak merupakan korban dari kondisi disharmonis kedua orang tuanya. Pembebanan terhadap nafkah anak yang terutang bagi ayah juga akan merekatkan ikatan psikologis antara ayah dan anaknya. (Permana, S, dkk. 2016. Perlindungan Hak Anak Dalam Putusan. Majalah Peradilan Agama, Edisi 9, hlm. 20).

Penetapan Perwalian

Ilustrasi pasangan bercerai. Foto: Shutterstock
Tampaknya batasan umur anak terkait perwalian berbeda-beda antar peraturan perundang-undangan. Penetapan perwalian anak sampai batas umur 18 tahun bisa ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 1/1974.
Sementara itu, Pasal 107 KHI mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Dalam kasus seperti ini, maka muncul disparitas putusan yang signifikan karena ketentuan batas usia anak di bawah perwalian secara jelas disebut dalam pasal-pasal tersebut, tanpa memerlukan penafsiran apapun. (Fanani, Z, dkk. 2016. Regulasi dan Problematika Perlindungan Hak Anak. Majalah Peradilan Agama, Edisi 9, hlm. 15).
ADVERTISEMENT
Demikian persoalan yang mungkin muncul terhadap anak pasca terjadinya perceraian orang tua mulai dari hadhanah (hak asuh anak), nafkah anak, dan perwalian.
Tidak sampai di situ, inkonsistensi peraturan perundang-undangan juga terjadi dan turut serta mengakibatkan pergeseran norma dan kontraproduktif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik bagi anak. Harus ada harmonisasi aturan agar tercapai satu kesamaan mengenai kepentingan terbaik bagi anak.
Terlepas dari contra legem hakim dalam memberikan pertimbangan dan putusan yang dimaksudkan untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak, setidaknya ada unifikasi hukum mengenai batas umur anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, perceraian sedapat mungkin haruslah dihindari, semata-mata karena kepentingan anak nantinya. Sebagai upaya preventif, jika salah satu pihak dalam perkara perceraian berada dalam lapas/rutan haruslah dapat dimungkinkan bisa menghadiri sidang/mediasi di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Selama ini narapidana hanya menerima putusan secara verstek karena memang belum ada aturan demikian bagi narapidana untuk bisa hadir. Namun bukan tidak mungkin nantinya hak keperdataan narapidana untuk dapat menghadiri sidang keperdataan (perkara perceraian) bisa terwujud dengan kerja sama antar instansi