Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kembalinya Liverpool ke Tahta Tertinggi Sepak Bola Inggris
27 Juni 2020 7:33 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Iqbal Hasanuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Liverpool FC (LFC) akhirnya menjadi juara English Premier League (EPL) 2019-2020. Pada minggu ke-31, Liverpool memperoleh poin 86, sementara pesaing terdekatnya, Manchester City, baru mengumpulkan 63 poin. Artinya, dengan 7 pertandingan tersisa, tidak akan ada kontestan EPL lain yang dapat menyusul perolehan poin Si Merah.
ADVERTISEMENT
Ini adalah gelar juara Liga Inggris untuk pertama kalinya bagi Liverpool dalam 30 tahun terakhir. Mereka terakhir kali berhasil menjadi juara Liga Inggris pada 1989-1990. Itu tentu merupakan waktu yang cukup lama untuk klub sebesar Liverpool. Sebab, pada 1990 itu, Liverpool adalah klub peraih juara Liga Inggris terbanyak dengan 18 gelar.
Setelah 1990, Liverpool tampak sangat kesulitan untuk menjadi yang terbaik di Liga Inggris. Memang, dalam rentang 30 tahun itu, Liverpool pernah meraih beberapa gelar. Di antaranya adalah juara Liga Champion Eropa pada 2004-2005 dan 2018-2019, juara Liga Eropa 2000-2001, dan juara Piala FA 1991-1992, 2000-2001 dan 2005-2006. Sementara di liga, raihan terbaik Liverpool adalah menjadi runner-up.
Mengapa Liverpool tidak bisa menjuarai Liga Inggris selama rentang 30 tahun tersebut? Mengapa mereka bisa mengakhiri puasa gelar liga pada 2018-2029 ini? Faktor-faktor utama apa saja yang memungkinkan hal itu terjadi? Lantas, apakah Liverpool dapat meraih kesuksesan seperti ini kembali dalam tahun-tahun mendatang?
ADVERTISEMENT
Pemilik
Kesuksesan sebuah klub sepak bola banyak ditentukan oleh sosok pemilik. Terlebih, ketika sepak bola telah menjadi sebuah industri, itu urusan uang dan manajemen bisnis memiliki pengaruh besar terhadap prestasi klub. Kita bisa menyebut beberapa contoh kesuksesan klub yang identik dengan pemiliknya: Milan era Berlusconi, Inter era Moratti, Juventus era Agnelli, Chelsea era Abramovich, Manchester City era Syaikh al-Mansour, dan PSG era Nasser al-Khelaifi.
Dalam sejarahnya, kesuksesan dan kegagalan Liverpool untuk menjadi yang terbaik di Liga Inggris di antaranya disebabkan oleh profil pemiliknya. Sebelum dibeli oleh pemilik saat ini pada 2007, LFC pernah beberapa kali berganti kepemilikan dengan gaya bisnisnya masing-masing. Di antaranya adalah John Smith (1973-1990), Noel White (1990-1991), David Mores (1990-2007), Tom Hicks dan George Gillet (2007-2010) serta John W. Henry (2007-sekarang).
ADVERTISEMENT
Setelah mengalami pasang-surut prestasi sejak kelahirannya pada 1892, Liverpool mencapai masa keemasannya pada masa kepemilikan John Smith. Ia adalah pemilik LFC tersukses dalam sejarah dengan meraih 11 gelar liga. Ini belum termasuk tiga trofi Piala FA, empat trofi Liga Champions dan dua trofi Piala UEFA. Pada masa itu, LFC menjadi kekuatan utama yang sangat dihormati di Inggris dan Eropa.
Setelah LFC menjuarai Liga Inggris pada 1990, John Smith mundur dari posisinya sebagai pemilik klub. Mundurnya Smith patut diduga disebabkan oleh situasi sulit LFC setelah tragedi Heysel pada 1985. Dalam tragedi ini, puluhan orang meninggal akibat perilaku pendukung fanatik LFC saat Si Merah bertanding pada Final Piala Champion Eropa melawan Juventus. Belum selesai menjalani hukuman di kejuaraan Eropa, LFC dituduh terlibat dalam tragedi Hillsborough pada 1989 saat semifinal Piala FA melawan Nothingham Forest di mana 96 orang meninggal.
ADVERTISEMENT
Setelah era John Smith, LFC dimiliki oleh Noel White (1990-1991) dan David Moores (1990-2007). Pada masa ini, LFC berhasil menjadi juara Piala FA 1991-1982, 2000-2001 dan 2005-2006, juara Liga Eropa 2000-2001 dan juara Liga Champion Eropa 2005-2006. Di sini, LFC menang tidak bisa disebut berpuasa gelar. Hanya saja, di Liga Inggris, LFC tidak pernah menjadi juara sama sekali.
LFC di bawah kepemilikan Moores justru terjebak utang sebesar 45 juta Poundsterling dan tampak tidak berdaya di hadapan Chelsea, klub kaya baru setelah dimiliki oleh miliuner Roman Abramovich sejak 2003. Dengan uang yang diinvestasikan dengan jumlah yang sangat banyak untuk membeli pemain-pemain dunia kelas dunia, Chelsea berhasil menjadi juara Liga Inggris secara berturut-turut pada 2004-2005 dan 2005-2006.
ADVERTISEMENT
Karenanya, Moores kemudian menjual LFC pada 2007 kepada pengusaha asal Amerika Serikat, Tom Hicks dan George Gillet. Namun demikian, di bawah kepemilikan mereka, LFC malahan semakin dalam terlilit hutang 351 juta Poundsterling akibat peminjaman uang oleh Gillet dan Hicks kepada Royal Bank of Scotland (RBS) saat membeli LFC dari Moores. Selain tidak memperoleh piala apapun, LFC terpaksa harus menjual bintang-bintangnya satu per satu untuk membayar hutang klub.
Menghadapi demonstrasi besar-besaran dari para supporter dan tagihan utang RSB yang semakin banyak, LFC akhirnya dijual kepada John W. Henry. Pada 2010, melalui perusahaan miliknya, Fenway Sports Group, pengusaha asal Amerika Serikat itu secara resmi membeli klub kebanggaan kota pelabuhan tersebut. Sejak itu, secara perlahan tapi pasti, Liverpool mulai berbenah di bawah kepemilikan Henry.
ADVERTISEMENT
Henry membangun ulang fondasi LFC. Ia membuat klub tidak memiliki utang sekaligus memberikan suntikan dana yang cukup untuk membeli pemain-pemain potensial. Selain itu, keputusannya yang tidak kalah pentingnya adalah membawa Juergen Klopp untuk menjadi manager Si Merah. Dengan suntikan dana yang memadai untuk membeli pemain-pemain yang cocok dan disertai kejeniusan Klopp dalam meracik tim, LFC tampil sangat kuat dan menarik dilihat. Puncaknya adalah ketika mereka menjadi juara Liga Champion 2018-2019 dan juara Liga Inggris 2019-2020.
Manajer
Di samping pemilik, sosok lain yang cukup menentukan kesuksesan sebuah klub sepak bola adalah manajer atau pelatih. Tidak ada klub yang bisa juara tanpa manajer hebat. Misalnya, kita bisa menyebut Arrigo Sacchi dan Fabio Capello bersama AC Milan, Marcello Lippi bersama Juventus, Carlo Ancelotti bersama AC Milan, Chelsea, PSG dan Madrid, Antionio Conte bersama Juventus dan Chelsea, Jose Mourinho bersama Porto, Chelsea, dan Inter Milan, Guardiola bersama Barcelona, Munchen dan Manchester City, serta Zidane bersama Madrid.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Liverpool, kesuksesan klub juga identik dengan manajer hebat. Ada dua nama manajer yang identik dengan prestasi LFC, yaitu: Bill Shankly dan Robert "Bob" Paisley. Jika Shankly adalah pembangunan fondasi kekuatan LFC, Paisley adalah asisten sekaligus pelanjut Shankly yang juga tidak kalah hebatnya. Tanpa keduanya, LFC akan tetap menjadi klub yang bahkan tidak akan lebih hebat dari rival sekota, Everton.
Ada tiga hal yang dilakukan Shankly untuk mengubah LFC dari tim gurem yang bermain di kasta kedua liga Inggris menjadi juara di kasta tertinggi liga Inggris. Dalam permainan tim, ia menerapkan passing game. Intinya adalah kecerdasan pemain dalam mengumpan, mencari ruang dan menerima umpan. Ia juga membangun kekompakan tim dengan merenovasi pusat latihan, Melwood. Selain itu, ia menanamkan mental juara dengan menyatakan bahwa peringkat kedua itu tidak ada artinya sama sekali.
ADVERTISEMENT
Sebagai hasilnya, LFC dibawanya promosi ke divisi utama sekaligus menjadi juara pada 1963-1964. Kemudian, LFC jadi juara Piala FA pada 1964-1965 dan Piala UEFA 1973. Secara keseluruhan, dari 1959 sampai 1974, ia telah membantu LFC meraih 3 gelar Liga Inggris, 2 Piala FA, dan 1 Piala UEFA. Karena alasan itulah, ia hingga saat ini dianggap sebagai pelatih paling legendaris oleh para pendukung Liverpool.
Fondasi dan kesuksesan LFC yang telah diperjuangkan Shankly kemudian diteruskan oleh Bob Paisley. Dalam rentang waktu sembilan tahun (1974-1983), ia berhasil membawa LFC untuk menjadi juara Liga Inggris sebanyak 6 kali, juara Champions Eropa 3 kali, juara Piala UEFA 1 kali, juara Piala Liga 3 kali, juara Community Shields 6 kali, dan juara Piala Super Eropa 1 kali.
ADVERTISEMENT
Ketika Paisley pensiun pada 1983, posisi manajer Liverpool beralih kepada Joe Fagan. Dengan fondasi dan bangunan kokoh yang disiapkan oleh para pendahulunya itu, Fagan membawa LFC meraih treble, yaitu meraih tiga gelar juara sekaligus dalam tahun yang sama. Pada 1983-1984, Fagan menjadikan LFC sebagai juara Piala Champions, Liga Inggris dan Piala Liga. Ini menjadikan LFC sebagai klub Inggris pertama yang menyabet treble dalam sejarah.
Karena cukup terpukul akibat kerusuhan pendukung yang mengakibatkan banyak orang meninggal dalam tragedi Heysel, Fagan mundur dari jabatannya sebagai manajer dan menyerahkannya kepada Kanny Daglish. Di bawah arahannya, LFC berhasil menjadi juara Liga Inggris 3 kali, juara Piala FA 2 kali. Namun demikian, Daglish tidak dapat membuktikan kehebatannya sebagai manajer dalam kompetisi antar-klub Eropa karena LFC dihukum tidak boleh bermain di Eropa selama 6 tahun akibat tragedi Heysel pada 1985.
ADVERTISEMENT
Setelah Daglish juga pensiun sebagai manajer akibat tragedi Hillsborough pada 1989, Liverpool seperti kehilangan auranya. Pada 1990-2015, manajer Liverpool silih berganti tapi tidak ada yang bisa membawa klub menjadi jawara Inggris: Graeme Souness, Roy Evans, Gerard Houllier, Rafael Benitez, Roy Hodgson, dan Brendan Rodgers. Prestasi terbaik mereka adalah juara Piala FA 1991-1992, 2000-2001 dan 2005-2006. Di Eropa, LFC menjadi juara Liga Champion 2004-2005 dan Liga Eropa 2000-2001.
Kedatangan Jurgen Klopp pada 2015 mengubah segalanya. Menggantikan posisi Rodgers yang diberhentikan saat musim kompetisi sedang berjalan, Klopp memulai pekerjaannya sebagai manajer LFC dengan tidak mudah. Ia mewarisi para pemain yang sudah ada dan sebagiannya cedera. Di akhir musim, LFC berada pada peringkat ke-8. Namun demikian, LFC dibawanya ke partai final Liga Europa meskipun harus puas menjadi runner-up setelah kalah dari Sevilla.
ADVERTISEMENT
Pada musim berikutnya, Klopp tentu saja sudah bisa memainkan gaya sepak bola yang disebut dengan gegenpressing. Dalam filosofi gegenpressing ini, LFC didorong untuk melakukan presing kolektif tepat pada saat mereka kehilangan bola. Ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu: merebut bola secepat mungkin dan mengacaukan serangan lawan.
Untuk memainkan gegenpressing dengan sempurna, dibutuhkan kerja keras dan kerja sama apik dari semua pemain. Ketika kehilangan bola atau lawan sedang menguasai bola, 2 pemain LFC terdekat akan memberikan tekanan kepadanya. Pemain-pemain LFC lain bersiap menutup ruang dan menjaga pemain lawan lainnya. Akibatnya, pemain lawan tidak bisa mengumpan bola sehingga terpaksa melakukan kesalahan dan bola bisa direbut secepat mungkin. Kemudian, bola dialirkan dengan cepat ke depan di mana tiga penyerang LFC berlari dan bersiap membobol gawang lawan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Klopp juga sangat pandai memilih pemain yang sesuai dengan filosofinya itu. Selain Jordan Henderson semua pemain inti LFC sekarang dibeli oleh Klopp. Secara khusus, Firminho sebetulnya dibeli oleh Roders, tapi ia kesulitan untuk menjadi pemain inti. Klopp kemudian menjadikannya tulang punggung serangan LFC. Adapun pemain-pemain lain yang dibeli oleh Klopp adalah Mane, Alexander-Arnold & Wijnaldum (2016), Robertson & Salah (2017), serta Becker, van Dijk, Fabinho & Keita (2018).
Dengan filosofi dan pemain yang cocok tersebut, Klopp berhasil membawa LFC berada di peringkat ke-4 pada 2016-2017. Kemudian, pada 2017-2018, LFC berada di peringkat 4 dan menjadi runner-up Liga Champion Eropa setelah kalah di final dari Real Madrid. Pada 2018-2019, LFC berhasil menjadi runner-up Liga Inggris dengan selisih 1 poin dari sang juara, Manchester City. Namun demikian, di Eropa, LFC berhasil menjadi juara Liga Champions setelah mengalahkan Tottenham Hotspur. Kemudian, pada 2019-2020, LFC berhasil menjadi juara Liga Inggris.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Tahta Tertinggi
Kombinasi John Henry sebagai pemilik dan Jurgen Klopp sebagai manager telah terbukti berhasil membawa Liverpool FC kembali bertahta di Liga Inggris. Ini adalah posisi yang sudah seharusnya ditempati oleh LFC sebagai salah satu klub terbaik di Inggris dan Eropa. Fakta bahwa LFC tidak bisa menjadi jawara dalam 30 tahun terakhir sebetulnya merupakan keanehan bagi klub yang sudah memperoleh gelar juara liga ke-18 pada 1990.
Mengingat Henry dan Klopp masih akan bekerja sama di tahun-tahun mendatang, gelar juara tahun ini tampaknya hanya menjadi awal bagi gelar-gelar lainnya. Dengan kekuatan yang dimilikinya saat ini, LFC tampaknya masih akan menjadi jawara setidaknya 3 kali lagi dalam 6 tahun ke depan. Satu-satunya klub yang bisa mematahkan dominasi LFC di Liga Inggris hanyalah Manchester City dengan keberadaan Guardiola sebagai manajernya.
ADVERTISEMENT
Jika Guardiola memutuskan untuk pergi, Manchester City juga akan kehilangan setengah kekuatannya sehingga LFC berpeluang menjadi penguasa Liga Inggris dengan jauh lebih mudah. Tanpa Guardiola di the Citizen, Si Merah tampaknya akan menjadi kandidat utama juara liga dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, Sang Raja Inggris akan kembali bertahta.
Di Eropa, LFC juga akan selalu diperhitungkan sebagai salah satu penantang serius gelar juara Liga Champions. Saat ini, LFC telah mendapatkan 6 tropi Liga Champions. LFC adalah klub Inggris dengan tropi Liga Champions terbanyak. Sebagai perbandingan, hanya Real Madrid (13 tropi) dan AC Milan (7 tropi) yang memiliki tropi lebih banyak dari LFC di Liga Champions. Bersama Klopp, peluang LFC menambah gelar akan selalu terbuka dan menjaga nama baik klub-klub Inggris di Eropa.
ADVERTISEMENT