Konten dari Pengguna

Pemeriksaan dan Penyitaan HP Murid oleh Guru dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Irman Ichandri
Guru SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di SMK Unggul Negeri 2 Banyuasin III, Alumni S1 PPKn Universitas Sriwijaya, Alumni S2 Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang.
25 September 2024 18:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irman Ichandri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Irman Ichandri, S.Pd., M.H.
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Dokumen Pribadi
Pemeriksaan dan penyitaan HP (handphone) murid oleh guru di sekolah sering menjadi perdebatan hangat di kalangan orang tua, siswa, dan tenaga pendidik. Isu ini menyentuh dua aspek penting, yaitu penegakan disiplin di lingkungan sekolah serta perlindungan hak privasi murid. Di satu sisi, guru memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan memastikan siswa mematuhi peraturan sekolah. Di sisi lain, hak-hak siswa, terutama terkait privasi dan perlindungan data pribadi, juga harus dihormati. Artikel ini akan mengupas fenomena ini dari sudut pandang hukum Indonesia, khususnya dengan meninjau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Penyitaan dalam Hukum Pidana
Dari sudut pandang hukum pidana, penyitaan barang, termasuk handphone, diatur secara ketat dalam KUHAP. Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik yang mendapatkan surat perintah dari Ketua Pengadilan Negeri, kecuali dalam keadaan mendesak. Selain itu, Pasal 39 KUHAP mengatur bahwa penyitaan hanya boleh dilakukan terhadap :
ADVERTISEMENT
Poin ini jelas menunjukkan bahwa penyitaan harus melalui prosedur hukum yang tepat dan hanya bisa dilakukan dalam konteks penyidikan tindak pidana. Guru, sebagai tenaga pendidik, tidak memiliki kewenangan penyidikan, dan tidak diperkenankan melakukan penyitaan barang siswa secara sepihak, bahkan dalam konteks penegakan disiplin di sekolah.
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam KUHAP, penyitaan HP murid hanya bisa dianggap sah jika dilakukan oleh penyidik yang berwenang, misalnya dalam kasus di mana HP tersebut diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Jika guru melakukan penyitaan tanpa dasar hukum yang jelas, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Privasi Elektronik dalam UU ITE
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan regulasi yang melindungi hak-hak warga negara dalam dunia digital. Pasal 26 ayat (1) UU ITE menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi. HP merupakan perangkat yang menyimpan data pribadi pengguna, seperti pesan, foto, video, dan informasi pribadi lainnya. Pemeriksaan HP oleh guru tanpa izin murid dapat dianggap sebagai pelanggaran privasi, apalagi jika guru tersebut mengakses data atau informasi pribadi di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pasal 30 UU ITE secara eksplisit melarang siapapun mengakses sistem elektronik milik orang lain tanpa izin. Pemeriksaan HP murid oleh guru tanpa sepengetahuan dan persetujuan murid atau orang tua jelas melanggar ketentuan ini. Orang yang melanggar Pasal 30 ayat (1) UU ITE berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp600 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UU ITE.
Hak privasi dan perlindungan data pribadi adalah hak dasar yang harus dihormati oleh semua pihak, termasuk sekolah. Penggunaan perangkat elektronik seperti HP di kalangan pelajar memang bisa menjadi tantangan dalam menjaga ketertiban di sekolah, namun hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar hak privasi siswa.
ADVERTISEMENT
Kewenangan Guru dalam Menegakkan Disiplin
Sementara dari perspektif hukum pidana dan UU ITE guru tidak memiliki wewenang untuk menyita atau memeriksa HP murid, di sisi lain, sekolah sering kali memiliki kebijakan internal yang melarang penggunaan HP selama jam belajar. Larangan tersebut umumnya bertujuan untuk menjaga fokus dan mencegah gangguan dalam proses belajar-mengajar. Dalam konteks ini, guru sering kali bertindak sebagai penegak disiplin yang memastikan murid mematuhi aturan sekolah.
Namun, penegakan disiplin oleh guru harus dilakukan dalam koridor hukum yang jelas dan tidak melanggar hak-hak murid. Jika sekolah menetapkan aturan mengenai penyitaan HP, maka tindakan tersebut harus diatur dengan jelas dalam peraturan sekolah yang diketahui oleh semua pihak, termasuk murid dan orang tua. Penyitaan HP tanpa dasar yang jelas dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi guru maupun sekolah.
ADVERTISEMENT
Misalnya, jika aturan sekolah memperbolehkan guru untuk menyita HP yang digunakan saat jam pelajaran, maka penyitaan tersebut harus dilakukan dengan cara yang sah, misalnya dengan menyerahkan HP kepada pihak sekolah dan bukan untuk diperiksa oleh guru secara pribadi. Penyitaan ini juga harus diikuti dengan ketentuan yang jelas mengenai pengembalian HP kepada murid setelah jam pelajaran selesai atau saat pulang sekolah.
Konsekuensi Hukum bagi Guru yang Melanggar
Jika guru melakukan tindakan penyitaan atau pemeriksaan HP murid tanpa dasar hukum yang jelas, beberapa konsekuensi hukum dapat terjadi. Pertama, tindakan penyitaan tanpa wewenang dapat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Orang tua murid yang merasa hak anaknya dilanggar bisa menuntut secara pidana atau menggugat guru atau sekolah secara perdata, misalnya dengan tuntutan atas pelanggaran hak privasi anak.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemeriksaan HP yang melibatkan akses ke data pribadi murid dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU ITE. Misalnya, jika guru membuka pesan atau konten pribadi yang terdapat di HP murid tanpa izin, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai akses ilegal. Guru yang terbukti melanggar Pasal 32 UU ITE bisa dikenakan hukuman pidana berupa penjara atau denda.
Ketiga, guru yang melakukan pelanggaran hak privasi murid bisa dilaporkan ke lembaga terkait, seperti Ombudsman atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga-lembaga ini berwenang menerima laporan terkait pelanggaran hak-hak anak, termasuk dalam kasus pelanggaran privasi yang dilakukan di lingkungan sekolah.
Rekomendasi Kebijakan bagi Sekolah
Untuk menghindari pelanggaran hukum dan melindungi hak privasi murid, sekolah perlu menetapkan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan HP di lingkungan sekolah. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
ADVERTISEMENT
- Peraturan tertulis : Sekolah perlu menetapkan aturan tertulis mengenai penggunaan HP di sekolah, termasuk konsekuensi jika murid melanggar aturan tersebut. Peraturan ini harus disosialisasikan kepada murid dan orang tua sejak awal.
- Penyitaan tanpa pemeriksaan : Jika sekolah memutuskan untuk menyita HP yang digunakan saat jam pelajaran, maka penyitaan harus dilakukan tanpa memeriksa isi dari HP tersebut. HP yang disita bisa disimpan dengan aman oleh pihak sekolah dan dikembalikan kepada murid setelah jam sekolah berakhir.
- Komunikasi dengan orang tua : Dalam kasus tertentu, jika HP murid perlu diperiksa karena adanya dugaan tindak pidana atau pelanggaran serius, guru harus melibatkan orang tua murid dan pihak berwenang. Pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh guru.
ADVERTISEMENT
Pemeriksaan dan penyitaan HP murid oleh guru di sekolah merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Meskipun guru memiliki kewajiban menegakkan disiplin di sekolah, mereka tidak memiliki wewenang hukum untuk menyita atau memeriksa HP murid secara sembarangan. Dalam hal ini, KUHAP dan UU ITE memberikan batasan yang jelas mengenai hak-hak privasi dan prosedur penyitaan yang sah.
Pihak sekolah perlu merumuskan kebijakan yang jelas terkait penggunaan HP oleh murid, dan penegakan disiplin harus dilakukan tanpa melanggar hak-hak hukum murid. Dengan demikian, keseimbangan antara penegakan disiplin dan perlindungan hak privasi murid dapat terjaga dengan baik.