Konten dari Pengguna

Kontroversi RUU Penyiaran dalam Perspektif Industri Media Digital

Irnanda Dwi syahputra
Mahasiswa Universitas Medan Area jurusan Ilmu Komunikasi
21 Juli 2024 15:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irnanda Dwi syahputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Ilustrasi Media Digital (Sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Ilustrasi Media Digital (Sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
RUU Penyiaran yang sedang dibahas di parlemen menuai banyak kontroversi, terutama dalam konteks perkembangan pesat industri media digital. Undang-undang ini dirancang untuk mengatur penyiaran, tetapi beberapa aspeknya memunculkan kekhawatiran dari pelaku industri dan masyarakat. Berikut adalah opini mengenai kontroversi RUU Penyiaran, serta implikasinya bagi industri media digital, termasuk layanan OTT (Over-the-Top) dan OGC (Online Generated Content).
ADVERTISEMENT
Kekakuan dalam Menghadapi Dinamika Media Digital
Media digital telah mengalami perkembangan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Fleksibilitas yang ditawarkan oleh platform digital dalam hal produksi dan distribusi konten memungkinkan terciptanya berbagai inovasi. Menurut laporan dari We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta orang pada Januari 2023, dengan pengguna media sosial aktif mencapai 170 juta orang. Angka ini menunjukkan bahwa media digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Namun, RUU Penyiaran dianggap terlalu kaku dalam mengakomodasi perkembangan ini. Regulasi yang ketat dan prosedur lisensi yang rumit dapat membebani pelaku usaha kecil dan independen yang ingin berkontribusi dalam industri ini. Hal ini berpotensi mengurangi keberagaman konten yang tersedia untuk masyarakat. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 68% pengguna internet di Indonesia mengakses konten video secara online. Ini mengindikasikan pentingnya regulasi yang fleksibel untuk mendukung pertumbuhan konten digital, termasuk layanan OTT yang menawarkan konten video langsung melalui internet tanpa memerlukan infrastruktur penyiaran tradisional.
ADVERTISEMENT
Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi
Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama dalam masyarakat demokratis. Media digital seperti YouTube, podcast, dan platform media sosial telah membuka ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan berbagi informasi. Namun, RUU Penyiaran dapat menjadi ancaman serius bagi kebebasan ini. Regulasi yang terlalu ketat dapat menyebabkan sensor yang berlebihan, mengurangi ruang untuk diskusi yang sehat dan terbuka.
Data dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks kebebasan internet di Indonesia mengalami penurunan dari skor 49 pada 2021 menjadi 47 pada 2022. Penerapan RUU Penyiaran yang ketat berpotensi memperburuk situasi ini, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi yang beragam dan mengurangi kebebasan pers. Ini adalah isu yang sangat krusial, mengingat media digital telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk mengakses berbagai jenis informasi. OGC, yang dihasilkan oleh pengguna biasa, sering kali menjadi sumber informasi alternatif yang berharga dan bervariasi, namun dapat terancam oleh regulasi yang terlalu ketat.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Karakteristik Media Tradisional dan Digital
Media tradisional seperti televisi dan radio memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan media digital. Aturan yang diterapkan pada media tradisional tidak selalu relevan jika diterapkan pada media digital. Misalnya, pengaturan waktu tayang dan pengendalian konten yang ketat pada televisi tidak cocok diterapkan pada platform digital yang bersifat on-demand.
Menurut data dari Nielsen, konsumsi media digital di Indonesia terus meningkat, dengan penetrasi internet mencapai 73,7% pada 2022. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin bergantung pada media digital untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih adaptif dan fleksibel yang sesuai dengan karakteristik media digital. Pengaturan yang sama untuk media tradisional dan digital bisa jadi tidak efektif dan malah menghambat inovasi. Layanan OTT, yang mengandalkan internet untuk distribusi konten, menuntut regulasi yang berbeda dibandingkan dengan media tradisional.
ADVERTISEMENT
Perlindungan Konsumen dan Anak-anak
Di sisi lain, ada argumen yang mendukung RUU Penyiaran terkait perlindungan konsumen dan anak-anak dari konten yang tidak pantas. Dalam era digital, di mana informasi dapat diakses dengan sangat mudah, regulasi yang jelas dan tegas dapat membantu memastikan bahwa konten yang disebarkan tetap dalam batas-batas etika dan moral yang diterima masyarakat.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa 33% anak di Indonesia terpapar konten negatif di internet. Oleh karena itu, perlindungan terhadap konsumen dan anak-anak merupakan aspek penting yang perlu diatur dengan baik dalam RUU Penyiaran. Namun, perlu diingat bahwa regulasi ini harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menghambat kebebasan berekspresi dan kreativitas, termasuk dalam produksi OGC yang sering kali merupakan konten yang sangat kreatif dan inovatif.
ADVERTISEMENT
RUU Penyiaran perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terkait, termasuk pelaku industri dan masyarakat. Penyesuaian aturan yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan teknologi akan lebih mendukung pertumbuhan industri media digital tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan berekspresi dan perlindungan konsumen. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai keseimbangan yang optimal dalam regulasi penyiaran di era digital ini.