Konten dari Pengguna

Referendum dan Masa Depan Pribumi Aborigin di Australia

Irsal Ambia
Praktisi Hukum Media dan Penyiaran.
11 Oktober 2023 10:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsal Ambia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pemilu di Australia. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pemilu di Australia. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Keramaian Pemilu di Indonesia tahun depan telah mulai dirasakan masyarakat. Beragam diskusi dan topik pembicaraan politik selalu menjadi headline utama media menjelang Pemilu. Suasana keriuhan politik yang sama juga dirasakan negara tetangga Australia, bukan ihwal Pemilu, melainkan tema tentang Referendum 2023 yang menjadi topik hangat dan ramai dibicarakan di berbagai platform media.
ADVERTISEMENT
Diskusi politik disertai kampanye vote “yes” dan vote “No” mulai membanjiri ruang publik. Spanduk dan banner di jalan juga mulai dipasang oleh pendukung dari kedua belah kubu “yes” dan “no”.
Pemerintah Australia akan menggelar referendum ke 45 pada bulan Oktober ini. Referendum ini diadakan untuk mengubah konstitusi atau Undang Undang Dasar (UUD) Negara Federal Australia. Amandemen atas konstitusi di Australia mensyaratkan persetujuan rakyat secara langsung yang diadakan melalui referendum. Referendum ini diadakan setelah Australia terakhir menggelar kegiatan yang sama pada tahun 1999.
Pada saat itu referendum diajukan untuk menanyakan persetujuan rakyat tentang rencana pendirian negara Republik Australia, isu ini menimbulkan perdebatan tajam dan berakhir dengan hasil referendum yang menyatakan penolakan mayoritas masyarakat atas usul perubahan bentuk negara menjadi republik.
Suasana pemilu di Australia. Foto: AFP
Referendum yang diadakan pada bulan in terkait dengan isu yang paling sensitif dalam sejarah Australia, yaitu tentang Indigenous People atau penduduk asli pribumi tanah Australia kaum Aborigin dan penduduk kepulauan Selat Torres.
ADVERTISEMENT
Isu kaum pribumi Aborigin adalah isu yang tak kunjung usai dibahas dalam sejarah kolonisasi pendatang kulit putih asal Inggris saat pertama kali menginjakkan kakinya di tanah yang saat ini bernama Australia. Sejarah kelam perampasan, penindasan dan berbagai kekerasan sosial yang dilakukan pendatang atas penduduk asli sejak 200 tahun terakhir menimbulkan luka mendalam dan tak berkesudahan bagi pribumi.
Ini adalah referendum kedua yang terkait dengan isu penduduk pribumi setelah yang pertama digelar tahun 1967. Proposal referendum tahun ini diajukan oleh pemerintah Australia untuk meminta persetujuan pembentukan badan khusus yang akan dimuat di konstitusi bernama Aboriginal and Torres Strait Islander Voice atau “The Voice”.
Badan ini adalah semacam institusi formal yang merepresentasikan suara kaum pribumi Aborigin dalam kebijakan pemerintah yang terkait dengan kepentingan pribumi Aborigin. Pertanyaan ini harus dijawab setuju atau tidak setuju oleh seluruh masyarakat baik yang berasal dari Aborigin atau bukan.
Pemimpin Partai Buruh Australia, Anthony Albanese, memberikan keterangan setelah Perdana Menteri petahana dan pemimpin Partai Liberal Scott Morrison mengakui kekalahan dalam pemilihan umum negara itu, di Sydney, Australia, Sabtu (21/5/2022). Foto: Jaimi Joy/REUTERS
Pemerintah dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa referendum ini adalah momentum untuk menjaga aspirasi pribumi Aborigin melalui sebuah badan khusus sebagai perwakilan suara mereka dalam parlemen. Badan ini akan memperkuat posisi pribumi dalam setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri Anthony Albanese menyampaikan bahwa ini adalah kesempatan untuk menyatukan seluruh penduduk Australia dalam kondisi setara dan seimbang, di mana semua suara dari berbagai golongan masyarakat harus terdengar di Parlemen.
Badan ini juga merupakan badan konsultasi bagi pemerintah sebelum membuat kebijakan terkait pribumi. Suara penduduk pribumi harus diwakili secara kuat di Parlemen sehingga kebijakan pemerintah akan sesuai dengan kepentingan pribumi.
Rencana ini ditanggapi pro dan kontra oleh masyarakat Australia. Pesimistis muncul dari berbagai kalangan termasuk masyarakat pribumi sendiri. Sejarah kolonisasi atas penduduk pribumi terjadi dalam kurun waktu panjang secara menyedihkan.
Ilustrasi Suku Aborigin di Australia. Foto: evantravels/Shutterstock
Berawal dari sejarah pemindahan sejumlah tahanan dari Inggris dan kemudian berlanjut dengan upaya membangun pemukiman secara massif telah meminggirkan posisi pribumi. Perampasan tanah, intimidasi hingga kekerasan rasial diterapkan oleh pemerintah terhadap penduduk pribumi.
ADVERTISEMENT
Stolen generation misalnya, di mana anak-anak dari penduduk pribumi dipisahkan dari keluarganya untuk tinggal pada keluarga kulit putih atau di tempatkan di asrama untuk dididik ala barat sebagai upaya “memutihkan” mereka. Kebijakan ini berlangsung sejak awal tahun 1900-an dan berakhir di tahun 1970. Sejarah ini membangun memori kelam atas perlakuan yang mereka terima. Bagi pribumi penduduk kulit putih dan pendatang adalah penjajah di tanah mereka.
Berbagai cara untuk menghapus luka itu sebenarnya telah dilakukan Pemerintah. Kebijakan seperti pengakuan atau rekognisi, permintaan maaf atas kekejaman masa lalu dan upaya rekonsiliasi telah dilakukan, tapi semua itu belum banyak mengubah kondisi pribumi yang hidup dengan kondisi kesejahteraan dan kesehatan yang belum baik.
ADVERTISEMENT
Angka harapan hidup masih di bawah penduduk non pribumi, tingkat kehadiran sekolah anak yang masih rendah, masalah ekonomi dan kesempatan kerja hingga angka narapidana dari kaum pribumi yang sepuluh kali lipat dari non pribumi. Bagi kaum pribumi, kehidupan sosial dan kultural mereka telah dirusak dengan kebijakan yang salah secara konsisten.
Suku Aborigin Australia. Foto: Shutter Stock
Atas fakta sejarah itu memang tidak mudah memahami masalah dalam hubungan pribumi dan non pribumi di Australia. Kecurigaan atas proposal refendum ini juga disuarakan banyak pihak. Beberapa di antaranya skeptis dengan masa depan badan khusus “The Voice”, alih-alih akan membawa perubahan bagi kehidupan pribumi, justru ini dipandang hanya sebagai upaya untuk menempatkan badan ini sebagai legitimasi formal atas kebijakan pemerintah ke depan.
ADVERTISEMENT
Cultural Autonomy menjadi penting bagi kaum pribumi untuk menjaga keragaman budaya yang ada. Kaum pribumi Aborigin ini sendiri terdiri atas berbagai sub kebudayaan dengan Bahasa dan kultur yang berbeda antar daerah, sehingga ketika badan ini secara formal dianggap mewakili kepentingan politik seluruh pribumi maka sama dengan mengecilkan peran komunitas kebudayaan yang beragam dengan berbagai kepentingan yang berbeda pula.
Dari beberapa survei yang digelar di antaranya oleh The Sydney Morning Herald menunjukkan 56 persen masyarakat memilih “No” dan hanya 34 persen yang mendukung “Yes”. Di antara alasan yang menolak proposal ini adalah mereka percaya bahwa referendum ini hanya akan semakin membuat pembelahan rasial antara pribumi dan non pribumi.
Mereka menganggap bahwa sudah saatnya kebijakan berbau rasial dihentikan dan mendorong rekonsiliasi menyeluruh atas semua golongan di Australia.
ADVERTISEMENT
Referendum yang akan diadakan pada 14 Oktober ini akan sangat berpengaruh pada harapan masa depan penduduk pribumi. Sebanyak 17 juta suara pemilih akan menentukan nasib masa depan penduduk pribumi yang hanya berjumlah 3,8 persen dari seluruh populasi Australia saat ini.
Saatnya masa depan pribumi Aborigin dan Kepulauan Selat Torres yang telah mendiami tanah Australia sejak 65.000 tahun lalu didorong dalam posisi yang terhormat sebagai first nation people Australia.