Distribusi Aset sebagai Pendulum Kesejahteraan Petani

Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA)
Konten dari Pengguna
25 Desember 2023 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petani gunakan cangkul. Foto: Dian Muliana/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani gunakan cangkul. Foto: Dian Muliana/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tujuan Indonesia merdeka. Dalam perwujudannya, kemiskinan masih menjadi “hantu”. Sebab utama kemiskinan rakyat Indonesia adalah ketimpangan kepemilikan asset berupa sumber-sumber agraria terutama tanah.
ADVERTISEMENT
Struktur kepemilikan tanah yang jomplang ditunjukkan dengan meningkatnya angka gini lahan dari waktu ke waktu, mencapai 0,68. Terjadi ketimpangan yang lebar karena terkonsentrasi pada sebagian kecil orang. Ada yang hanya menguasai 0,5 hektare bahkan sama sekali ada rakyat yang tidak memiliki tanah. Sementara ada 1 persen kelompok bisnis yang mengelola dan menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Hal tersebut makin diperparah dengan sulitnya akses rakyat kecil seperti petani pada permodalan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, terbatasnya akses informasi teknologi dan pasar.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023 bahwa 30 persen penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian dan umumnya ada di perdesaan yang didominasi para petani kecil dan buruh tani sehingga kemiskinan menjadi tak terhindarkan. Masih laporan BPS, terdapat 25,90 juta (9,36 persen) penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Dengan penduduk miskin perkotaan sebesar 7,29 persen dan perdesaan sebesar 12,22 persen.
ADVERTISEMENT
Secara legal formal, pemerintah sejak dahulu hingga kini menyadari ketimpangan kepemilikan aset dan ingin merombak struktur penguasaan dan menatanya kembali secara adil. Pasal 33 UUD 1945, UU No 5 Tahun 1960 (UUPA), TAP MPR RI No IX/MPR/2001 (PAPSDA), UU Nomor 17 Tahun 2007 (RPJPN 2005-2025) dan Peraturan Presiden No 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria dan berbagai peraturan lainnya yang relevan. Sayangnya dalam operasionalisasinya antara produk hukum dan kegiatan di lapangan terjadi gap.
Di masa pemerintahan Joko Widodo, agenda reforma agraria dilakukan melalui kebijakan distribusi 9 juta hektare (TORA) denagn rincian legalisasi aset 4,5 juta hektare dan redistribusi aset 4,5 juta hektare dan skema Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7 juta hektare. Namun demikian, kebijakan ini belum optimal, masih banyak sengkarut. Sebaliknya konflik agraria justru makin masif sejak tahun 2015-2022. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA (September 2023) telah terjadi 2.710 konflik agraria dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dengan korban terdampak 1,7 juta keluarga. KPA juga menyebut ada 1.615 rakyat ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya.
ADVERTISEMENT
Akses reform (reforma akses) mengutip Bernhard Limbong (2012) adalah penyediaan sarana bagi masyarakat (penerima redistribusi tanah) untuk mengembangkan tanah misalnya keperluan pertanian sebagai sumber kehidupan petani, yang meliputi partisipasi ekonomi, politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, serta peningkatan kapasitas dan kemampuan juga masih lemah.
Akses reform belum menjadi agenda mendesak dari kementerian/lembaga negara dan pemerintah daerah. Padahal ini menjadi jantung untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Artinya persoalan kemiskinan tidak akan selesai hanya dengan diberikan lahan. Akses reform sebagai pengaturan kelembagaan dan manajemen yang baik bagi subjek reforma agraria untuk mengembangkan produktivitas asetnya dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga (ekonomi inklusif).
Reforma agraria dalam cakupan integrasi asset-akses sebagai jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh negara lain, seperti India. Studi yang dilakukan Besley dan Burgess, 2000 (dalam Budimanta dkk, 2019) bahwa kebijakan reformasi lahan di India dilihat sebagai bentuk kebijakan redistributif. Kebijakan reformasi lahan terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di India menunjukkan ada hubungan yang linier antara tanah yang dikuasai rakyat dengan tingkat kesejahteraannya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesulitan perekonomian nasional akibat Covid-19, perubahan iklim, dan gejolak geopolitik global terutama perang Rusia-Ukraina, akses reform menjadi penting untuk dibuka seluas-luasnya agar ekonomi Indonesia tetap tumbuh berkualitas.
Pemerintah jelas adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk ini, kesadaran pemerintah atas kebijakannya akan sangat menentukan apakah mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau sebaliknya. Untuk itu, diperlukan pengawasan, dengan menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan kebijakan serta tindakan yang mampu mendukung pencapaian hasil (output dan outcome reforma agraria secara utuh). Ada urgensi penataan dan pemanfaatan tanah yang lebih produktif, agar petani semakin dekat dengan sumber-sumber ekonomi. Ketika hal ini terjadi, maka kesejahteraan sosial dapat terwujud.
ADVERTISEMENT
Dengan tanggung jawab dan pengawasan maka reforma akses akan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada petani guna mengelola tanahnya atas dukungan dari pemerintah, berupa teknologi pengolahan tanah, modal berupa KUR, asuransi pertanian yang fleksibel, kepastian pemasaran hasil, keterampilan, dukungan kelembagaan terutama poktan sampai pada pendampingan manajemen serta fasilitator profesional.
Penulis menggarisbawahi pengelolaan tanah, modal dan pemasaran sebagai tiga faktor krusial dalam mendukung peningkatan kesejahteraan petani penerima distribusi tanah. Pada saat menggarap tanah dibutuhkan keahlian dan kecakapan para petani, agar mereka dapat memperoleh hasil produksi yang optimal. Tetapi untuk dapat menggarap tanahnya para petani membutuhkan modal, karena ia harus membeli bibit, pupuk, obat anti hama, dan lain-lain. Ketika para petani telah memiliki modal dan berhasil menggarap tanahnya dengan baik, yang ditandai dengan produktivitas yang tinggi, maka mereka membutuhkan pasar atau bantuan pemasaran bagi produknya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah harus mengambil peran konkret untuk menambal kekurangan pembiayaan subsidi pupuk dan rekrutmen tenaga penyuluh. Dukungan BUMN, swasta dan Perguruan Tinggi termasuk civil society sangat dibutuhkan untuk terus mendorong dan terlibat dalam pemberdayaan baik sebagai pendamping ataupun peran-peran lain seperti sosialisasi dan optimalisasi program pemberdayaan dari pemerintah.