Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Konvergensi Lemah, Angka Stunting Cukup Tinggi
25 Februari 2025 11:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tingkat prevalensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi. Sampai dengan Desember 2023, persentase jumlah balita yang mengalami stunting mencapai 21,5. Meski tren dalam 5 tahun terakhir menunjukan penurunan dengan rata-rata 1,85% per tahunnya, angka tersebut masih cukup tinggi dibandingkan standar World Health Organization (WHO) dibawah 20%.
ADVERTISEMENT
Standar WHO menjelaskan bahwa suatu negara menyandang prevalensi stunting kronis bila jumlahnya lebih dari 20%.
Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan prevalensi di bawah 20%, ditargetkan tahun 2024 sebesar 14% (target RPJMN). Namun berkaca pada pencapaian 5 tahun terakhir yang hanya turun 9,3% sangat kecil terget itu terealisasi.
Patut dinantikan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI) tahun 2024 yang sedang proses finalisasi. Apapun hasilnya, target Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu bagaimana stunting di Indonesia bisa diciutkan menjadi tantangan bangsa ini.
Perbandingan & Fokus Daerah Intervensi
Mengutip Asian Development Bank (ADB) tahun 2020 yang melaporkan terdapat 31,8% anak di Indonesia mengalami stunting. Fakta ini menjadikan Indonesia tertinggi ke dua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. Sementara laporan World Bank, Indonesia berada posisi empat setelah Burundi (50,9%), Eritrea (49,1%), dan Timor Leste (48,8%). Data ini jelas berbeda dengan publikasi Kementrian Kesehatan RI tentang hasil SSGI sebagaimana dituliskan pada bagian awal tulisan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus bekerja keras menekan stunting terutama di daerah yang memiliki prevalensi tinggi. Mengacu pada hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 angka prevalensi stunting tertinggi secara berturut adalah Papua Tengah (39,4%), Nusa Tenggara Timur (37,9%), dan Papua Pegunungan (37,3%).
Survei tersebut juga merinci beberapa penyebab stunting, diantaranya: risiko ibu hamil mengalami kurang energi kronis karena kekurangan darah atau anemia, biasa disebut periode prenatal; inisiasi menyusui dini yang terlambat mempengaruhi keberlanjutan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif (periode kelahiran); dan pemberian ASI non eksklusif memiliki risiko lebih besar mengalami stunting atau dikebal dengan periode postnatal.
Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan konsumsi makanan bergizi sebelum dan pada masa kehamilan membuat masalah makin runyam. Dua dari tiga ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai, berakibat satu dari tiga ibu hamil anemia. Betul bahwa terjadi pebaikan gizi tetapi ini tidak merata. Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan pemerataan antar daerah, tidak terjadi gap antara Jawa dan Indonesia Timur terutama Papua, dan Nusa Tenggara.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya akses ke air bersih dan sanitasi. Bagi keluarga pra sejahtera atau daerah-daerah yang sumber airnya terbatas, jika mau mendapatkan air bersih harus mengeluarkan biaya tambahan. Satu dari lima rumah tangga masih BAB diruang terbuka karena tidak mampu membuat MCK.
Dilevel pengambil kebijakan, tantangannya adalah belum menjadikan stunting sebagai masalah nasional yang sifatnya darurat; ketersediaan, kualitas dan pemanfaatan data untuk menyusun kebijakan belum digunakan; penyelenggaraan intervensi gizi spesifik - sensitif masih belum terpadu; fokus sumber daya dan sumber dana belum maksimal; dan keterbatasan kapasitas penyelenggara program advokasi dan sosialisasi.
Bahaya Jangka Panjang
Stunting jelas berdampak pada gangguan pertumbuhan (berat lahir, kecil, pendek, dan kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan gangguan metabolik pada saat dewasa berupa risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan sebagainya. Dan secara luas berdampak pada ketersediaan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
ADVERTISEMENT
Laporan World Bank (2020) menyebut Human Capital Index (HCI) sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas produktivitas optimum penduduk di masa depan, antara lain sangat ditentukan oleh pertumbuhan anak hingga usia lima tahun. Dalam laporan itu, nilai HCI Indonesia sebesar 0,54. Angka ini menggambarkan bahwa bayi usia lima tahun (balita) di Indonesia hanya akan mencapai 54 persen dari potensi maksimalnya saat dewasa. Jika permasalahan ini gagal diatasi, harapan bonus demografi tahun 2045 atau Indonesia Emas yang kita impikan tidak akan tercapai dan termasuk tujuan SDGs.
Daya saing SDM Indonesia akan tertinggal, pada gilirannya memunculkan pengangguran dan kemiskinan. Berdasarkan data Global Competitiveness (2019) daya saing Indonesia berada diperingkat 50 dari 141 negara, masih di bawah Malaysia Thailand dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Secara ekonomi, bayi yang tumbuh dengan stunting berpenghasilan 20% lebih rendah dari anak yang sehat. Bahkan kerugian negara akibat stunting diperkirakan sekitar Rp 300 triliun/tahun. Stunting pun dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara sebesar 3%.
Pilar Startegi
Persoalan stunting harus dipandang sebagai masalah luar biasa. Harus dilihat sebagai ancaman ketahanan nasional dan daya saing bangsa. Itu sebabnya harus ada terobosan radikal denga prinsip Evidence Based Policy.
Dengan demikian penguatan konvergensi dalam arti intervensi dilakukan secara terintegrasi dan kolektif dalam koordinasi yang kuat dan demokratis. Sinkronisasi antar kementerian/lembaga, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan lainnya. Analisis dan pendekatannya harus komprehensif baik pada tahap pencegahan maupun penanganan.
Dalam rangka inilah, program intervensi dimulai dari perbaikan perencanaan dan fokus penganggaran; peningkatan kualitas pelaksanaan; peningkatan kualitas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan peningkatan kapasitas SDM pelaksana.
ADVERTISEMENT
Demikian sejalan dengan amanat Perpres No 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, pasal 6 ayat (2) disebutkan lima pilar strategi nasional percepatan penurunan stunting: peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa; peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah desa; peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat; penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Pilar strategi tersebut kemudian diterjemahkan kembali oleh pemerintah daerah, dimulai dengan pembuatan peraturan daerah tentang Percepatan Pencegahan Stunting. Baru kemudian memastikan program yang dirancang tepat guna dan sasaran. Artinya diperlukan keterhubungan antar program, sehingga bisa menyasar kelompok terdampak dan rentan.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, sinergitas multistakeholder menjadi keniscayaan untuk pengentasan stunting sehingga anak-anak Indonesia tumbuh menjadi anak yang sehat dan berkualitas sesuai cita-cita Indonesia Layak Anak Tahun 2030 yaitu menjadi anak cerdas, kreatif, peduli dan memiliki sikap kepemimpinan.
Peran Desa
Pemerintah Desa diberi ruang untuk memanfaatkan dana Desa dalam upaya percepatan penuruna stunting. Pasal 11 ayat (2) Perpes 72/2021 menjelaskan dengan gamblang bahwa pemerintah desa harus memprioritaskan penggunaan dana desa untuk mendukung penyelenggaraan percepatan penurunan stunting. Salah satu bentuk intervensinya adalah pemberian makanan bergizi seimbang bagi keluarga resiko stunting dengan optimalisasi bahan pangan lokal dalam kegiatan Dapur Sehat Atasi Stunting di Kampung Keluarga Berkualitas (DASHAT).
Diperinci kembali dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal No 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional atas Fokus Penggunaan Dana Desa Tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Pasal 2 ayat (1) Fokus penggunaan dana desa diutamakan penggunaannya untuk mendukung (huruf c) yaitu peningkatan promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala Desa termasuk stunting yang dilaksanakan melalui (pasal 6 huruf a) promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan dalam rangka pencegahan dan penurunan stunting di Desa.
Dalam optimalisasi bahan pangan lokal sebagaimana dimaksudkan kegiatan DASHAT mendapatkan ruang fiskal yang cukup luas dalam Permendesa 2/2024 yang dikatrol paling rendah sebesar 20% (pasal 7 ayat 4). Besaran persentase ini disesuaikan dengan karateristik dan potensi desa dan melibatkan BUM Desa, BUM Desa bersama atau kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa.
Untuk memperlancar penggunaan dana desa untuk pangan, Menteri Desa Yandi Susanto juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal No 3 Tahun 2025 tentang Panduan Penggunaan Dana Desa untuk Ketahanan Pangan dalam Mendukung Swasembada Pangan yang substansi pokoknya adalah memberi panduan penggunaan dana desa untuk sektor pangan.
ADVERTISEMENT
Patut dinantikan hasilnya, yang pasti harapan kita sebagai bangsa, tidak ada lagi keluarga di Indonesia yang tidak mampu mengkases pangan yang bergizi.