Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Manfaat dan Tantangan Pembangunan Rendah Karbon
10 Januari 2024 10:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia tengah mendorong Pembangunan Rendah Karbon (PRK) atau Low Carbon Development (LCD) sebagai upaya mengintegrasikan kebijakan mitigasi perubahan iklim ke dalam program pembangunan nasional. PRK ini bukan saja strategi mengurangi emisi tetapi juga untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hijau dan mengurangi kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Mengutip Maxensius Tri Sambodo et al (2022) disebutkan sebuah studi bahwa pengurangan emisi sebesar 43% (skenario tinggi LCD) pada tahun 2030 memungkinkan perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6% per tahun sekaligus mencegah hilangnya 16 juta ha hutan, meningkatkan kualitas udara, dan mengurangi angka kematian hingga 40.000 per tahun sampai tahun 2045.
Kebijakan PRK telah diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan saat ini sedang memasuki fase implementasi dengan 3 program prioritas yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta PRK.
Hal itu diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 71 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak di pasal 13 ayat (3) huruf a strategi penurunan emisi karbon sebagaimana dijelaskan dalam aturan penjelasan bahwa Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan Emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030 dan menuju Net Zero Emission paling lambat 2060.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama diatur dalam Perpres No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional pada pasal 2 ayat (3) huruf a bahwa target Nationally Determined Contribution (NDC) menetapkan kebijakan dan langkah serta implementasi kegiatan sesuai komitmen Pemerintah berupa pengurangan Emisi GRK 29% sampai dengan 41% pada tahun 2030. Pasal 3 ayat (2) menetapkan target penurunan Emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan ayat (3) target penurunan Emisi GRK sampai dengan 41% apabila dilakukan dengan kerja sama internasional.
Di Indonesia sendiri, pendanaan dari APBN, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), APBD masih rendah dan progres penggunaan anggaran yang adapun terkait mitigasi dan adaptasi cukup timpang sehingga kerangka kerja, modalitas, prosedur dan pedoman implementasi yang telah ditetapkan dalam Kesepakatan Paris 2016 tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya sejauh mana instrumen enabling environment mendukung aksi adaptasi perubahan iklim. Apakah strategi adaptasi dibangun dari mekanisme pasar mengingat adaptasi itu awalnya bakal didanai melalui instrumen APBN dan green climate fund justru faktanya seret. Sedangkan pendanaan internasional misalnya dari negara-negara maju yang selama ini merekalah yang menikmati ekonomi global juga tidak menunjukkan komitmen atas kesepakatan setidaknya hasil COP27.
Masalah lain belum ada sebuah sistem yang menjawab koordinasi, akses informasi, dan knowledge management antar instansi/lembaga dari pusat sampai daerah. Bagaimana data dan informasi aktor negara dan swasta bisa diakses sehingga memudahkan untuk mengukur capaian aksi mitigasi dan adaptasi yang telah dilakukan, dan berbagai masalah lainnya.
Bank Dunia menyebut dalam 25 tahun terakhir ekonomi Indonesia bertumbuh positif tetapi pertumbuhan emisi karbon setiap tahunnya mencapai 1%. Artinya pertumbuhan ekonomi kita berbasis eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan Emisi GRK. Sudah saatnya ekonomi Indonesia bergeser ke pertumbuhan ekonomi dan investasi hijau, suatu kegiatan ekonomi rendah karbon yang dijalankan dengan terukur dan kolaboratif. Dekarbonisasi ekonomi dibutuhkan peran aktif dari seluruh pelaku industri untuk dapat mengadopsi teknologi rendah karbon dalam proses produksi mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara di tingkat konsumen, gaya hidup hijau menjadi tantangan terbesar. Indonesia juga perlu mengurangi ekspansi pertanian dan perkebunan—meningkatkan intensifikasi untuk mengurangi pembukaan lahan baru, mitigasi deforestasi dan degradasi hutan.
Terkhusus penggunaan energi batu bara, mau tidak mau harus diakhiri dengan timeline yang jelas. Energi baru dan energi terbarukan (EBET) adalah jawaban dengan dampaknya untuk pengurangan emisi GRK sebesar 23,3 juta ton CO2e, juga memiliki potensi besar untuk menyeimbangkan kembali tujuan lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Transisi ke EBET bukan tanpa hambatan. Dari sisi sosial, misalnya kurangnya kesadaran warga, terbatasnya informasi, takut kehilangan pendapatan, dll. Sementara hambatan ekonomi seperti pendanaan, persaingan dengan bahan bakar fosil, biaya modal awal yang tinggi, dll. Kemudian dari aspek teknologi seperti keterbatasan infrastruktur teknologi, biaya teknologi yang mahal, dll.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kelembagaan berkaitan dengan lemahnya tata kelola dan/atau kualitas institusi padahal lembaga ini penting untuk meningkatkan pembangunan kapasitas, kemitraan Research and Development (R&D), dan koordinasi pembiayaan. Kompleksitas administrasi dan birokrasi, serta kurangnya standar dan sertifikasi, dianggap sebagai hambatan regulasi terhadap penerapan EBET.