Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemanfaatan Dana Desa untuk Kemandirian Pangan
21 Mei 2024 11:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa-desa di Indonesia dominan bertipologi pertanian. Mengutip Sofyan Sjaf (2019:292) dari 74.754 Desa dan 8.430 Kelurahan, sebanyak 73,14% adalah Desa bertipologi pertanian dengan rincian status Desa tertinggal (29,13%), Desa berkembang (40,66%), dan sisanya Desa mandiri (3,975).
ADVERTISEMENT
Sialnya potensi ini belum dikelola dengan baik. Kemandirian pangan di Desa masih rendah. Tercermin dari skor Global Food Sequrity Index (GFSI) tahun 2022 yakni 60,2, jauh di bawah rata-rata GFSI dunia di kisaran 62,2 bahkan di bawah rata-rata GFSI Asia Pasifik sebesar 63,4. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 113 negara di dunia dan ke 10 dari 23 negara di Asia Pasifik.
Ketidakmandirian pangan adalah ekses dari pengabaian pembangunan Desa dalam rentang waktu yang lama. Tak perlu menyesalinya. Dengan program Desa Mandiri Pangan (DMP) yang telah digulirkan pemerintah, kita berharap ketersediaan pangan mencukupi.
Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 82 Tahun 2022 tentang Pedoman Ketahanan Pangan di Desa disebutkan tujuan ketahanan pangan di Desa: meningkatkan ketersediaan pangan baik dari hasil produksi masyarakat Desa maupun dari lumbung pangan Desa; meningkatkan keterjangkauan pangan bagi warga masyarakat Desa; dan meningkatkan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, higienis, bermutu, serta berbasis pada potensi sumber daya lokal.
ADVERTISEMENT
Darwis dkk (2014) menyebut 5 tujuan dari program ini: meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan; meningkatkan distribusi dan akses pangan masyarakat; meningkatkan mutu dan keamanan pangan Desa; meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat; dan meningkatkan kualitas penanganan masalah pangan.
Setelah bergulir, DMP juga belum optimal. Penyebabnya karena keterbatasan sumber daya manusia: perencanaan program dan adaptasi teknologi; sulitnya mendapat sumber daya kapital; lemahnya kelembagaan (pemerintah desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/LKMD, kelompok tani-gabungan kelompok tani, dll); infrastruktur pertanian terutama irigasi; akses pada pupuk, dan sebagainya.
Ini masalah klasik yang tak kunjung dibenahi dengan tuntas, padahal Desa merupakan arena utama produksi pangan. Lambannya perbaikan atas ragam dimensi tersebut bukan saja menghasilkan ketidakmandirian pangan di level Desa, tetapi menjalar ke tingkat nasional. Petani menjadi manusia yang selalu kalah. Petani takluk! Kemiskinan menjadi image petani dan nahasnya lagi mereka kesulitan mendapatkan pangan. Produsen yang melarat di rumahnya sendiri. Dalam spectrum lebih luas, masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah sangat rentan dengan kelaparan. Padahal hak atas pangan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai manifestasi demokrasi pangan. Agar demokrasi pangan dapat mewujudkan tujuannya, maka perlu menciptakan alternatif sebagai ruang transformasi, mengupayakan inklusi bagi warga kurang mampu dalam tata kelola sistem pangan.
ADVERTISEMENT
Ketika terjadi kelaparan atau krisis pangan akut, salah jika kita berpikir, seperti yang dikemukakan Amartya Sen (1981) dalam bukunya “Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation” bahwa fenomena kelaparan atau krisis pangan terjadi akibat ketidakseimbangan mekanis antara produksi pangan dan jumlah penduduk.
Fakta ini bahkan bisa terjadi bersamaan dengan pangan yang berlimpah namun individu dan keluarga kehilangan daya beli untuk membeli pangan. Dengan kata lain, kebebasan mendasar yang diperbolehkan oleh hak tersebut untuk memiliki pangan dalam jumlah yang cukup, baik karena diperoleh dengan berproduksi atau karena diperoleh dengan membeli di pasar, telah hilang.
Pendalaman UU Desa
Tak bisa disanggah bahwa keberhasilan Desa-Desa berubah karena perubahan politik pembangunan Desa. Sejak lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan Desa segera menjadi kesadaran baru atas kemandekan yang dialami Desa sekian puluh tahun. UU ini memberi kewenangan lokal Desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul (rekognisi). Desa diberi ruang penuh—kewenangan total bagi Desa untuk memutuskan dan menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan berskala Desa. Bahkan keputusan kolektif warga dalam forum Musyawarah Desa (MusDes) adalah mutlak yang bahkan pemerintahan level di atas Desa tidak dibenarkan membatalkan keputusan itu. Dalam bahasa ekonomi dan politik disebut desentralisasi Desa.
ADVERTISEMENT
Agar kewenangan ini menjadi manfaat, Desa membutuhakn sumber daya (kapital) membiayai pembangunannya. Sebagai amanat UU No 6/2014, pemerintah memiliki instrumen “dana transfer” ke Desa (disebut Dana Desa/DD).
10 tahun DD bergulir ada kemajuan yang baik dan progresif. Namun bukan tanpa masalah. Catatan-catatan kritis untuk perbaikan terus bermunculan dengan titik fokus terbesar pada dimensi non legal formal, lebih pada esensi UU Desa yakni pendalaman pembangunan desa, bagaimana spirit dan tujuan UU ini terbumikan—konkret.
Pada 5 tahun pertama (2014-2019) DD lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, dan lain-lain, dalam 3 tahun terakhir prioritas penggunaan DD mengalami perluasan. Sejak 2022 melalui Peraturan Presiden No 104 Tahun 2021 di pasal 5 angka (4) huruf b disebutkan penggunaan dana Desa untuk program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%.
ADVERTISEMENT
Spirit Perpres di atas sangat relevan dengan tantangan Indonesia, merujuk pada upaya pencapaian SDGs Desa utamanya pada terwujudnya Desa tanpa kemiskinan, Desa tanpa kelaparan, Desa sehat dan sejahtera, infrastruktur dan inovasi Desa sesuai kebutuhan, kemitraan untuk pembangunan Desa, dan kelembagaan Desa dinamis dan budaya Desa adaptif.
Mengutip Ahmad Erani Yustika (2019:6-7) pendalaman program DD mesti bertumpu pada tiga hal besar. Pertama, menggerakkan program sebagai titik tolak kesadaran untuk menegakan perspektif yang utuh akan pembangunan Desa. Kedua, meninggikan pengetahuan bahwa sumber daya ekonomi Desa harus dikuasai dan dikelola warga Desa. Penguasaan sumber daya ekonomi, penguatan organisasi ekonomi, dan advokasi kebijakan ekonomi guna meneguhkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi Desa. Ketiga, memastikan isu tata kelola Desa sebagai khazanah merawat keragaman Desa. Negara tidak perlu berobsesi secara berlebih untuk mengatur Desa, tetapi memperlebar ruang bagi Desa.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai itu semua, mengutip Ahmad Erani Yustika sudah sepatutnya energi Desa digeser. Pertama, infrastuktur tidak salah, sebab bagi Desa tertinggal masih akan menjadi kebutuhan primer. Namun sudah waktunya pula untuk membuka ruang strategis yang dipertukarkan yakni informasi. Diperlukan data persoalan dan potensi Desa sehingga menjadi bahan baku dalam merumuskan dan mengambil keputusan melalui MusDes. Di sini perlunya ekspansi kapabilitas manusia sebagai arena yang mesti dimenangkan.
Kedua, menghubungkan pembangunan Desa dengan agenda besar bangsa yaitu mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Ada banyak program yang bisa disanggah dan peningkatan produksi pangan menjadi agenda urgent agar tercapai kemandirian pangan. Dilaksanakan dengan prinsip-prinsip partisipatif, gotong royong, setara, swadaya, kemandirian, keterpaduan, dan berkelanjutan.
Pendalaman ini akan dinilai berhasil apabila ketersediaan pangan dari hasil produksi masyarakat Desa; ketersediaan pangan dari lumbung pangan Desa; ketersediaan data dan informasi mengenai hasil produksi; dan ketersediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang. Kemudian keterjangkauan pangan di Desa terdiri atas kelancaran distribusi dan pemasaran pangan; dan ketersediaan bantuan pangan bagi masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, maupun dalam keadaan darurat.
ADVERTISEMENT