Konten dari Pengguna

Pengelolaan SDA Hijau

Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA)
30 Desember 2023 17:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Indonesia telah lama mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis pengerukan sumber daya alam (SDA) secara masif. Eksploitasi tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang. Negara hanya mendapatkan pajak dan/atau PNBP yang juga bahkan masih di korupsi. Rakyat kecil hanya mendapat tetesannya. Tak jarang pula, rakyat yang mengkritik-melawan-mempertahankan hak-haknya di intimidasi, bahkan berujung penjara dan kematian.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi SDA tidak saja melahirkan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ekonomi yang makin jomplang, tetapi bencana hidrometereologi yang datang silih berganti. Longsor dan banjir bandang memakan korban jiwa. Belum lagi pencemaran udara dan lingkungan, tanah yang tandus, dan sebagainya. Sungguh tidak adil.
Diperlukan komitmen serius pemerintah bergegas meninggalkan praktik ekonomi yang merusak ini. Berbagai dampak yang ditimbulkannya tidak bisa diteknikalisasi, karena ini masalah struktural.
Mungkinkah kegiatan ekonomi berwawasan lingkungan dan inklusif itu benar-benar bisa dilakukan secara utuh, tidak parsial sebatas. Mengingat eksplorasi mineral dan batu bara makin masif, pengerukan pasar laut, pembukaan hutan, dan berbagai kegiatan ekonomi ekstraktif lain yang terus berlangsung.

Ekonomi Hijau

Perubahan iklim sebagai akibat dari kerusakan lingkungan semakin masif dan disadari oleh negara-negara di dunia bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara mengeksploitasi SDA hanya akan membuat bencana bahkan bumi bisa saja tidak bisa dihuni lagi. Sebagai jawabannya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan yaitu suatu model pembangunan yang berorientasi pada kegiatan ekonomi hijau (green economy/GE).
ADVERTISEMENT
GE menggabungkan faktor sosial dan lingkungan. Diperlukan efisiensi produksi, efisiensi energi, energi terbarukan, material baru, dan teknologi baru. Artinya GE menghemat sumber daya, menciptakan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan, dan inklusif secara sosial.
Inklusif secara sosial bahwa suatu kegiatan ekonomi dapat diakses oleh berbagai kalangan dan berkelanjutan terhadap sumber daya dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karenanya pembangunan ekonomi berbasis GE memegang 5 prinsip dasar yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat; kesetaraan untuk berbagai generasi; memulihkan, memelihara dan berinvestasi dalam kegiatan sumber daya alam; mendukung tingkat konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; serta didukung sistem yang kuat, terintegrasi, dan akuntabel.
Secara faktual, di negeri ini penerapan GE jalan di tempat bahkan paradoks. Pertama, Indonesia masih bergantung pada sumber energi kotor seperti batu bara. Transisi energi yang sedang dikerjakan pemerintah masih terhambat oleh pembiayaan energi baru terbarukan (EBT) yang rendah, konsistensi kebijakan terutama eksplorasi mineral dan batubara yang masih terus berlangsung secara masif, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan studi International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh investasi USD 314,5 miliar selama periode 2018-2030, atau rata-rata sekitar USD 17,4 miliar/tahun. Investasi ini diperlukan untuk mendorong penjualan kendaraan listrik di pasar domestik, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT, serta membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung distribusi EBT sampai konsumen. Temuan IRENA (2022) bahwa hambatan terbesar transisi energi di Indonesia adalah pendanaan dan investasi. Dengan demikian, target pemerintah meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi dari 13% pada 2017 menjadi 23% pada 2025 menjadi lebih sulit. Sumber pembiayaan perlu diperluas dan kapasitas pembiayaan lokal perlu ditingkatkan.
Kedua, komitmen penegakan hukum masih sangat rendah. Publik mungkin masih ingat dengan kejanggalan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo yang melibatkan penggugat PT Kallista Alam (KA), perusahaan yang telah diputus oleh Mahkamah Agung untuk membayar kerugian dan pemulihan akibat pembakaran lahan, melawan KLHK sebagai tergugat. Dengan berbagai kasus lain yang terus terjadi, rasanya sulit dalam waktu dekat, kita melihat hukum bekerja sesuai harapan rakyat kecil. Yang paling hangat, adalah kebijakan pemutihan 2,2 juta ha kebun sawit illegal.
ADVERTISEMENT
Ketiga, literasi masyarakat. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan literasi masyarakat mengenai GE masih minim. Akan menyulitkan pemerintah untuk mengajak masyarakat menggunakan produknya. Lebih dalam, pemerintah sendiri juga belum total dalam menjalankan literasi GE. Contoh terkecil, pemerintah saat mengadakan rapat masih dominan menggunakan bahan plastik, tidak mematikan lampu ruangan kerja saat meninggalkan kantor dan sebagainya.
Jika GE dikerjakan dengan serius, ada banyak peluang. Kementerian PPN/Bappenas, menyebut investasi pada GE akan menciptakan lapangan kerja 7-10 kali lipat lebih banyak dibandingkan investasi konvensional; mengurangi limbah, antara 18% hingga 52% dibandingkan bisnis konvensional; ketahanan pangan lebih stabil karena perubahan iklim dapat dicegah; meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rata-rata 6,1-6,5%/tahun sampai tahun 2050. GE dapat menurunkan intensitas emisi hingga 68% di 2045, penyelamatan emisi GRK hingga 87-96 miliar ton -- selaras dengan target net zero emissions tahun 2060.
ADVERTISEMENT
Diperlukan komitmen pemerintah di semua level tingkatan, dan tongkat komandonya ada pada Presiden. Siapa pun presiden akan datang harus memastikan pengelolaan SDA dijalankan dengan prinsip dasar GE sehingga manfaatnya bukan saja ekonomi, tetapi secara sosial dan lingkungan.