Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Setengah Hati Transisi Energi Fosil
30 Januari 2024 19:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Irvan Mahmud Asia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai terobosan untuk membiayai berbagai program penanganan perubahan iklim (mitigasi, dampak, dan transisi ke energi baru dan energi terbarukan/EBET). Indonesia membutuhkan sekitar US$ 1 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2060.
ADVERTISEMENT
Kemampuan pembiayaan dalam negeri yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), rata-rata hanya Rp 37,9 triliun selama tahun 2020-2022 bahkan di tahun 2023 turun. Mengandalkan alokasi APBN (salah satu pendanaan publik domestik) sangat tidak mungkin. Singkatnya, alokasi APBN begitu kecil dibandingkan kebutuhan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Selain keterbatasan pendanaan, masalah lain yang muncul adalah alokasi anggaran masih belum proporsional. Merujuk aksi mitigasi dan adaptasi NDC, 82% alokasi anggaran misalnya di tahun 2021 digunakan untuk aksi adaptasi.
Sementara berharap dari pendanaan publik internasional juga sama naasnya. Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-28 atau Conference of the Parties (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab menyepakati bahwa dana patungan green climate fund hanya US$ 800 juta, jauh lebih rendah dari nilai yang sudah disepakati pada COP27 di Mesir sebesar US$ 100 miliar.
ADVERTISEMENT
Komitmen perlindungan alam sebagai pencapaian tujuan Paris kembali ditekankan pada COP28, namun sekali lagi kenyataan hanya sebatas narasi saja. Bisa dipastikan pendanaan US$ 85 miliar yang menjadi kesepakatan COP28 hanya ada di atas kertas, terutama berkaca dari rendahnya komitmen negara-negara maju dalam kesepakatan COP27.
Sisi lainnya bahwa emisi karbon dioksida global dari bahan bakar fosil terus meningkat dengan angka kenaikan pada 2023 sebesar 1,1% (lihat laporan tahunan bujet karbon ke-18 dari Global Carbon Project yang di rilis 5 Desember 2023).
Mengutip Pep Canadell et al., 2023 total emisi fosil CO2 Indonesia melesat sebesar 18% pada 2022. Angka ini merupakan yang tertinggi selama 60 tahun terakhir. Cepatnya pertumbuhan sebagian terjadi karena usaha Indonesia memulihkan ekonomi pasca pandemi.
ADVERTISEMENT
Sementara, sebagian lainnya adalah karena pertumbuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru sehingga emisi CO2 dari batu bara naik pesat sebesar 33%. Indonesia bersama Brasil dan Kongo menjadi 3 negara penyumbang emisi CO2 global dari alih fungsi lahan sebesar 55%.
Di tengah seretnya pendanaan iklim, sementara emisi fosil juga terus bertambah karena Indonesia terus mengandalkan energi fosil, terbukti dengan eksplorasi batu bara dan gas alam makin masif disertai dengan berbagai insentif bahkan pemerintah menjadi penjamin atas utang pembangunan PLTU sebesar 35ribu Megawatt (MW) menjadi bukti kuat bahwa keadilan iklim masih jauh dari kebijakan pemerintah Indonesia. Termasuk larangan pembangunan PLTU batubara yang tidak berlaku pada proyek strategis nasional dan kawasan industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Dapat disimpulkan komitmen pemerintah untuk memangkas emisi masih sangat rendah. Suatu fakta yang juga terjadi di negara-negara penghasil minyak bumi yang tergabung dalam OPEC menolak kesepakatan menghentikan pemakaian energi fosil. Dari studi-studi studi ilmiah yang terpublikasikan menunjukkan guna mencegah krisis iklim global maka harus mengurangi penggunaan batu bara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% di tahun 2050.
Indonesia menargetkan 44% bauran EBET pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP dimaksudkan mendorong transisi berkeadilan, untuk masyarakat rentan dan terdampak melalui penutupan PLTU batubara dan mobilisasi pendanaan swasta untuk mendanai dekarbonisasi.
Namun penulis pesimis dengan target ini, mengingat janji pemerintah memensiunkan dini PLTU batubara tidak dilakukan, hanya dua yang dipensiunkan yakni yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon. Selain itu, terjadi kesenjangan harga energi fosil dan energi terbarukan. Selanjutnya pemerintah telah merencanakan menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Belum lagi RUU EBET pemerintah memberikan ruang besar bagi produk turunan energi fosil.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kesepakatan COP28 agar setiap negara meningkatkan kapasitas EBET sebesar 3 kali lipat secara global pada tahun 2030, mempercepat upaya untuk mengurangi penggunaan batubara dan mempercepat teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon sangat potensial (konteks Indonesia) hanya pepesan kosong belaka.
Dengan tersisa waktu 6 tahun ke depan, transisi ke EBET mustahil dicapai terkecuali ada perubahan kebijakan yang radikal dan harmonisasi di level kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah berjalan cepat dan tepat.
Tanpa itu semua, Indonesia akan semakin terdampak. Sekitar 60 juta penduduk yang berada di kawasan pesisir akan kesulitan – tangkapan nelayan akan rendah. Sementara 40 juta petani produksinya akan menurun. Dan berbagai akibat lain seperti bencana hidrometeorologi dan kelangkaan air bersih, kerusakan ekosistem lahan akibat kebakaran hutan dan banjir dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Ke depannya Apa?
Masalah yang sering kita dengar dalam transisi energi fosil adalah pendanaan iklim. Ke depan parah pihak mesti memiliki kesadaran dan komitmen konkret untuk pembiayaan baik dari pendanaan publik domestik dan pendanaan publik internasional maupun pendanaan non publik.
Perihal pendanaan publik, alokasi APBN mesti ditambah diikuti dengan optimalisasi penyerapan anggaran secara maksimal. Di luar APBN badan seperti Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), obligasi-green sukuk, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) harus dimanfaatkan. Tentu dengan kerangka fiscal mitigasi dan dampaknya kemudian kebijakan transfer ke daerah dan memastikan pajak karbon betul-betul dijalankan. Selanjutnya pembiayaan publik internasional lebih meningkatkan lobi agar bisa mendapatkan green climate fund yang lebih besar, yang pasti ini tidak mudah.
ADVERTISEMENT
Sementara pendanaan non publik dapat memaksimalkan peran tanggung jawab perusahaan terutama perusahaan yang produksinya mengeksploitasi atau memanfaatkan sumber daya alam, seperti perusahaan tambang, perusahaan sawit, domestic private investment, filantropi, dan lain-lain.
Terkhusus utang dan hibah JETP, pemerintah harus berhati-hati. Pendanaan yang datang dari negara maju sangat tidak adil. Misalnya saja Amerika Serikat jumlah pinjaman non konsensional begitu besar, artinya kalau Indonesia mengambil pinjaman akan berlaku bunga pasar. Sementara porsi hibah masih juga seret. Pemerintah harus bisa ‘memaksa’ negara maju anggota International Partners Group (IPG) yang punya investasi di sektor mineral dan energi dan transportasi di Indonesia untuk menyalurkan hibah lebih besar.