Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pantai Glagah: Bersama Sansan, Mendungnya Awan, dan Pemecah Ombak
17 Desember 2023 8:59 WIB
Tulisan dari Sachi Kurisu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini adalah ceritaku. Dengan dia yang mengagumi seseorang yang jauh di mata, entah bagaimana di hati. Tentang aku yang menemaninya meluapkan semua perasaan ke sejauh garis horizon yang tertangkap oleh netra ini.
ADVERTISEMENT
Glagah Indah, atau yang biasa cukup disebut Glagah, nama pantai di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, yang mungkin tidak setenar Sadranan dengan spot snorkelingnya, atau juga Parangtritis dengan legendanya yang sudah dikenal sejagad nusantara. Meskipun begitu, nyatanya destinasi wisata satu ini tidak kalah unik dan khas dari destinasi sejenis lho! Yuk simak pengalaman pertamaku dalam melakukan perjalanan dan penjelajahan!
Pukul 3 sore hari itu, perjalanan yang dilakukan olehku dan Sansan—dia yang mengajakku untuk pergi ke tempat yang akan kuceritakan ini—dilatari dengan jalanan yang basah akibat hujan yang menyerang bumi Yogyakarta beberapa waktu sebelumnya. Hawa sejuk tercipta dari kolaborasi awan yang masih cukup sendu dengan warnanya yang abu-abu dan angin sepoi-sepoinya yang berhembus lembut. Namun hal itu berlawanan dengan kondisi lalu lintasnya yang padat dengan bunyi klakson yang berkali-kali terdengar, dan seluruh ruang aspal yang dipenuhi manusia beserta kendaraannya. Aku sendiri pun heran karena kurasa waktu kami berangkat belum memasuki jam-jam pulang kerja. Aku pikir, mungkin ini efek hujan, membuat semua orang menjadi ingin segera sampai ke tujuannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Perbedaan suasana yang cukup signifikan dapat kurasakan setelah keluar dari daerah kota menuju Kabupaten Kulonprogo. Dari ramainya kendaraan dan berbarisnya gedung-gedung, menjadi pemandangan desa yang menyejukkan hati. Dominasi warna hijau dari tanaman pertanian dan lengangnya jalan membuat rasa lega sejauh mata memandang.
Jika dihitung dari pusat kota Yogyakarta, alias Titik Nol, kira-kira jarak untuk sampai ke Pantai Glagah adalah 41 km dengan waktu tempuh menggunakan sepeda motor sekitar 90 menit. Namun, mengingat saat kami berangkat waktu itu sudah cukup sore, kami mencoba secepat mungkin sampai ke tujuan—tentunya dengan tetap memperhatikan batas aman dan mengutamakan keselamatan dalam berkendara yaa!
Sesampainya di depan gerbang masuk kawasan Pantai Glagah, kami membayar sebesar Rp 6.000,00 per orang untuk karcis. Itu belum termasuk biaya parkir kendaraan karena ternyata dari gerbang masuk ke area pantainya tidaklah dekat, kira-kira 1 km. Nantinya, di depan area pantai itulah tersedianya tempat parkir kendaraan yang biayanya bervariasi tergantung moda transportasi.
ADVERTISEMENT
Suasana saat itu tidaklah ramai. Terlihat dari sedikitnya kendaraan yang terparkir dan kebisingan yang tidak terlalu terdengar dari para pengunjung destinasi wisata pada umumnya. Baru saja kami sampai dan ingin memasuki area pantai, dari tempat dimana memarkirkan kendaraan, kami sudah bisa menghirup aroma khas pantai dan laut yang andaikan aroma tersebut bisa menjadi sebuah rasa di lidah, kita bisa bayangkan betapa asinnya itu.
Kemudian kami berjalan masuk dan menyadari bahwa untuk menuju pantai, kami melewati jalan seperti lorong yang ternyata di kanan kirinya adalah stan-stan penjualan hasil laut oleh warga sekitar—entah dalam kondisi sudah dimasak, atau masih dalam kondisi mentah—mulai dari ikan, udang, kepiting, sampai undur-undur, yang bisa dibeli pengunjung untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui lorong, kami langsung dimanjakan dengan pemandangan Pantai Glagah. Kedatangan kami disambut oleh hamparan luas pasir coklat kehitaman, air laut yang terlihat dari kejauhan bergerak mendekat kemudian menjauh beserta hembusan anginnya yang cukup kencang, dan yang paling menarik perhatianku adalah adanya barisan tetrapod atau batu-batu pemecah ombak di sana. Ini adalah kali pertama aku melihat bentuk batu pemecah ombak secara langsung, yang setelah aku riset lebih lagi, agaknya Pantai Glagah adalah satu-satunya pantai di Yogyakarta yang memiliki hal semacam ini.
Kami mencoba berjalan sedikit lagi, ternyata ada beberapa stan lagi di pinggir pantai. Namun berbeda dengan yang ada di lorong tadi, stan-stan yang berada di pinggiran pantai ini menjual makanan atau minuman yang bisa dijadikan sebagai pendamping untuk menikmati pemandangan yang ada, juga terdapat tikar yang disediakan oleh para penjual sebagai alas duduk menikmati pemandangan dari atas tetrapod.
ADVERTISEMENT
Sebelum memutuskan untuk duduk dan bersantai, aku mengajak Sansan turun ke area pantai untuk melihat-lihat sekeliling. Terlihat beberapa teman sebaya mengabadikan momen, juga orang-orang memancing dari tepi pantai, dan bahkan berkesempatan melihat pesawat yang take-off terbang dengan ketinggian yang masih relatif rendah dikarenakan lokasi Pantai Glagah yang hanya berjarak 10 km dari Bandar Udara Internasional Yogyakarta.
Aku menjejakkan kaki ke pasir pantai setelah sekian lama, juga memutuskan untuk mendekati bibir pantai agar merasakan sejuknya air laut ketika bersentuhan dengan kaki ini, sekaligus meminta Sansan untuk memotret diriku, hehe, itulah salah satu kelebihan jika bepergian tidak sendirian. See? Keren, bukan? Pemandangannya.
Setelah merasa cukup bermain di area pantai, kami naik ke tempat sebelumnya dan duduk di atas tikar yang disediakan untuk menikmati spot yang memang menjadi alasan utama kunjungan ini, yaitu melihat gulungan ombak yang pecah menghantam tetrapod. Datang, amati dan dengarkan sendiri bunyinya yang bisa kubilang sangat satisfying!
Karena ternyata hanya mengamati sekeliling pun juga butuh tenaga, Sansan berinisiatif membeli degan (‘buah kelapa muda’ dalam bahasa Jawa) sembari aku mencoba bertanya kepada ibu-ibu penjual tersebut yang ternyata warga sekitar yang sudah berjualan di Pantai Glagah sejak tahun 2015,
ADVERTISEMENT
Sebagai tambahan, kurang disarankan berkunjung di musim hujan karena mendungnya awan akan menghalangi teman-teman jika ingin merasakan cerahnya matahari khas daerah pesisir dan pengalaman melihat sunset, juga datanglah sebelum tengah hari agar bisa lebih lama merasakan pengalaman berlibur atau hanya sekadar melepas penat di pantai.
Setelah selesai berbincang dengan ibu penjual dan degan tadi sudah siap dinikmati, kami kembali ke tikar tadi. Kemudian kami mengobrol, saling bercerita satu sama lain sembari meminum degan. Kami juga mendengarkan bersama lagu yang kebetulan sangat sesuai dengan situasi saat itu dari idol group favoritku dan Sansan, JKT48. Lagu tersebut berjudul ‘Better’.
ADVERTISEMENT
Lagu tersebut cukup membuat aku dan Sansan terbawa suasana, masing-masing jadi membayangkan ‘andaikan bisa begini atau begitu, pasti bakal lebih baik, ya,’ sampai waktu menunjukkan pukul 6 yang berarti kita harus segera pulang.
Meskipun aku tidak mendapat foto sunset yang kuidamkan, sebelum meninggalkan tempat itu aku sempat memotret langit yang kuanggap sesuai definisi “megah dan misterius” dari sang alam. Dengan pengalaman ini, aku jadi menyadari bahwa,
ADVERTISEMENT
Jangan lupa bahagia dengan cara kalian sendiri ya. See you next time!