Konten dari Pengguna

Ninik Mamak dan Politik di Minangkabau

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
3 September 2023 10:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ninik Mamak Minangkabau. Sumber Foto : https://www.istockphoto.com/id/bot-wall
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ninik Mamak Minangkabau. Sumber Foto : https://www.istockphoto.com/id/bot-wall
ADVERTISEMENT
Dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, ninik mamak atau pemimpin adat menempati posisi strategis. Mereka yang bergelar datuk tersebut adalah pemimpin informal yang memiliki peranan besar di bidang ekonomi, sosial dan budaya, tidak hanya di lingkungan kaumnya, tetapi juga nagari (setingkat desa di Minangkabau) yang diwadahi di dalam institusi perwakilan nagari.
ADVERTISEMENT
Ketika negara modern muncul, elite tradisional ini berbagi peran dengan elite modern dalam mengurus masyarakat. Pemimpin informal ini dalam batas tertentu sama pentingnya dengan pemimpin formal. Ninik mamak bahkan menjadi semacam -- meminjam konsep Geertz (1961) -- cultural broker (perantara budaya) antara pemerintah dan masyarakat.
Dalam perkembangannya, tak jarang juga terjadi, pemimpin formal merupakan elite tradisional itu sendiri. Betapa banyak politisi, pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh pemimpin formal lainnya yang menyandang gelar datuk. Elite modern (apalagi dengan jabatan yang tinggi) yang juga seorang penghulu (datuk) akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga kaum dan nagari-nya.
Dalam sejarah praktik politik modern di Sumatera Barat, ninik mamak pernah membentuk golongan sendiri. Pada masa kemerdekaan, ada Partai MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) yang mengeklaim sebagai wadah politik para pemimpin adat.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 1955, Partai MTKAAM menjadi kontestan, namun dilihat dari hasil perolehan suaranya yang kecil, partai ini agaknya tidak mewakili semua elemen ninik mamak dan massanya di Minangkabau. Banyak juga penghulu mendukung partai lain, terutama Masyumi dan Perti, sebagai dua partai teratas di Sumatera Barat.
Ilustrasi Danau Maninjau Sumbar. Sumber foto: koleksi pribadi Israr Iskandar
Pasca Pemilu itu, banyak ninik mamak mendukung gerakan Dewan Banteng dan pemberontakan PRRI (1958-1961). Ketua MTKAAM Datuk Simarajo, duduk sebagai anggota Dewan Banteng mewakili unsur ninik mamak. Kerterlibatan banyak ninik mamak dalam pergolakan daerah menjadi alasan pemerintah membubarkan Partai MTKAAM pada tahun 1960 (Syafrizal, 2010).
Pada masa Demokrasi Terpimpin banyak ninik mamak yang terlibat pergolakan daerah tersingkir dari kancah sosial dan politik. Mereka digantikan ninik mamak yang kualitasnya tidak sebanding dengan golongan penghulu pada masa sebelumnya. Bahkan sebagian mereka telah disusupi dan dipengaruhi paham “kiri” (komunis). Ninik mamak yang eksis saat itu seolah menjadi “stempel” saja sistem kekuasaan “Orde Lama”.
ADVERTISEMENT
Pada masa pasca-Gestapu, ninik mamak dikumpulkan dalam wadah LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau). Lembaga ini dibentuk militer antara lain untuk tujuan membersihkan ninik mamak dari anasir PKI dan “Orde Lama”. Namun dalam perjalanannya, LKAAM diarahkan mendukung Golkar, sebagai partai rezim Orde Baru yang inti kekuatannya adalah militer. Dalam arti kata lain, LKAAM sebagai lembaga ninik mamak bersikap partisan selama kurang lebih tiga dekade rezim Soeharto.
Namun konteks sistem politik Orde Baru dan terutama situasi Sumatera Barat sendiri pada masa itu harus dijadikan dasar untuk melihat corak peran dan kiprah ninik mamak khususnya yang tergabung dalam LKAAM. Politik “buldozer” Orde Baru membuat semua unsur masyarakat, termasuk golongan adat (ninik mamak/penghulu), tidak bisa otonom dan independen dari pengaruh cengkeraman kekuasaan politik.
ADVERTISEMENT
Lagipula, pada zaman itu, Sumbar harus akomodatif terhadap corak sistem kekuasaan pemerintah pusat yang otoritarian. Sebagai daerah “minus” dari segi sumber daya alam, Sumbar harus berpandai-pandai menarik hati penguasa di Jakarta. Tidak boleh ada suara kritis terhadap pemerintahan pusat, Golkar dan militer kalau Sumatera Barat mau “survive” dan tak ketinggalan kereta. Daerah ini ikut arus Orde Baru dengan mengesampingkan aspirasi-aspirasi politik model lama, katakanlah aspirasi bercorak “Islamis”.
Sebagai daerah yang “babak belur” secara fisik dan lebih-lebih secara mental akibat pergolakan dan tekanan politik pada kurun sebelumnya, Sumbar di bawah Orde Baru sangat berkepentingan dengan gerak modernisasi pemerintah pusat. Sumbar butuh dana untuk memulihkan dan membangun daerah yang terpuruk pasca-bergolak. Kalau umpamanya Sumbar masih bersikap “galak” terhadap Jakarta, seperti rangkaian kejadian politik di masa silam, aliran dana pembangunan ke daerah ini tidak lancar.
ADVERTISEMENT
Ninik mamak merupakan salah satu unsur lokal yang harus tampil di garda depan untuk menunjukkan sikap “kompromistis”-nya terhadap sistem kekuasaan pusat. Hal kurang lebih sama juga untuk kelompok-kelompok strategis lokal lain, termasuk alim ulama, cadiak pandai (bahkan intelektual perkotaan) dan generasi muda. Mahasiswa Sumbar pada tahun 1970-an bahkan juga dituntut bersikap “baik” terhadap corak kekuasaan yang berlaku -- suatu keadaan yang membuat kesal rekan-rekan mereka di Jawa.

Reformasi

Peserta mengikuti pawai budaya pada Festival Pesona Minangkabau, di Istano Basa Pagaruyuang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (17/11/2022). Foto: Iggoy el Fitra/Antara Foto
Setelah masuk era reformasi dan sistem multipartai, peran ninik mamak pun bergeser. LKAAM tak lagi bersikap partisan dalam arti hanya menjadi lembaga ninik mamak yang terafiliasi dengan partai politik tertentu. Pengurus LKAAM pasca Orde Baru berasal dari berbagai unsur politik. LKAAM menjadi lembaga koordinatif lembaga-lembaga ninik mamak di nagari-nagari di Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian status sebagai ninik mamak tetap sangat penting dalam kehidupan sosial, budaya dan politik di daerah ini. Jabatan ketua LKAAM misalnya masih diperebutkan. Indikasi lain, banyak politisi, pejabat dan tokoh formal bergelar datuk, walaupun secara fisik ia berada rantau.
Bagi mereka, status pemimpin adat itu tidak hanya dianggap bisa memberi nilai tambah tersendiri bagi ketokohannya, terutama mereka yang secara “ekonomi politik” terkait langsung dengan daerah Sumbar, tetapi dalam batas tertentu juga menjadi “prestise” bagi kaum atau bahkan nagarinya.