Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketimpangan Lahan dan Nasib Kelas Menengah: Apa Hubungannya?
9 September 2024 9:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Itmamul Wafa Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu agraria memang terkenal rumit dan jarang dibahas secara mendalam di ruang kelas. Namun, konflik dan dampaknya telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita, diwariskan dari generasi ke generasi. Artikel ini tidak akan membahas detail definisi atau konflik yang rumit, melainkan akan fokus pada sisi menarik dari masalah agraria yang ternyata berdampak besar pada kehidupan kita sehari-hari. Ada satu masalah yang sering kita bicarakan tanpa menyadari akar penyebabnya: ketimpangan penguasaan lahan. Ketimpangan ini ternyata berdampak pada rendahnya upah kerja dan semakin sulitnya mencari pekerjaan yang layak.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Lahan dan Meledaknya Urbanisasi
Belakangan ini, kita sering mendengar diskusi tentang upah layak dan sulitnya mencari pekerjaan. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini, tetapi ada satu aspek penting yang sering terabaikan: ketimpangan penguasaan lahan pertanian.
Untuk memahami bagaimana ketimpangan ini berdampak, mari kita lihat dulu klasifikasi petani di Indonesia. Menurut Sayogyo (1997), petani dibagi menjadi tiga kategori: petani skala kecil dengan lahan di bawah 0,5 hektar, skala menengah dengan 0,5-1 hektar, dan skala besar dengan lahan lebih dari 1 hektar. Badan Pusat Statistik (BPS) membagi petani menjadi empat kelas: Gurem (0,1-0,49 hektar), Kecil (0,5-1,99 hektar), Menengah (2-2,99 hektar), dan Kaya (lebih dari 3 hektar). Namun, untuk memudahkan, kita bisa membaginya dalam dua kelompok besar: petani kecil (0,1-1,99 hektar) dan petani besar (lebih dari 2 hektar). (Lihat Gambar 1)
Data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan ketimpangan yang mencolok dalam penguasaan lahan. Sebanyak 87,63% RTP yang termasuk kategori gurem dan kecil hanya menguasai 45,71% lahan. Sementara itu, 12,37% petani menengah dan kaya menguasai 54,29% lahan.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ini menyebabkan penurunan jumlah rumah tangga petani kecil dari 90,43 juta pada tahun 2003 menjadi 87,63 juta pada tahun 2013. Ironisnya, meskipun jumlah petani kecil berkurang, lahan yang mereka kuasai juga ikut menyusut, dari 51,20 juta hektar menjadi 45,71 juta hektar. Sebaliknya, petani menengah dan kaya terus memperluas penguasaan lahan mereka. (Lihat Gambar 2)
Jika dirata-rata, petani kecil hanya menguasai sekitar 0,45 hektar lahan, sementara petani besar rata-rata memiliki 3,77 hektar (Gambar 1). Rasio Gini penguasaan lahan di Indonesia juga menunjukkan ketimpangan yang tajam, dengan angka 0,68%. Ini berarti 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan.
Akibat ketimpangan ini, banyak orang di pedesaan terpaksa pindah ke kota karena bertani dengan lahan kecil tidak lagi menguntungkan. Sayangnya, alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mereka justru memindahkan kemiskinan dari desa ke kota, karena mayoritas tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bersaing di pasar kerja perkotaan.
ADVERTISEMENT
Ledakan penduduk di kota-kota besar yang menjadi pusat industri pun tak terhindarkan. Jumlah pencari kerja melebihi kapasitas lapangan pekerjaan yang tersedia, membuat perusahaan dengan mudah menawarkan upah rendah.
Ketimpangan penguasaan lahan ini juga berdampak pada distribusi kekayaan nasional. Laporan Lembaga Penjamin Simpanan pada Oktober 2017 menunjukkan bahwa 56% aset nasional yang terkait dengan tanah dikuasai oleh hanya 0,2% populasi. Hal serupa terjadi pada aset keuangan di bank nasional, di mana 56,87% simpanan dikuasai oleh 0,11% pemilik rekening dengan saldo di atas Rp 2 miliar.
Ketimpangan lahan ini tidak lagi sekadar soal siapa yang punya uang lebih banyak. Efeknya kini sudah menyentuh kehidupan banyak orang, menjadikan masalah ini sebagai salah satu isu paling mendesak yang perlu segera diatasi.
ADVERTISEMENT
Kelas Menengah dan Kekuatan Digital: Mengubah Isu Sosial Lewat Internet
Kelas menengah seringkali menjadi topik diskusi yang sudah lama ada dengan berbagai definisi. Secara ekonomi, LPEM FEB UI mencatat bahwa kelas menengah menyumbang 50,7% dari total penerimaan pajak, sementara calon kelas menengah juga menyumbang 34,5%. Melihat kontribusi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia cukup besar.
Dalam artikel saya yang berjudul Kelas Menengah: Hidup Susah, Tapi Kok Malas Protes? , saya menjelaskan bahwa kelas menengah merupakan salah satu penggerak utama perubahan sosial yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, perjuangan tersebut tidak selalu harus dilakukan melalui demonstrasi. Ada banyak cara lain, salah satunya adalah dengan meramaikan percakapan isu-isu sosial di media sosial (open source protest).
ADVERTISEMENT
Data dari Aliansi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan: sebanyak 62,5 juta pengguna internet di Indonesia berasal dari kelas menengah. Mereka bukan sekadar pengguna internet biasa; mereka adalah kekuatan besar yang bisa menggerakkan perubahan. Bayangkan, jika semua suara ini bersatu untuk memperjuangkan isu-isu sosial yang mendesak, seperti ketimpangan lahan. Dengan kekuatan digital di tangan mereka, kelas menengah memiliki peluang besar untuk mengubah nasib jutaan orang, melawan ketidakadilan, dan menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua.
Mengambil Kembali Momentum Perjuangan
Akhir-akhir ini, kita melihat bagaimana kemarahan publik yang lama terpendam akhirnya meledak. Kebijakan-kebijakan yang dianggap irasional telah memicu demonstrasi besar-besaran dari berbagai lapisan masyarakat. Meski awalnya dipicu oleh revisi UU Pilkada, isu yang berkembang meluas, terutama terkait kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT
Di tengah momentum ini, yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional pada 24 September, penting bagi kita untuk mengangkat kembali isu ketimpangan penguasaan lahan. Perjuangan untuk Reforma Agraria Sejati harus menjadi prioritas. Kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi kelompok kecil yang mencaplok dan memonopoli lahan, sehingga petani di desa-desa bisa terus menggerakkan ekonomi mereka tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran dan terjebak dalam upah murah di kota.
Jangan biarkan isu ini tenggelam di tengah hiruk-pikuk yang lain. Suara kita adalah harapan bagi mereka yang masih berjuang di ladang-ladang, yang mempertahankan tanah mereka demi masa depan yang lebih baik.