Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Post-modernisme Media Massa dan Media Sosial sebagai Wadah Pluralita Makna
20 Oktober 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari NOVAL KURNIA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Post-modernisme Media Massa dan Media Sosial sebagai Wadah Pluralita Makna. Evolusi sosial merupakan sebuah perjalanan panjang yang menggambarkan transformasi masyarakat dari bentuk sederhana menuju bentuk yang lebih kompleks. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan ideologi, interaksi antar kelompok dan perkembangan teknologi. Sejak manusia pertama kali berkumpul dalam kelompok kecil, masyarakat terus mengalami perubahan yang signifikan. Dari masyarakat berburu dan meramu (kegiatan yang dilakukan oleh manusia purba untuk memenuhi kebutuhan makannya) hingga masyarakat modern yang didominasi oleh teknologi, evolusi sosial telah membentuk tatanan kehidupan manusia seperti yang kita kenal saat ini. Evolusi sosial tidak selalu berjalan mulus. Sepanjang sejarah masyarakat telah menghadapi berbagai tantangan dalam proses perubahan. Konflik, ketidaksetaraan, dan disrupsi sosial adalah beberapa contoh tantangan yang sering muncul. Namun, di balik setiap tantangan, terdapat juga peluang untuk tumbuh dan berkembang. Perkembangan teknologi telah menjadi salah satu pendorong utama evolusi sosial dalam beberapa dekade terakhir. teknologi telah mengubah cara hidup, bekerja, dan berinteraksi. Dampak teknologi terhadap masyarakat begitu luas mulai dari perubahan dalam ekonomi, politik hingga transformasi budaya.
ADVERTISEMENT
Media massa telah memegang peranan katalisator utama dalam evolusi sosial dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap dunia. McLuhan (1968) menyatakan bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message) dan perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk keberadaan manusia itu sendiri yang berarti bahwa cara kita berkomunikasi melalui media lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan (Maryani et al., 2019). Noam Chomsky, dalam kritiknya terhadap media massa, terutama melalui bukunya "Manufacturing Consent" (1988) bersama Edward S. Herman, menekankan bahwa media tidak netral dan sering digunakan sebagai alat propaganda oleh pihak-pihak yang berkuasa, seperti pemerintah dan korporasi. Mereka berpendapat bahwa alih-alih memberi informasi objektif, media massa berfungsi untuk mengontrol opini publik dan membentuk konsensus yang mendukung kepentingan elite. Chomsky menyebutkan adanya "filter-filter" yang memengaruhi bagaimana berita diproduksi dan disampaikan, seperti kepemilikan media oleh korporasi besar, ketergantungan pada iklan sebagai sumber pendapatan, serta kerja sama dengan pemerintah dan sumber resmi. Ini menyebabkan bias dalam pemberitaan dan meminggirkan pandangan kritis atau alternatif. Chomsky juga menunjukkan bahwa media kerap menyoroti isu-isu tertentu secara berlebihan dan mengabaikan isu lainnya, sehingga publik diarahkan untuk fokus pada narasi yang menguntungkan pihak berkuasa. Kritik Chomsky ini memperingatkan bahwa masyarakat harus kritis dan sadar akan bagaimana informasi dikendalikan, karena media bisa membentuk persepsi yang manipulatif dan menyesatkan. Analisisnya terhadap media massa, yang semakin memusatkan kekuatan informasi pada segelintir kelompok, menjadi dasar kritik terhadap praktik media konvensional. Pemikirannya mendorong kita untuk mempertanyakan narasi-narasi yang dibangun oleh media massa dan mencari pluralitas perspektif sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap, akurat, dan tidak bias.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi telah merevolusi lanskap media secara radikal. Dari media cetak tradisional yang statis, kita kini memasuki era digital yang dinamis dan interaktif. Munculnya internet dan berbagai platform digital telah memungkinkan akses informasi yang lebih cepat dan mudah sehingga mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan membentuk opini publik. Dengan muncul media sosial, paradigma kritis terhadap media massa semakin kompleks. Media sosial membuka peluang baru dengan memberikan platform partisipatif kepada individu untuk menyuarakan pandangan, perspektif, dan identitas dapat bersaing dan saling berinteraksi. Ini menciptakan ruang yang lebih demokratis, di mana setiap orang dapat menjadi produsen dan konsumen informasi. Ini tentu menjadi angin segar di tengah gempuran dominasi informasi media massa yang diduga terafiliasi oleh kekuatan penguasa, ekonomi dan politik dalam pembangun narasi yang disampaikan. Namun, di balik segala potensi positif ini, terdapat sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan, kemudahan akses dan penyebaran informasi juga memicu maraknya misinformasi, hoaks, polarisasi, krisis pluralitas makna dan manipulasi opini publik.
ADVERTISEMENT
Dalam pluralitas makna dalam media massa dan media sosial merujuk pada adanya berbagai interpretasi dan pemahaman yang berbeda terhadap suatu pesan, konten, atau peristiwa yang disampaikan. Setiap individu membawa latar belakang budaya, pengalaman, dan nilai-nilai yang berbeda, sehingga makna dari suatu konten dapat dipahami secara bervariasi (Saparuddin, 2020). Fragmentasi audiens di media sosial juga berperan, di mana kelompok kecil atau komunitas dengan minat tertentu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap makna suatu informasi. Dalam konteks media massa tidak hanya menyajikan satu perspektif atau narasi, pluralitas makna muncul melalui representasi beragam dari identitas, isu sosial, dan kebudayaan untuk memastikan suara-suara yang terpinggirkan mendapatkan perhatian. Krisis pluralitas makna merujuk pada kondisi di mana terdapat keragaman atau variasi dalam penafsiran dan pemahaman makna yang dapat menyebabkan kebingungan, konflik, atau kesulitan dalam mencapai consensus (Madung, 2014). Ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti budaya, sosial, politik, atau bahasa.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi dinamika yang semakin rumit maka tentu kita harus menaruh perhatian khusus terhadap pemikiran yang pernah dicetuskan oleh gerakan Post-Modernisme. Seperti yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Jean Baudrillard (1981), yang menekankan bahwa realitas yang kita alami melalui media bukanlah representasi yang obyektif, melainkan konstruksi sosial (Saumantri, 2023). Ini berarti bahwa apa yang kita saksikan dan dengar melalui media bukanlah suatu "kenyataan" yang bersifat mutlak, melainkan interpretasi yang telah dimanipulasi sesuai dengan kepentingan tertentu. Masyarakat dihadapkan pada tugas kritis untuk meruntuhkan dinding konstruksi sosial ini dan mencari pemahaman yang lebih mendalam di balik berita dan narasi yang disajikan.
Gerakan Post-modernisme adalah suatu gerakan yang muncul sebagai respons terhadap modernisme, dengan mengkritik dan merombak berbagai konsep dasar yang dianggap absolut atau universal dalam pemikiran modern, hal ini menawarkan perspektif kritis terhadap penguasaan kaum kapitalis terhadap media, tetapi bukan dalam bentuk perlindungan yang jelas atau langsung. Michel Foucault mengajarkan kita untuk menyadari bahwa media bukanlah entitas netral, melainkan dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi (Apriliyadi & Hendrix, 2021). Dengan memahami potensi manipulasi informasi, masyarakat dapat mengembangkan kemampuan untuk menjadi konsumen informasi yang lebih kritis. Kesadaran ini mencakup tidak hanya pemahaman terhadap konten yang disajikan oleh media, tetapi juga kemampuan untuk mengenali apa yang mungkin disembunyikan atau dipresentasikan dengan tujuan tertentu. (Noval Kurnia Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unand).
ADVERTISEMENT