Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Partai Politik Juga Punya "Brand": Begini Citra Mempengaruhi Pilihan Pemilih
12 Mei 2025 11:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Iwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kalau dengar kata “brand”, biasanya yang terlintas di kepala kita adalah logo minuman, sepatu, atau smartphone. Tapi, sadar nggak sih, partai politik juga punya brand image sendiri? Dalam dunia politik modern, citra partai nggak kalah penting dari produk komersial. Citra inilah yang membentuk perilaku pemilih bisa bikin mereka setia, atau malah pindah ke lain hati
ADVERTISEMENT
Citra Partai Politik: Bukan Sekadar Logo dan Slogan
Menurut teori perilaku konsumen dari Solomon (2018), perilaku konsumen itu mencakup semua proses mulai dari memilih, membeli, menggunakan, sampai akhirnya berhenti menggunakan suatu produk atau jasa. Kalau diterjemahkan ke dunia politik, “produk” di sini adalah partai politik atau kandidat yang mereka usung. Pemilih akan “membeli” dengan memberikan suara di bilik TPS.
Brand image partai politik sendiri adalah persepsi, asosiasi, dan keyakinan yang terbentuk di benak masyarakat tentang partai tersebut. Jadi, bukan cuma soal logo atau warna partai, tapi juga soal nilai, gaya komunikasi, sampai perilaku para kadernya.
Political Branding: Cara Partai Menjual Diri
Political branding adalah upaya membangun dan mengelola citra partai atau kandidat supaya punya nilai tambah di mata publik. Menurut Marshment (dalam Sandra, 2013), branding di politik itu bukan cuma simbol, tapi juga identitas, nilai, dan diferensiasi. Misalnya, saat Prabowo Subianto memilih warna baby blue sebagai identitas visual di Pilpres 2024. Warna ini sengaja dipilih untuk menampilkan kesan segar, bersahabat, dan terbuka-dan ternyata, banyak pendukungnya yang ikut-ikutan pakai warna ini saat kampanye.
ADVERTISEMENT
Tiga indikator utama political branding menurut Muttaqin dkk. (2020) adalah:
Kenapa Citra Partai Bisa Bikin Pemilih Loyal atau Berpaling?
Citra yang kuat dan positif bisa membuat pemilih merasa “nyambung” dengan partai tertentu. Mereka jadi loyal, bahkan bisa jadi “fans garis keras” yang selalu membela partai pilihannya. Tapi, kalau citra partai mulai pudar, penuh skandal, atau nggak sesuai ekspektasi, pemilih bisa saja beralih ke partai lain yang citranya lebih fresh dan meyakinkan.
Fenomena ini mirip dengan perilaku konsumen Gen Z di dunia digital, yang gampang berpindah merek kalau ada produk baru yang lebih menarik di media sosial. Dalam politik, pemilih muda juga semakin rasional dan kritis. Mereka nggak cuma lihat janji, tapi juga track record dan kepribadian calon pemimpin. Survei CSIS bahkan menyebut pemilih muda cenderung memilih calon yang jujur, merakyat, dan berprestasi.
ADVERTISEMENT
Media Sosial: Senjata Ampuh Bangun Brand Image
Di era digital, media sosial jadi alat utama partai politik membangun citra. Konten kreatif, kampanye viral, hingga kolaborasi dengan influencer politik jadi strategi wajib. Studi Tuten & Solomon (2017) membuktikan, social media marketing punya pengaruh besar terhadap brand image. Semakin aktif dan kreatif partai di medsos, makin kuat pula citra yang terbentuk di benak pemilih.
Contoh Nyata: Prabowo dan Baby Blue, PSI dan Anak Muda
ADVERTISEMENT
Di dunia politik, citra partai adalah modal utama untuk merebut hati pemilih. Proses membangun brand image ini nggak instan dan harus konsisten, mulai dari penampilan, gaya komunikasi, hingga pesan yang disampaikan. Pemilih zaman sekarang, terutama generasi muda, makin kritis dan gampang berpindah pilihan kalau citra partai nggak sesuai harapan. Jadi, partai politik yang ingin menang harus serius membangun dan menjaga brand image mereka karena, dalam politik citra adalah segalanya.