Konten dari Pengguna

Pendidikan Yang Membangun Jiwa

Mohamad Kurniawan
Pemilik Sekolah Alkautsar Temanggung Jawa Tengah, wirausahawan sosial di bidang pendidikan dan pengembangan SDM
2 Mei 2025 12:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini, tanggal 2 Mei datang kembali. Hari yang selalu hadir sebagai peringatan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Tapi setiap kali hari ini tiba, pertanyaan yang sama menggema lagi di dalam kepala saya:
ADVERTISEMENT
Apakah pendidikan hari ini masih bisa membentuk manusia Indonesia masa depan?
Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia - Nelson Mandela. Ilustrasi : ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia - Nelson Mandela. Ilustrasi : ChatGPT
Atau jangan-jangan, kita sedang membangun sistem yang hanya mencetak pengguna sistem lain—manusia-manusia yang pintar secara fungsional, tapi hilang secara batin?
Pendidikan, sebagaimana yang diwariskan oleh Ki Hadjar, bukanlah semata proses transfer ilmu. Pendidikan adalah laku—sebuah jalan hidup yang menuntun manusia dari gelap ke terang, dari tahu ke bijak, dari angka ke makna. Tapi apa jadinya jika jalan itu kini dipangkas jadi jalur cepat? Apa jadinya jika terang hanya berarti bisa menjawab soal, bukan memahami hidup?
Hari ini, sekolah—dari dasar hingga tinggi—terlihat sibuk. Kurikulum dijejali kompetensi teknis. Jadwal padat, laporan bertumpuk, ujian datang silih berganti. Anak-anak belajar dengan cepat, namun seringkali tak sempat merenung. Mereka bergerak seperti mesin yang dijejali input, diproses, lalu dipaksa menghasilkan output sesuai standar.
ADVERTISEMENT
Di mana ruang untuk keliru, pelan, atau penasaran?
Padahal, jiwa manusia tumbuh bukan lewat kecepatan, tapi lewat perenungan. Pendidikan yang sejati tidak diburu waktu. Ia memberi kesempatan untuk gagal, untuk bertanya, untuk tidak tahu. Tapi hari ini, banyak anak merasa bersalah saat lambat, cemas saat diam, dan takut saat tak bisa menjawab.
Teknologi digital menambah kompleksitasnya. Anak-anak sekarang lahir dalam dunia yang tak pernah sunyi. Informasi melimpah. Segalanya tersedia dalam satu klik. Mereka bisa mencari apa saja—kecuali satu hal: makna dari apa yang mereka cari.
Dan di tengah arus inilah, banyak guru—yang seharusnya menjadi penuntun makna—malah terseret jadi penyampai target. Mereka tidak salah. Sistem yang menuntut. Administrasi yang menjerat. Ujian yang terus datang. Maka kehadiran guru perlahan tereduksi: bukan lagi sebagai penjaga ruang tumbuh jiwa, melainkan sebagai fasilitator kurikulum.
ADVERTISEMENT
Guru hadir, tapi tak sempat menyapa. Guru bicara, tapi tak sempat mendengar.
Lalu bagaimana dengan orang tua? Banyak dari mereka juga lelah. Terkurung dalam tekanan sosial, ekonomi, dan harapan untuk anak “berhasil”. Maka pendidikan pun makin dilihat sebagai investasi pragmatis: masuk sekolah unggulan, raih nilai tinggi, masuk universitas favorit, lalu dapat pekerjaan mapan.
Tapi di tengah semua itu, ada anak-anak yang diam.
Mereka hadir di kelas tapi hatinya menjauh. Mereka mengerjakan tugas tapi tidak merasa memiliki. Mereka bisa menjawab soal tapi tidak pernah ditanya: “Apa yang kamu pikirkan hari ini?” atau “Apa yang membuatmu gelisah belakangan ini?”
Dan bila kita tak hati-hati, anak-anak ini akan berpaling.
Mereka tak akan lari secara fisik, tapi pelan-pelan membangun dunia sendiri—di balik layar, di dalam algoritma, di tempat di mana tidak ada tuntutan nilai, tapi juga tidak ada kehangatan.
ADVERTISEMENT
Kita lalu terkejut saat mendengar ada anak yang diam-diam merasa kosong, atau merasa tak layak, atau merasa dunia terlalu cepat untuk dikejar. Tapi siapa yang pernah benar-benar hadir saat ia ingin bicara?
Bukan untuk memberi nasihat, tapi sekadar untuk menampung isi kepala dan hati?
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya seremoni. Ia harus menjadi cermin.
Cermin bagi kita semua—guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan siapa pun yang mengaku peduli pada masa depan—untuk bertanya ulang:
Apakah pendidikan kita masih memanusiakan manusia?
Apakah sekolah masih menjadi ruang perjumpaan antara hati dan akal, atau hanya tempat pengolahan data berjalan?
Mungkin yang paling dibutuhkan anak-anak hari ini bukan guru yang paling canggih.
Bukan pula orang tua yang paling disiplin.
ADVERTISEMENT
Tapi seseorang yang hadir penuh, yang berani diam bersama mereka, dan tidak takut dengan pertanyaan yang tak punya jawaban instan.
Pendidikan tidak harus serba cepat. Kadang, yang paling membentuk bukan pelajaran yang disampaikan, tapi cara kita menatap mata anak-anak dan berkata, “Aku mendengarkanmu. Aku percaya kamu sedang tumbuh.”
Di tengah dunia yang semakin menyerupai mesin, mari kita jaga satu hal yang membuat manusia tetap manusia: kemampuan untuk hadir, mendengar, dan menemani.
Mungkin, inilah tujuan pendidikan tertinggi:
Bukan mencetak juara. Tapi menumbuhkan jiwa. Menjadi sebenar-sebenarnya manusia.
Selamat belajar!