Apakah Anda dan Tim Anda Sudah Growth Mindset?

Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership, Founder Akademi Trainer www.KubikLeadership.com. Ia juga pebisnis dan penulis 10 buku di Gramedia dan Mizan. Mentor banyak tokoh
Konten dari Pengguna
14 Desember 2017 12:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jamil Azzaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua tahun lalu, saat saya diamanahi menjadi CEO Kubik Leadership, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa kubikers (sebutan bagi karyawan dan tim kami). Salah satu pertanyaannya adalah "apa kelebihan Kubik Leadership dibandingkan provider trainer lain?" Jawabnya hampir seragam "produk training Kubik itu impactful, aplikatif dan solutif." Setahun setelah saya memimpin, jawabannya masih hampir sama. Seketika itu, saya teringat Prof. Carol Dweck, ilmuwan dari Stanford University penulis buku Mindset: The New Psychology of Success. Guru besar ini mengingatkan bahwa ada orang yang punya fixed mindset dan growth mindset. Saya mulai gelisah, saya khawatir bila saya dan tim saya sudah mengindap fixed mindset yang sering melekat pada orang gagal dan orang rata-rata. Sementara growth mindset itu melekat pada orang-orang yang sukses di profesinya. Growth mindset itu memiliki dorongan kuat untuk terus belajar, bertumbuh, merasa kurang, hungry learner. Sebaliknya, fixed mindset merasa dirinya yang terdepan, terhebat, terahli dan ter...ter... yang lain. Fixed mindset membuat kita terlena dan akhirnya tertinggal. Berbagai cara saya lakukan agar saya dan tim saya termasuk orang yang growth mindset. Beberapa diantaranya, pertama memberi tantangan untuk berani mengambil keputusan. Saya katakan kepada tim saya "lebih baik minta maaf daripada minta izin". Sesuatu yang menjadi wewenang kubikers, saya beri wewenang penuh untuk memutuskan. Bila salah dimaafkan, diperbaiki dan berkomitmen untuk tidak diulangi. Jika ada kubikers yang datang menemui saya minta arahan, saya jawab "menurut kamu baiknya bagaimana? Ada gak alternatif yang lebih baik? Kamu sudah yakin bahwa itu yang terbaik? Bila sudah yakin, ya putuskan. Jangan mendelegasikan tugas ke atasan (ke saya), itu "pamali" tidak baik. Memang dalam perjalanannnya, ada beberapa keputusan yang kurang tepat tetapi saya senang karena kami semua bisa saling belajar. Kedua, membiasakan feedback. Kritik dan saran tajam saya biasakan dalam diskusi dan rapat. Karena saya yakin bahwa tim saya tidak ada yang punya niat jelek menjatuhkan anggota tim yang lain. Kritik, saran atau feedback yang tajam semata-mata demi kebaikan semua. Membudayakan ini awalnya agak canggung tetapi akhirnya menjadi biasa. Bahkan sampai ada yang pernah hendak mengundurkan diri karena mendapat feedback yang "pedas" dan alhamdulillah akhirnya orang itu mengurungkan niatnya. Ketiga, mengirimkan belajar ke banyak guru. Growth mindset mensyaratkan agar kita senang belajar dan bertumbuh. Namun terkadang, perasaan merasa lebih hebat dibandingkan yang lain membuat kita enggan belajar. Saya bahkan sampai "memaksa" beberapa kubikers untuk ikut training dengan orang lain yang memang kompeten di bidangnya. Hasilnya? Biasanya mereka akan berkata "saya merasa tertampar-tampar ikut training ini. Banyak hal yang harus saya pelajari. Terima kasih pak sudah mengirimkan ke training ini. Pulang dari training ini banyak hal yang akan saya lakukan untuk kemajuan Kubik Leadership." Alhamdulillah, saya senang karena tim saya sebagian besar sudah termasuk yang growth mindset. Pencapaian tahun ini, alhamdulillah melebihi pencapaian tahun lalu. Dan insya Allah pencapaian tahun depan jauh lebih melesat karena para kubikers sudah semakin growth mindset. Doakan kami Bagaimana dengan tim Anda? Apakah sudah growth mindset? Waspadalah apabila sebagian besar tim Anda belum growth mindset.
ADVERTISEMENT
Salam SuksesMulia
Jamil Azzaini
CEO Kubik Leadership