Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dagelan di Ujung Jabatan
22 Agustus 2024 9:57 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi kian hilang arah. Demokrasi yang didamba-damba sejak era kemerdekaan hingga reformasi, nampaknya semakin jauh dari sanubari. Rakyat dibuat tak berkutik menghadapi gejolak elite yang beringas akan kekuasaan. Di Indonesia, kekuasaan seorang presiden sama seperti kekuasaan seorang raja. Hanya saja, sistem presidensiil dan demokrasi modern menjadi selimut tebal yang melindungi keluarga raja dari kencangnya suara rakyat.
ADVERTISEMENT
Ribuan masyarakat yang turun ke jalan, tidak mengharapkan apapun selain melihat Indonesia menjadi negeri yang bernilai di masa depan.
Turun ke jalan
Seyogianya kita bernas dalam berpolitik. Turun ke jalan bukan hanya mengindikasi tuntutan rakyat langsung karena DPR tak becus menyuarakannya. Turun ke jalan adalah simbol pergerakan, bahwa rakyat masih berkuasa atas negeri. Turun ke jalan merupakan ekspresi dari suara rakyat yang harus direspons oleh pemerintah.
Ketika ruang-ruang demokrasi di kebiri oleh rezim, atas nama intelektualitas, maka sejatinya forum tersebut memiliki agenda terjal yang penuh bias, yakni menyenangkan hati raja. Diskursus yang terjadi sekadar like and dislike.
Cherry Picking Elite
Berbicara mengenai like and dislike, seharusnya masyarakat sadar, bahwa semua hal yang terjadi pada tahun demokrasi sangat menguntungkan Jokowi dan dinastinya.
ADVERTISEMENT
Putusan MK 90 yang meloloskan Gibran sangat diamini oleh seluruh badan pemerintah. Tidak ada pemaksaan. Tidak ada perlawanan. Jika melawan, maka akan ditelan. Istana santai merespons, bahwa harus hormati putusan MK, karena bersifat final dan mengikat.
Sedangkan putusan MK 60 yang justru menyelamatkan negeri dari kehancuran konstitusi, langsung direvisi dan diubah oleh DPR bersama pemerintah. Sebab putusan yang ada memberatkan keluarga istana. Ia memberatkan pilkada kotak kosong-calon boneka, dan memberatkan manuver Kaesang untuk maju. KPU dengan senang hati mengiyakan putusan gelap tersebut. Istana cepat merespons, bahwa harus hormati semua putusan lembaga pemerintah.
Cherry picking yang terjadi menghasilkan kebijakan ugal-ugalan. Semuanya demi satu, meloloskan semua keinginan raja. Politik hanya sekadar sikut-sikutan, dan yang tertinggi adalah mereka yang berpotensi menjadi predator bagi sesama.
ADVERTISEMENT
Lali Demokrasi
Mungkin, ada hal lain yang luput. Bilamana jika, di ujung jabatannya, Jokowi lupa bahwa sistem demokrasi di atas diri sendiri. Transisi kenegaraan yang sangat cepat itu melumpuhkan diskursus rakyat.
Mungkin, Jokowi sengaja lupa, bahwa atas nama Tuhan dan rakyat, Ia disumpah untuk menjalankan demokrasi. Di mana pun dan kapan pun, tuntutan itu selalu hadir bagi pemimpin selanjutnya.
Setidaknya, kita harus kembali berpikir tentang apa makna Indonesia selepas merayakan kemerdekaan. Betul-betul merdeka? Atau justru dikekang oleh saudara sendiri? Seorang kerabat menyampaikan pendapatnya kepada saya:
Semoga Tuhan YME memberkati perjuangan kita.