Konten dari Pengguna

Kegundahan Sosiologi Indonesia dalam Relasionalitas

Jan Mealino Ekklesia
Founder GEMA Politik Indonesia
13 Desember 2022 22:07 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Relasionalitas Masyarakat. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Relasionalitas Masyarakat. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Sosiologi jarang membahas hubungan antar dua orang atau lebih dalam suatu keadaan tertentu di masyarakat sebagai sebuah relasi. Sosiologi lebih suka menyatakan bahwa relasi berpadanan dengan interaksi, dalam hal ini interaksi sosial. Entah apakah kata relasi terlalu umum sehingga kurang memiliki nilai jual akademis tertentu, atau relasi adalah kata yang terlalu rentan disisipi pemahaman lain, seperti istilah asymetric relation.
ADVERTISEMENT
Interaksi sosial perlu syarat untuk mewujudkannya: kontak sosial dan komunikasi. Tapi apakah dua hal tersebut cukup untuk menggambarkan kompleksitas dari suatu interaksi? Jangan-jangan istilah interaksi memiliki wajah ganda: mengagungkan kemartabatan sosiologi. di sisi lain menggambarkan reduksionisme dari aneka ragam warna hubungan sosial.

Kekurangan Pengalaman

Sebagai seorang sosiolog, kepekaan dalam memetakan untaian teori dan metodologi sebagai pisau analisis perlu ditingkatkan. Kepekaan tersebut tidak serta-merta lahir dari kepercayaan deterministik, melainkan dipelajari, diuji, dan dilatih. Biasanya, penjajakan keilmuan sosiologi dimulai sejak bangku kuliah, namun tak menutup kemungkinan dipelajari di mana saja.
Keserampangan dalam memahami teori dari suatu ahli sosial dapat berakibat fatal. Kekeliruan penggunaan teori di lapangan menghasilkan temuan yang tidak valid. Temuan yang tidak valid akan memengaruhi rekomendasi kebijakan bagi stakeholders maupun shareholders. Apalagi rekomendasi kebijakan diberlakukan untuk jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Tentu, selama itu pula dosa para sosiolog terbendung indah.
ADVERTISEMENT
Apakah kondisi masyarakat saat ini digadang-gadang oleh para postmodernis sebagai kehidupan yang tak tentu memang demikian adanya? Pertanyaan itu bagaikan sebuah batu karang berlandaskan pasir. Para sosiolog baru mendapat jawaban ketika pengalaman mengajari mereka. Pengalaman hidup di tengah masyarakat jauh lebih berharga ketimbang duduk diam berkekang meja dan kursi dalam ruangan segi empat.

Mempertanyakan Relasi

Lantas, jika terminologi relasi pada tulisan ini saja diperdebatkan, mengapa banyak kerbau di tempat jauh sana jelas terlihat? Mengapa kritik akan teori-teori begitu banyak, seakan-akan tidak menghiraukan bahwa banyak metode atau proses mengajar sosiologi yang kacau balau?
Kalau boleh jujur, sosiolog memang banyak mengadu nasib kepada permasalahan politik yang hingar-bingar dan praktis. Lambat-laun, ketajaman berpikir yang telah di susun semenjak bangku kuliah jelas akan memudar. Baik itu jabatan guru besar maupun sekadar asisten ahli, akademisi berlabel sosiolog banyak berkutat pada hal yang sama, yaitu bagaimana supaya dapat untung?
ADVERTISEMENT
Katakanlah fakta sosial (social fact) yang menjadi paripurna pemikiran Durkheim dianggap sebagai budak metode eklaren (analisis ilmu alam). Fakta sosial sangat diidentikan dengan positivisme Comte dan Spencer yang jelas-jelas mereduksi kehidupan sosial ke dalam ruang-ruang kalkulasi ilmu alam yang rigid. Kenyataannya, relasi adalah fakta sosial. Relasi adalah fakta sosial yang alami!

Menemukan Titik Balik

Jika demikian, akankah relasi menjadi arus utama perspektif sosiologi yang digunakan oleh orang banyak? Para sosiolog klasik (dan cara memandangnya) berusaha mengidentifikasi juga menjelaskan apa itu fakta sosial, dari perspektif yang berbeda (entah dimaknai sebagai tindakan sosial, struktur sosial, atau sistem). Kelucuan mereka adalah menganggap bahwa beberapa perspektif tersebut saling bertentangan, padahal jika memakai pemahaman paradoks, sebenarnya mereka saling mengisi satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Perlu ditegaskan bahwa teori sosiologi klasik sejauh ini belum sukses memahami apa itu relasi sosial, meskipun dengan pencapaian hebat mereka dalam memahami aspek tunggal dari apa itu relasi sosial. Usaha yang jelas dapat kita temui dalam pemikiran Parsons tentang General Theory, yang berusaha merekonsiliasi dan menyatukan pendekatan klasik dan tradisional. Hasilnya? Nihil.
Upaya pemikiran Parsons yang berusaha menyatukan antara teori tindakan Weberian dan teori umum (general theory) Durkheimian gagal karena Parsons lupa menyisipkan abstraksi dari relasionalitas. Penganaktirian teori relasional justru meninggalkan teori Parsons ke dalam lubang senjang yang tiada batas.
Meskipun teori relasionalitas tidak serta merta muncul di dalam penjajakan teori sosiologi populer, banyak disiplin ilmu yang tertarik dengan relasi sosial, seperti filsafat (dari titik pandang metafisik). hukum (kontrol oleh aturan), bahkan biologi (bioetik). Hanya sosiologi yang memiliki cara pandang khas dalam melihat relasi, yaitu dalam hal teori yang menyatukan semua dimensi, berikut diferensiasi, konflik, dan integrasi mereka secara empiris. Hanya sosiologi yang memiliki tugas mengonseptualisasi hubungan sosial dalam 'relasionalitas'.
ADVERTISEMENT

Agenda Sosiologi Indonesia Masa Depan

Agenda sosiologi Indonesia bertumpu pada kemajemukan bangsa. Bangsa yang tidak hanya plural (perbedaan ide), melainkan bangsa multikultural (perbedaan suku dan budaya). Perlu menemukan konsep ragam yang mampu menampung interelasi dari tiap-tiap realitas.
Hubungan atau relasi harus diasumsikan sebagai sarana untuk memahami kualitas dari aktor tertentu. Atau, mereka merujuk ke fungsi dan operasi dari subsistem dan, secara umum, karakteristik yang memainkan peran dalam bidang tertentu.
Contoh sederhana ketika menganalisis kehidupan petani di kota. Seorang sosiolog harus mengindari berbagai konfrontasi teoritik yang memisahkan antara desa dan kota, antara petani dan bukan petani, antara sistem dan budayanya. Teori relasionalitas memudahkan sosiolog memetakan hubungan signifikan dari petani tersebut. Ketika aktor-aktor yang berbeda dalam suatu bidang diamati, mereka kadang-kadang ditempatkan dalam keselarasan, kadang-kadang dalam antitesis, dan di lain waktu masih ditempatkan dalam suatu kontinum sesuai dengan kekuatan daya tarik dan tolak mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sosiologi Indonesia leluasa untuk memadukan teori khasnya ke dalam wacana sosiologi dunia.
***
Jan Mealino Ekklesia