Konten dari Pengguna

Konsekuensi dari Pengalaman

Jan Mealino Ekklesia
Sosiolog dan Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics
5 Mei 2022 14:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Manusia dan konsekuensinya, Sumber: Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Manusia dan konsekuensinya, Sumber: Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Manusia terikat oleh ruang dan waktu, bahkan bergantung darinya. Ironisnya, waktu tidak dapat diputar kembali. Demikian juga ruang yang selalu melekat dalam kehidupan. Seperti ungkapan Albert Einstein tentang perjalanan hidup manusia:
ADVERTISEMENT
Sejarah adalah masa lalu. Masa depan adalah harapan. Saat ini adalah waktu manusia untuk hidup. Kehidupan manusia pada masa lalu telah berhasil menciptakan tujuh keajaiban dunia dengan segala kemegahan dan keaenahannya. Eksplorasi ke luar angkasa, robot, teknologi ramah lingkungan dan Artificial Intelligent sedang digarap untuk masa depan.
Masa kini adalah waktu yang tepat untuk menikmati keduanya. Menikmati masa kini seharusnya di lewati dengan mengucap syukur. Mengucap syukur bukan untuk menunjukkan status dan kedudukan agama seseorang. Mengucap syukur dilakukan sebagai konsekuensi atas eksistensi manusia yang lemah, letih, dan terbatas.
Manusia adalah penggagas segala sesuatu di muka bumi ini. Dalil-dalil untuk bertahan hidup dan mengembangkan dunia berasal dari otak manusia. Pantaslah gambar dan rupa Tuhan berkaitan dengan definisi citra manusia. Jika bintang-bintang di langit hingga pasir di dasar laut adalah suatu misteri kehidupan, maka manusia adalah misteri kuadrat.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan, robotisasi, sistem demokrasi, AI, IoT, konstitusi, sistem kapital, sistem sosialis, dan manufaktur berteknologi tinggi lahir di tengah peradaban manusia, bukan di tengah peradaban monyet atau pohon. Menikmati hal itu semestinya di lalui dengan belajar. Belajar bukan untuk menunjukkan status dan kedudukan akademis. Belajar dilakukan sebagai konsekuensi atas eksistensi manusia yang memiliki akal budi, emosi, IQ, dan moral.
Manusia adalah perusak hebat kehidupan, sekaligus orator ulung penjaga kehidupan. Nilai dan norma hasil perkembangan masyarakat yang berisi keagungan luhur bernama keseimbangan dalam kehidupan, dijaga ketat oleh tradisi. Namun masyarakat lain yang menginginkan kemajuan adab dan berpandangan developmentalism, mulai mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan lain, yakni mengganti sungai dan hutan dengan lokasi tambang dan perumahan elite.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup tinggi karbon menggantikan gaya hidup eco-friendly. Betonisasi sungai dan politisasi akses pantai untuk sebagian orang adalah salah satunya. Optimisme akan kehidupan lebih baik, dengan infrastruktur modern ramah lingkungan boleh jadi adalah konsekuensi manusia sebagai orator ulung penjaga kehidupan. Kerusakan lingkungan adalah sisi lain konsekuensi manusia sebagai perusak kehidupan.
Singa, hutan, fitoplankton, awan, cacing, jamur, api, dan air tidak pernah mengenal hukum, apalagi merumuskan hukum. Kemudian manusia datang dengan istilah "Hukum Rimba" untuk menggambarkan rules of the game alam raya ini. Apel yang jatuh dan daun yang terbawa angin tidak pernah menyangka bahwa mereka menjadi dasar hukum gravitasi dalam fisika klasik Newtonian. Bintang-bintang di langit dan gravitasi antar planet tidak akan pernah tahu bahwa teori relativitas Einstein dapat muncul karena mereka.
ADVERTISEMENT
Gen dalam tubuh tidak akan pernah merasa berkontribusi ketika Gregor Mendel mencetuskan persilangan monohibrid-dihibrid sehingga dinobatkan sebagai bapak genetika modern. Clifford Geertz tidak akan pernah dapat menyusun buku Agama Jawa jika dirinya tidak pernah mendapat izin masuk ke Indonesia dan mengenali kebudayaan Jawa di Mojokuto (Pare), Jawa Timur. Bahkan mereka yang menjadi fokus penelitian Geertz pun mungkin tidak tahu ada buku tersebut.
Itulah pengalaman manusia dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi hadir untuk di lalui, bukan untuk dihindari. Konsekuensi adalah bagian dari ruang dan waktu manusia. Menghindari konsekuensi sama saja menghindari ruang dan waktu. Dengan kata lain, manusia dapat hidup karena ia berhasil melewati segala konsekuensi dari pengalamannya.
***
Jan Mealino Ekklesia
ADVERTISEMENT