Konten dari Pengguna

SSS#10: Auguste Comte dan Agama Positivisme (1)

Jan Mealino Ekklesia
Sosiolog dan Peneliti Utama WAMESA Policy & Politics
5 Agustus 2024 8:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jan Mealino Ekklesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Auguste Comte dan Agama Positivisme. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Auguste Comte dan Agama Positivisme. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Halo, teman-teman Kumparan! Tulisan ini merupakan konten dari Self, Social, Society (SSS). Tulisan ini secara garis besar akan membahas mengenai para tokoh sosial/hukum/politik/psikologi dan teorinya, dikemas dalam bentuk series, sederhana, dan mudah dimengerti.
ADVERTISEMENT
Masyarakat madani mempunyai ciri khas yang paling unik, yaitu perkembangan rasionalitas dan religiusitas. Keduanya sudah menjadi anasir dari sebuah masyarakat yang akan dinilai murni eksistensi dan denyutnya. Pengetahuan mengenai manusia dan masyarakat yang sejak dahulu tergagas oleh basis teologis, kini berganti motif menjadi ilmu pengetahuan dan filsafat dari barat.
Berdasarkan sejarah teoretis ilmu sosiologi, proses perubahan masyarakat yang dikonsepsikan oleh Comte sebagai hukum tiga tahap (La loi des trois états) memuat penjelasan mengenai evolusi umat manusia dari primitif menjadi beradab di Prancis (Comte, 1834; Johnson, 1991).
Ada tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, di mana terkondisi bahwa seiring meningkatnya kapasitas berpikir manusia, kualitas rasionalisasi dan religiusitas manusia akan semakin meningkat. Hal tersebut yang dirumuskan Comte sebagai bagian dari dinamika sosial (social dynamics). Comte melihat bahwa masyarakat Eropa berkembang melalui sebuah tahapan dari rangkaian intelektualitas (Scott, 2012).
ADVERTISEMENT
Hal itu juga yang menyebabkan kesatuan dan perkembangan Masyarakat Eropa tidak lagi disebabkan oleh kesamaan etnis-kebangsaan, melainkan realisasi dari struktur indrawi dan akal-budi yang dimilikinya secara logis (Veeger, 1990). Akal-budi yang dimiliki manusia bekerja secara sistematis menghasilkan persepsi dan kesimpulan-kesimpulan logis yang serupa dalam masyarakat. Karena struktur indra dan akal budi dipunyai oleh semua umat manusia, maka muncul pola yang teratur yang sama di mana-mana di berbagai tipe dan model masyarakat.
Kemudian, identifikasi yang dilakukan Comte tidak terlepas dari ciri kombinasi antara ide-ide keagamaan dan bentuk-bentuk politik (Scott, 2012). Bagi Comte, agama atau religiusitas tumbuh sebagai perekat (social glue) untuk mengontrol mazhab yang dipegang teguh oleh masyarakat (Haryanto, 2015).
ADVERTISEMENT
Tahapan-tahapan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : tahapan berpikir teologis (theological), tahapan berpikir abstraksi (metaphysics), dan tahapan berfikir saintifik (positive). Bagi Comte, ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi berkembang melalui tahapan tersebut (Johnson, 1991).
Tahap teologis merupakan tahap awal dan paling lama dalam sejarah umat manusia (Comte, 1834) (Martono, 2018). Pemikiran teologis terbagi dalam tiga tingkatan yang merupakan sub-ordinated, antara lain : fetishism, polytheism, dan monotheism (Comte, 1834; Bachtiar, 2013) (Johnson, 1991) (Martono, 2018) (Veeger, 1990) (Siahaan, 1986) (Ritzer & Goodman, 2014).
Fetishism atau animisme mengandung makna bahwa semua bentuk yang ada di alam mempunyai jiwa (soul) yang menjadikannya memiliki suatu kelengkapan hidup (Martono, 2018) (Koentjaraningrat, 2015). Fetisisme ini merupakan bentuk kepercayaan yang ada pada masyarakat primitif. Apabila ditinjau lebih jauh, makna fetisisme yang digagas Comte sebagai pola pemahaman Primitive-Victorian Fetishism secara aksiomatik, yaitu memahami dunia secara magis. Hal – hal seperti penyakit, bencana alam, gagal panen, fenomena alam – kesemuanya itu dijelaskan lewat agen-agen supranatural (supranatural agency) sebagai respons dari perilaku manusia, di mana munculnya peristiwa ”supernatural” tersebut (Logan, 2008) (Veeger, 1990).
ADVERTISEMENT
Beberapa hal menonjolkan keanehan lewat proyeksi perasaan-perasaan internal (psikis) untuk menganalisa kejadian-kejadian alamiah. Cakupan dari sifat teologis ini antara lain tersembunyi, tidak biasa, dan transenden (Lubis, 2015). Mengacu pada penafsiran sastra Hómēros (800-701 SM), proses-proses psikis manusia dengan mengandaikan adanya pertukaran-pertukaran dengan berbagai pribadi (Veeger, 1990).
Pertukaran dengan tradisi alegori, mistik, perumpamaan, metafora, dan personifikasi yang termaktub dalam karya sastra besarnya berjudul Odyssey menjelaskan bahwa spiritualitas manusia akan senantiasa berkaitan dengan perasaan-perasaan adikodrati yang berada dalam dirinya (Beardsley, 2014). Adanya hubungan-hubungan khusus yang dibentuk oleh manusia dengan para dewa seperti kemampuan berbicara dengan sungai, tanah, langit, atau dengan penggunaan aspek dari hati manusia (Lonergan, 1972) (Veeger, 1990). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah masyarakat primitif yang demikian mempunyai tingkat penghayatan dan relasi primer sangat tinggi dalam spiritualitas.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, karena alam semesta memiliki roh-roh atau bangsa halus yang sewaktu-waktu dapat ”marah” dan mengganggu masyarakat, maka pelbagai ritual sesajen, selametan, pengusiran roh jahat, dilakukan dengan perantara dukun sebagai bentuk penghormatan, pemikat, dan menghindari kejadian yang tidak baik. (bersambung...)
***
(JME)