Konten dari Pengguna

Membaca Logika Putinisme di Ukraina

Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat Sosial Politik dan Peminat Kajian Geopoitik dan Geostrategi
16 Februari 2022 21:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jannus TH Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidato Tahun Baru tahunannya kepada bangsa di Moskow, Rusia, Jumat (31/12). Foto: Kremlin.ru/via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidato Tahun Baru tahunannya kepada bangsa di Moskow, Rusia, Jumat (31/12). Foto: Kremlin.ru/via REUTERS
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya tahun 2018 lalu, “Code of Putinism,” Bryan D. Tylor menggambarkan dengan baik bagaimana Putin dan para minionnya memandang Ukraina, terutama setelah “orange revolution” tahun 2004 dan “Maidan Revolution” tahun 2014. Bagi mereka, kedua peristiwa tersebut adalah “teknologi’ gaya baru Amerika untuk melemahkan Rusia, tak berbeda dengan "colored revolution" di Timur Tengah (Arab Spring) yang dipersepsi oleh Kremlin bertujuan untuk melemahkan pengaruh Rusia di kawasan tersebut. Jadi di mata Putin, kesiapannya untuk mengambil langkah agresif di Ukraina adalah gambaran dari sikap anti-Amerika Rusia atau simbol dari Rusia sebagai negara superpower yang diekspektasikan sebanding dengan Amerika.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, bagi Putin mundur karena tekanan barat berarti dipermalukan. Mempertunjukan kesuperpoweran Rusia dalam konflik Ukraina adalah bagian dari mempertahankan harga diri Putin sebagai pelindung Rusia dan harga diri Rusia sebagai negara superpower yang diekspektasikan semestinya dihormati oleh dunia barat. Bagaimana Putin dan Rusia memandang Ukraina tersebut berpadu dengan kerugian geoekonomi akibat Maidan Revolution.
Untuk menghukum Ukraina yang dianggap sangat condong ke Barat, Putin menghentikan aliran migas ke Eropa yang melalui Ukraina. Walhasil, Ukraina kehilangan pendapatan (revenue) miliaran dollar. Tapi di sisi lain, Rusia juga kehilangan jalur ekspor migas ke Eropa via Ukraina yang sudah bertahun-tahun berjalan. Untuk itu, Putin kemudian berhasil mengamankan jalur baru dengan Jerman, Nord Stream II via Baltic Sea, yang justru ditentang oleh Amerika. Lengkap sudah komplikasi Geopolitik yang dialami Rusia, yang menjadi sebab rasional dari agresivitas Kremlin atas Ukraina sejak 2014 lalu
ADVERTISEMENT
Karena status khusus konflik Rusia-Ukraina tersebut, Putin bahkan bersedia menurunkan pasukan gabungan CSTO untuk memadamkan demonstrasi secara brutal di Kazakhstan belum lama ini. Putin, layaknya Stalin, nampaknya memang tak mau bersitegang pada dua front sekaligus. Selain mengamankan perjanjian non agresi dengan Jepang terlebih dahulu sebelum memukul balik pasukan Nazi di perang dunia kedua.
Stalin hanya bersedia mengikuti pertemuan the Big Three di Teheran, tapi menolak berpartisipasi dalam pertemuan perdahuluan dengan sekutu di Mesir di tahun 1943 karena kehadiran Chiang Khai Shek. Stalin dan timnya khawatir jika Jepang mengetahui bahwa Stalin bertemu dengan Chiang di Mesir, ditakutkan Jepang akan beranggapan bahwa Stalin mendukung Chiang yang kala itu sedang berperang melawan invasi Jepang, lalu Jepang ditakutkan kembali membuka front di sisi timur Soviet.
ADVERTISEMENT
Putin memang bukan seorang Stalinis, bukan pula seorang Leninis, bahkan bukan pendukung Gorbachev. Tapi fokus pada satu persoalan akan jauh lebih baik, baik bagi Stalin maupun bagi Putin tentunya. Berbeda dengan Amerika, terutama di saat perang dunia kedua, yang berperang pada dua front sekaligus (teater Pasifik dan Eropa) sembari tetap menyupali Stalin. Karena itu, selain posisi geopolitik Kazakhstan yang kurang terlalu strategis, keharusan untuk memprioritaskan Ukraina membuat Putin mengambil langkah cepat dan keras di Almaty. Dan terbukti Kazakhstan gagal menyita perhatian Putin untuk waktu yang lama karena hanya butuh beberapa hari bagi pasukan gabungan CSTO untuk memadamkan demonstrasi
Bagaimana Putin memperlakukan konflik di Ukraina menjadi salah satu penyebab mengapa posisi stand off menjadi sangat sulit diselesaikan, apalagi jika dunia Barat dan Putin tak mampu menemukan kesepahaman dan kesamaan kepentingan. Karena lebih dari status spesial tersebut, bagi Putin, Ukraina yang pernah menjadi bagian penting Uni Soviet juga sudah berada di luar kontrol Kremlin. Sebagaimana filosofi KGB yang masih dipegang erat oleh Putin sampai hari ini bahwa segala sesuatu yang berada di luar kontrol adalah ancaman, maka Ukraina kini sudah masuk sebagai ancaman bagi Rusia karena sudah tidak lagi dalam rentang kontrol Kremlin sejak 2014.
ADVERTISEMENT
Filosofi tersebut nyatanya menjadi salah satu sebab mengapa Malashenko, pendiri NTV, yang di-backing oleh Oligar Gusinsky, menolak mendukung Putin sebagai penerus Boris Yeltsin tahun 1999 lalu (Arkady Ostrovsky, 2017). Memang tak butuh waktu lama kekhawatiran Malashenko akhirnya terbukti. Akibat salah satu acara parodi yang terkesan menyindir Putin di NTV di tahun 2000, Gusinsky ditangkap tanpa sebab dan dipaksa melepas saham NTV kepada Gazprom sebagai syarat untuk bebas. Cara Putin memperlakukan NTV di awal masa pemerintahanya, plus cara Putin menghancurkan lawan-lawan politiknya beberapa waktu belakangan, adalah cerminan nyata tentang bagaimana Putin memandang Ukraina hari ini.
Malashenko dan Gusinski yang menikmati masa emasnya di era Boris Yeltsin setelah memberikan dukungan luar biasa pada pemilihan tahun 1996, meskipun cenderung sangat kritis pada Kremlin, berakhir tragis di tangan Putin. Sesuai dengan filosofi KGB, ketika NTV sudah berada di luar kontrol Putin, maka NTV harus dienyahkan segera dengan segala cara. Kemudian dengan logika yang sama Putin mempraktekanya dengan vulgar di Georgia di tahun 2008 dan Ukraina di tahun 2014. Kemudian di penghujung tahun 2019, ketika Lukashenko diperhadapkan dengan penolakan publik massif pascapemilihan umum, Putin pun memperlakukannya dengan logika dan persepsi yang sama. Demonstrasi di Belarusia dianggap plot politik Amerika dan Eropa untuk memperlebar pengaruh kekuatan demokrasi politik di satu sisi dan pengaruh militer (NATO) di halaman belakang Rusia di sisi lain.
ADVERTISEMENT
Apalagi hari ini, Rusia nampaknya jauh lebih siap berhadapan dengan segala macam sanksi ekonomi dari pihak barat. Secara moneter, Rusia hari ini memiliki devisa yang berlimpah. Begitu pula dengan produksi gandum yang cukup untuk menjauhkan Rusia dari bencana kelaparan jika perang terjadi. Ancaman kekurangan pasokan komoditas lain seperti sayur dan buah-buahan yang sempat diembargo oleh Uni Eropa setelah invasi Crimea kini sudah dipenuhi oleh China. Pendeknya, Rusia kini tidak terlalu rentan lagi terhadap sanksi ekonomi dan moneter dari dunia barat layaknya tahun 2014 lalu.
Bagaimanapun, apa yang dirasakan dan diprasangkakan oleh Putin memang sangat bisa dipahami. Bukankah memang seperti itu penguasa otoriter berpikir dan bertindak? Tentu dunia barat perlu memahaminya dengan baik. Meskipun demikian, sebenarnya posisi Putin tidaklah sesempurna itu, baik secara geopolitik maupun militer. Karena itu Putin akan terus mencari ruang untuk negosiasi, terutama terkait dengan Nord Stream II dan kemungkinan Ukraina masuk zona Eropa dan NATO. Taruhan Putin dengan segala prasangka dan ambisi teritorialnya sangatlah besar. Jika Putin berani melampaui garis merah alias mencoba menginvasi Ukraina lebih dalam, Putin bisa saja membawa Rusia terjebak di Ukraina seperti Breznev membawa Soviet ke Afghanistan di tahun 1979. Ketika itu, Soviet berdarah-darah dengan ribuan peti mayat yang dipulangkan kembali.
ADVERTISEMENT
Bukan karena hebatnya kelompok mujahidin, tapi karena aliran bantuan tak terbatas dari Amerika dan Arab Saudi melalui Pakistan untuk melawan pasukan merah. Dan dua tahun setelah Soviet keluar dari Afghanistan, Uni Soviet bubar. Keputusan Putin untuk berperang dengan Ukraina juga berpeluang mengundang gejolak di dalam negeri Rusia. Putin yang sudah dianggap sebagai seorang Tsar boleh jadi tersingkir layaknya Tsar Nicholas II karena memutuskan melawan Jerman dan Austro Hungaria di Perang Dunia Pertama.
Semakin lama Putin menahan egonya di Ukraina, akan semakin besar peluang kerusakan reputasinya di dalam negeri dan di tingkat global. Semakin Putin memanfaatkan komoditas minyak dan gas untuk menghukum dan mengunci kawasan Eropa, semakin besar peluang bisnis minyak dan gas terbuka untuk negara-negara penghasil minyak dan gas lain, terutama Amerika dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Dan semakin Putin memperdalam perbedaan dan semakin menjadi alien di mata dunia barat, semakin banyak alasan untuk Amerika dan Eropa mengambil sikap tegas layaknya melawan alien dari planet lain. Seperti kata Angela Merkel kepada Obama tentang tindakan Putin yang pernah mencoba menggoyang Merkel dengan penyebaran fake news dan misinformasi, "He lives in another world," jadi jika Putin memaksakan ambisinya, ia bisa benar-benar dianggap makhluk dari dunia lain tidak saja oleh Amerika dan Eropa, tapi oleh seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Jalan terbaik, baik bagi AS-UE maupun Putin, adalah kembali ke jalur The Big Three di era perang dunia kedua. Biden perlu mempertimbangkan logika FDR ketika mencoba mengubah gaya kepemimpinan Stalin. “I have a hunch,” kata Roosevelt, “That if I give Joseph Stalin what he wants, and ask nothing in return, noblesse oblige, he will work for the good of his people.” Dengan kata lain, Biden harus menggunakan Ukraina sebagai showcase kemajuan ekonomi, bukan showcase untuk NATO atau EU, seperti Jepang, Korsel, dan Taiwan pun Jerman Barat di satu sisi, tapi juga memberi ruang Putin untuk mundur tanpa merasa dipermalukan di sisi lain.
Memberikan jaminan kepada Putin bahwa tidak ada perluasan NATO dan Uni Eropa di halaman belakang Rusia dan begitu pula sebaliknya, atas nama keselamatan dan kemakmuran rakyat Ukraina, bisa menjadi solusi terbaik saat ini. Dan keputusan Biden mendelegasikan diplomasi Rusia-Ukraina kepada EU, terutama Prancis dan Jerman, sangat tepat, karena bisa memberikan ruang langsung kepada Putin untuk mendapatkan kesepakatan soal Nord Stream II dan kemungkinan keanggotaan Ukraina di EU. Terbukti hasilnya cukup positif. Rusia dikabarkan sudah mulai menarik pasukan pelan-pelan dari perbatasan Ukraina setelah pertemuan Putin dengan Presiden Prancis dan Cancelor Jerman.
ADVERTISEMENT